Selasa, 09 Juni 2009

ABUDDIN NATA
DAN PEMIKIRANNNYA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

A. Biografi Abuddin Nata
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., lahir di Bogor pada tanggal 2 Agustus 1954. Sekolah pada Madrasah Ibtidaiyah Wajib Belajar di Nagrog, Ciampen Bogor pada tahun 1968. Kemudian setelah tamat Ibtidaiyah ia melanjutkan pendidikannya pada sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun. Sambil bersekolah dia tinggal dan menginap (mondok) di Pondok Pesantren Nurul Ummah dan tamat tahun 1972. Tak puas hanya sampai disitu saja, Abuddin Nata melanjutkan pendidikannya pada sekolah Pendidikan Guru Agama tingkat Atas (PGAA) 6 tahun. Seperti sebelumnya, kali ini dia mondok di pesantren Jauharatun Naqiyah, Cibeber Cilegon Serang Jawa Barat, dan tamat tahun 1974.
Setelah itu ia memperoleh gelar Sarjana Muda (BA) pada tahun 1979, dan Sarjana Lengkap (baca: Drs) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang bernama Universitas Islam Negeri Jakarta), dan tamat tahun 1981. Gelar Magister bidang Studi Islam diperolehnya tahun 1991, sedangkan gelar Doktor bidang Studi Islam diperoleh pada tahun 1997 masing-masing dari Fakultas Fascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan disertasi berjudul Konsep Pendidikan Ibn Sina. Pada tahun 1999 sampai dengan awal tahun 2000 berkesempatan mengikuti Visiting Post Doctorate Program di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal Canada atas biaya Canadian International Development Agency (CIDA), dengan fokus kajian pada Pemikiran Pendidikan Imam al-Ghazali.
Karir Abuddin dimulai sebagai tenaga peneliti lepas pada Lembaga Studi Pembangunan (LSP) di Jakarta tahun 1981-1982; pada tahun yang sama menjadi Direktur Koperasi Pelajar Kerja Sama Pemerintah Jepang dengan Indonesia pada Himpunan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (HP2M). Kemudian menjadi instruktur pada Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Quran (LBIQ) tahun Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 1982-1985; selain itu pernah menjadi pengisi acara obrolan ramadhan (Obor) pada Radio Mustang Jakarta, tahun 1992-1998. Setelah itu akhirnya ia bertugas sebagai dosen Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai tahun 1985 sampai dengan sekarang, dan sebagai dosen tidak tetap pada Fakultas Agama Universitas Muhammadiyah Jakarta, mulai tahun 1992 sampai sekarang. Pada tahun 1999 betugas pula sebagai dosen Fakultas Fascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai sekarang pada bidang mata kuliah Sejarah Sosial dan Filsafat Pendidikan Islam. Dan sekarang dia juga bertugas sebagai dosen tidak tetap pada Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. Sejak mahasiswa dia telah aktif menulis pada beberapa harian dan majalah diantaranya Harian Umum Merdeka, Harian Umum Pelita, Majalah Panji Masyarakat, majalah Mimbar Ulama, Majalah Nasihat Perkawinan, dan lain-lain. Sebagai dosen di perguruan tinggi Islam dia aktif dan sering diundang untuk memberikan ceramah agama pada Majis Ta’lim, mesjid dan memberi materi pada berbagai seminar dalam dan luar negeri. Sebagai penulis, ia tidak hanya menuangkan pemikirannya pada Harian dan Majalah saja akan tetapi dia termasuk penulis aktif dan produktif yang mengkaji tentang Agama Islam dan Pendidikan Islam.
Semasa mahasiswa ia tercatat sebagai aktivis mahasiswa baik di luar dan di dalam kampus. Di luar kampus dia diangkat sebagai Ketua Bidang II Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1978-1979), sedangkan dalam organisasi kampus termasuk Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, (1978-1980), Ketua Badan Pembinaan Kegiatan Mahasiswa (BPKM) (1979-1980), Anggota Majelis Pembinaan Kegiatan mahasiswa (MPKM), (1980-1981) masing-masing pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orsat Ciputat (1996-1997). Negara-negara yang pernah dikunjungi/disinggahi untuk studi ilmiah antara lain Saudi Arabia, Canada, Amerika Serikat, Alaska, Singapura, Thailand, Hongkong dan Malaysia. Jabatan yang pernah dipegang antara lain sebagai Ketua Jurusan Kependidikan Islam pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997-1998), Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (1998-1999), Pembantu Rektor II IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999-2002).

B. Karya-karya Abuddin Nata
Sebagai salah seorang pemikir, Abuddin Nata telah banyak menulis karya-karya ilmiah baik dalam bidang Studi Islam maupun Pendidikan Islam. Diantara karya-karya yang ditulis olehnya adalah: Sejarah Agama (1989), Ilmu Kalam (1989), AL-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah 1) (1994), Filsafat Pendidikan Islam, (1995), Akhlak Tasawuf (1996), Metodologi Studi Islam (1997), Tema-tema Pokok Al-Quran (Empat) Jilid (sebagai penulis dan editor), Modul Kapita Selekta Pendidikan Islam (1996), Modul Al-Quran dan Hadits (1996), Modul Program Pengalaman Lapangan (PPL) Bidang Pendidikan (1997), Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (2000), Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (2001), Persfektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali (2001), Buku-Buku Agama Islam untuk Sekolah Menengah Lanjutan Atas (1995), dan sejumlah entri untuk Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Indonesia dan Ensiklopedi Hukum Islam.
C. Pemikiran Abuddin Nata tentang Pendidikan Islam
1. Pemikiran Abuddin Nata tentang Metode Pendidikan
Metodologi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Dalam buku Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, metode berasal dari kata metodos (bahasa Yunani) yang berarti mengajar, menyelidiki, cara melakukan sesuatu, prosedur. Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-thariqah, manhaj, atau al-wasilah. Al-thariqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al-washilah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode adalah, “rencana menyeluruh yang berhubungan dengan penyajian pelajaran secara teratur dan tidak saling bertentangan”.
Dalam setiap kegiatan pembelajaran sangat penting artinya metode bagi guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Secara defenitif Abuddin Nata dalam beberapa bukunya tidak mengemukakan pengertian metode, namun makna metode dikemukakannya dalam kerangka penerapan yang praktis. Hal ini dapat diduga bahwa Abuddin Nata lebih memprioritaskan kajian-kajian sosio filosofis dan praktis daripada memberikan pengertian-pengertian yang terkait dalam istilah pendidikan. Menurut Abudin Nata, paling tidak ada tiga metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Pertama metode yang berpusat pada guru (teacher centris). Kedua metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, (student centris); dan ketiga, metode pembelajaran yang mencoba menggabungkan antara yang berpusat pada guru (teacher centris ) dan siswa (student centris).
a. Teacher centris
Metode pembelajaran yang berpusat pada guru menurut Abudin adalah sebuah metode yang menjadikan guru sebagai pemberi informasi, pembina, pengarah, dan satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Metode ini di dasarkan dari pemikiran tentang pentingnya pembelajaran yang bersifat memacu rasionalitas akademis yang lebih menekankan pada aspek pengetahuan semata, tanpa melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan dari beberbagai potensi atau kemampuan yang dimiliki siswa. Artinya terlihat bahwa guru lebih banyak berperan aktif dan lebih banyak mendominasi dalam mengatur, menentukan dan mengelola pendidikan --sesuai dengan pemahaman, pandangan, pendapat-pendapatnya saja--untuk menciptakan kemampuan berfikir secara rasional dengan menggunakan logika. Penekanan rasional akademis dalam kondisi yang demikian menurut Nata justru yang terjadi hanyalah pengajaran bukan pendidikan.
Nampaknya apa yang dikemukakan oleh Abuddin sudah menjadi polemik dalam sejarah pendidikan khususnya di Indonesia. Pendidikan yang lebih menekakankan pada aspek-aspek rasionalitas akan mengkerdilkan makna dari nilai-nilai yang terdapat pada pendidikan itu sendiri. Pengajaran hanyalah sebatas tugas dan kemampuan saja yang tidak didukung dengan kesadaran moral yang tinggi dalam pelaksanaan tugas. Hubungan antara guru dan siswa hanya akan berlangsung dalam ruang lingkup sekolah. Dalam pengajaran kesadaran kerja hanya ditentukan oleh nilai kerja itu sendiri, disiplin kerja dan aturan kerja yang berlaku. Guru yang mengajar adalah guru yang taat asas. Karenanya muridnya juga akan mengedepankan pada aspek rasionalitas an sich tanpa didukung oleh aspek moralitas.
Lebih lanjut Abuddin mengungkapkan bahwa akibat dari dari pola pengajaran teacher centris akan mudah sekali seorang guru terjebak ke dalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelasa. Ia sibuk sekali di dalam kelas tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang diperlihatkan siswa-siswanya. Kemudian menurut Abuddin jika pamer pengetahuan ini merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah suatu situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa; kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidak berdayaan mereka dalam menghadapi gurunya. Ironisnya masih ada guru dan dosen di masyarakat kita yang menikmati katakutan atau kebingungan para siswa dan mahasiswanya.
Ungkapan Abuddin yang menyatakan bahwa banyak guru dan dosen yang menikmati atau justru memanfaatkan ketakutan dan kebingungan mahasiswa menurut penulis didasarkan pada pengalamannya baik ketika menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi salah seorang dosen yang banyak menemukan kekeliruan diantara para sahabatnya sesama dosen. Nampaknya Abuddin menyatakan ketidak setujuannya pada metode teacher centris yang menekankan bahwa guru atau dosen adalah segala-galanya dalam proses pembelajaran. Secara tidak langsung Nata telah menyindir beberapa guru besar lainnya yang memperlakukan siswa atau mahasiswanya dalam sebuah kondisi pembelajaran yang sangat otoritarian . Fenomena inilah yang dimaksud oleh Abuddin sebagai tugas mengajar bukan mendidik. Oleh Paulo Freire pendidikan semacam ini disebut sebagai penindasan, dan diibaratkan sebagai kegiatan menabung.
“lebih buruk lagi murid diubahnya menjadi bejana-bejana, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh ia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid. Pendidikan karenanya menjadi kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, di hapal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan”.

Sebagai seorang mantan aktivis tulen yang kerap kali berbicara tentang demokrasi dalam pembelajaran, Abuddin Nata tidak setuju dengan adanya guru atau dosen yang “gila penghormatan” atau menjadikan situasi yang sangat tidak demokratis sebagai sebuah lambang keberhasilan, kebesaran nama dan tingginya pengetahuan dengan analogi semakin diam siswa atau mahasiswa, semakin banyak mereka mencatat, semakin takut mereka kepada guru atau dosennya maka dapat dikatakan semakin tinggilah wibawa dan pengetahuan guru atau dosen tersebut. Terlihat bahwa analogi dan fenomena semacam itu sangat ditentang oleh Abuddin. Untuk itulah Abuddin menyatakan bahwa guru atau dosen telah “membuat bingung siswa atau mahasiswanya, sesungguhnya mereka melakukan kesalahan pedagogis mengaburkan nilai pedagogis dan telah melakukan dosa pedagogis”. Sekali lagi menurut pendapat penulis, Abuddin telah berani membongkar akar-akar otoritarianisme, mengungkapkan dosa-dosa ilmiah yang ditimbulkan oleh adanya konsep teacher centris.

b. Student centris
Menurut Abuddin Nata seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa (student centris). Dalam konsep ini yang dianggap penting adalah bukan upaya guru dalam menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Untuk itu menurut Abuddin upaya yang harus dilakukan oleh guru adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa guru adalah salah satu unsur penyedia fasilitas untuk terjadinya proses pembelajaran. Lebih lanjut konsep belajar ini menurut Abuddin mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai salah satu faktor dominan dalam merencanakan kegiatan belajar-mengajar. Sebagai sebuah catatan metode ini akan dapat diperaktekkan terhadap siswa yang memiliki banyak sumber informasi dan fasilitas belajar yang memadai.
c. Teacher and Student centris
Pada metode pembelajaran teacher centris gurulah yang paling mendominasi berlangsungnya kegiatan pembelajaran, pada metode student centris justru sebaliknya, kegiatan belajar didominasi oleh siswa, sementara pada metode pembelajaran teacher dan student centris kegiatan belajar menurut Abuddin tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan murid secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar menurut Abuddin merupakan sebuah proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal-balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Pada situasi ini Abuddin berpendapat bahwa proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Selain itu dalam proses interaksi belajar mengajar dan target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya.
Meskipun diantara ketiga metode itu terlihat jelas nilai positif dan negatifnya, namun ternyata Abuddin Nata berpendapat bahwa diantara ketiga metode itu masih dapat diterapkan dalam masyarakat kita, hal ini dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi lingkungan sosial ekonomis di mana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Pikiran Abudin Nata menurut penulis di dasarkan pada pertimbangan tipikal masyarakat yang ada. Penentuan pilihan pada teacher centris menurut Abuddin Nata masih tepat jika dilakukan pada masyarakat agraris yang serba kurang informasi. Hal ini diduga bahwa gurulah yang lebih mudah mengakses dan mengetahui informasi-informasi baru. Sementara catatan Abuddin untuk pilihan student centris dapat dilakukan pada kondisi masyarakat yang modern yang ditandai oleh kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, dengan pola hidup yang cenderung liberal. Sementara pilihan ketiga cukup tepat dilakukan pada masyarakat yang masih dalam transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern sebagaimana yang terjadi di Indonesia, metode pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternatif pilihan yang paling pas.
2. Pemikiran Abuddin Nata tentang Kurikulum
Istilah “kurikulum” berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finis. Dalam pengertian yang sederhana kurikulum sering diartikan dengan sejumlah mata pelajaran atau bidang studi. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertian kurikulum tidak hanya terbatas pada pengertian sejumlah mata pelajaran atau bidang studi saja, melainkan termasuk pula kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa dalam rangka belajar.
Seyogyanya setiap kurikulum yang dibuat mestilah dapat menjangkau setiap kebutuhan-kebutuhan dalam komponen pendidikan. Kurikulum mestilah tanggap terhadap perubahan masa sekarang dan masa yang akan datang, visi yang dibuat adalah visi masa depan yang holistik dan antisipatif, menjangkau berbagai dimensi kehidupan dengan segala kemajuannya. Dengan demikian kurikulum tidak hanya kerangka pendidikan kekinian dan (meminjam istilah Yahya Jaya-) kedisinian, tetapi kurikulum adalah gambaran masa depan yang dipersiapkan sejak sekarang.
Seperti diketahui bahwa ada kecendrungan kurikulum di Indonesia sering berubah-ubah. Banyak orang yang menduga bahwa setiap pergantian pejabat pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan maka dengan sendirinya berubah pulalah kurikulum pendidikan. Ada beberapa kurikulum yang pemakaiannya hanya sebentar saja, belum dilihat hasilnya kurikulumnya telah dirubah diantaranya adalah kurikulum 1994, 1997, 1999, KBK tahun 2004 dan KTSP tahun 2006. Setiap pergantian pimpinan menimbulkan pergantian pada kurikulum. Diduga bahwa pergantian kurikulum ini adalah maslah politik yang dimainkan oleh para pejabat untuk menarik perhatian massa. Akibatnya kurikulum dijadikan sebagai kelinci percobaan yang tak kunjung selesai.
Karena persoalan inilah Abuddin Nata berpendapat bahwa pembaruan pada bidang kurikulum adalah hal yang niscaya dan perlu dilakukan. Pembaruan dan penyusunan kurikulum yang dimaksud perlu melibatkan orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi tentang pendidikan abad XXI, memiliki wawasan baik secara konseptual maupun praktis tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyusunan kurikulum. Hanya saja konsep dan strategi lebih mendalam tentang penyusunan kurikulum ini tidak ditemukan dalam karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Abuddin Nata. Dapat dipahami bahwa Abuddin Nata memandang, sering terjadinya pertukaran kurikulum lebih banyak diakibatkan –selain aspek politis—oleh tidak diikutsertakannya orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi tentang tuntutan zaman.
3. Pemikiran Abuddin Nata tentang Paradigma Madrasah Unggulan
Pada saat ini banyak muncul di Indonesia sekolah/madrasah unggulan. Dalam pengertian generiknya “unggulan” yang dimaksud adalah sebuah sekolah atau madrasah yang menyediakan fasilitas yang lengkap, pelayanan yang baik, suasanan yang menyenangkan, kurikulum yang khas, sistem pembelajaran yang bagus, dan kualitas proses bembelajaran dan hasil belajar yang baik. Munculnya konsep sekolah atau madrasah unggul tidak terlepas dari upaya memperbaiki citra pendidikan ke arah yang bermutu dan penyesuaian terhadap tuntutan zaman. Menurut Abuddin makna unggul pada sekolah unggul adalah perpaduan yang seimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agama yang dijalankan secara profesional oleh orang dan sistem yang unggul. Munculnya sekolah unggul dilatarbelakangi oleh adanya plus minus dari sistem pendidikan umum dan pesantren. Dari hal-hal yang positif diantara dua lembaga pendidikan itu kemudian digabung secara integratif sehingga melahirkan pendidikan yang unggul dalam bidang keilmuan kognitif, sikap afektif, dan psikomotorik yang dilandasi dengan ajaran-ajaran agama. Menurut Abuddin paradigma madrasah unggul dapat dilihat dari dua hal yaitu:
a. Karakteristik Madrasah Unggulan
Selama ini menurut Abuddin keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi dimiliki oleh sekolah-sekolah umum, sementara sekolah agama unggul dalam bidang pengetahuan keagamaan, keimanan, dan ketakwaan. Sintesis dari keunggulan yang dimiliki oleh kedua lembaga itu menurut Abuddin selanjutnya dapat mengambil bentuk Sekolah Pesantren atau Boarding School atau pada tingkat yang lebih tinggi disebut dengan Perguruan Tinggi Pesantren. Ada beberapa nilai positif dan negatif pesantren dan sekolah sebagaimana keterangan Abuddin sebagai berikut:
“Tradisi untuk mendalami agama dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, ketaatan dalam menjalankan ibadah, akhlak yang mulia, kemandirian, kesabaran, kesederhanaan, adalah nilai-nilai pendidikan yang jelas masih dapat dijumpai di pesantren dan sulit dijumpai di sekolah pada umumnya. Sementara tradisi kritis, inovatif, kreatif, dinamis, progresif, terbuka, rasa percaya diri, dan lain-lain tampak lebih banyak dimiliki sekolah umum. Perpaduan dari masing-masing keunggulan pada masing-masing lembaga pendidikan itulah yang oleh sementara kalangan sebagai bentuk dari madrasah ungulan”.

Salah satu kelemahan pesantren adalah dalam bidang manejemen. Proses pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan sebagainya ditentukan oleh satu orang, yaitu kiai. Keadaan manejemen yang demikian dipandang tidak sesuai lagi dengan alam modern yang menuntut pelaksanaan demokratisasi, transparansi, akuntabilitas, dan kebersamaan. Manejemen pesantren yang bercorak kekeluargaan dan sepenuhnya di tangan kiai itu terkadang juga bisa membawa kemajuan apabila kiainya seorang yang memiliki kompetensi yang unggul, cerdas, pintar, mau bekerja keras, adil, dan demokratis. Namun, sebaliknya manejemen yang demikian itu bisa juga membawa kemunduran apabila kiainya memiliki bekal pengetahuan pas-pasan, malas, otoriter, dan diktator.

Lebih lanjut Abuddin menyatakan bahwa hal-hal yang positif dari kedua lembaga pendidikan tersebut mesti diterapkan dan dikembangkan. Sedangkan hal-hal negatifnya ditinggalkan. Sekolah unggulan juga juga dapat dilihat dari kualitas lulusannya yang tidak hanya menguasai materi-materi yang diajarkan , tetapi juga proses untuk mencapai dan menguasai materi tersebut. Hal lain adalah bahwa metode dan pendekatan pengajaran tidak hanya berorientasi pada subjek materi saja, tetapi juga pada proses. Melihat kondisi yang berkembang di mana pengajaran yang dilakukan di sekolah pada saat ini lebih banyak sifatnya menghafal materi pelajaran ketimbang kemampuan untuk memperoleh dan mengembangkan materi tersebut. Untuk itulah Abuddin mengatakan bahwa sudah saatnya kiblat pendidikan dirobah dari pendekatan hafalan menjadi pendekatan pemerolehan dan pengembangan materi.
b. Sekolah Unggul dalam Sejarah dan Falsafat Islam
Secara historis Abuddin Nata menyatakan bahwa diduga kuat keberhasilan dan kemajuan sekolah dan perguruan tinggi Islam pada zaman klasik Islam disebabkan oleh adanya sistem pendidikan yang unggul dan diserta prinsip-prinsip yang mendasarinya yang beroperasi di dalamnya. Dalam konteks ini Abuddin Nata yakin bahwa sistem pendidikan pada masa kejayaan Islam mestilah didukung oleh sistem yang unggul dan dilaksanakan oleh orang yang unggul, sebab kalau tidak, tidak mungkin Islam menjadi sebuah peradaban yang paling terdepan diwaktu itu. Keunggulan itulah menurutnya yang mesti diterapkan pada saat ini. Menurut Abuddin ada tiga macam keunggulan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan pada zaman klasik Islam. Pertama perkembangan tradisi ilmiah. Menurut Abuddin perkembangan dan tradisi ilmiah ilmiah telah dimulai di zaman klasik Islam. Tradisi ilmiah ini untuk selanjutnya melahirkan sarjana-sarjan Islam yang tersohor di dunia. Kedua integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurut Abuddin ilmuan muslim pada zaman klasik adalah ilmuan ensiklopedik, yaitu ilmuan yang tidk hanya menguasai ilmu agama secara mendalam tetapi juga mengetahui ilmu pengetahuan umum secara prima pula. Ketiga pengajaran dilakukan berpusat pada murid. Dalam sejarah Islam terlihat bahwa pengajaran yang berpusat pada murid itu sangat ditekankan. Ibn Sina misalnya mengatakan bahwa penyampaian materi pelajaran selain harus sesuai dengan materi yang diajarkan itu, juga harus disesuaikan dengan perkembangan psikologis anak. Keempat kerjasama dengan pemakai lulusan. Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dunia Islam telah memiliki pengalaman yang luas dan panjang dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Pada mulanya semua pendidikan dalam Islam adalah tanggungjawab perseorangan, guru mengajar murid-murid tanpa campur tangan Negara. Namun kandungan pendidikan semakin bertambah sehingga tugas dalam pendidikan semakin bertambah pula. Akhirnya pendidikan tidak lagi menjadi tanggunggjawab sekolah saja, tetapi menjadi tanggungjawab warga sekolah secara bersama.
4. Strategi Pendidikan Iman dan Takwa
Pendidikan sebagai sebuah usaha dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara pada bab II pasal 3 dinyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Menurut isi Undang-undang pendidikan di atas, terlihat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pengertian pendidikan dengan point-point tujuan yang merupakan beberapa nilai-nilai yang mesti tercapai pada setiap kegiatan pendidikan, nilai-nilai pendidikan yang dimaksud adalah nilai, spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, kreatifitas, demokratis, dan akhlak mulia. Seluruh poit-point tersebut terhimpun dalam sebuah kata beriman dan bertaqwa.
Kata iman dan taqwa yang disebutkan dalam tujuan pendidikan secara umum di atas dapat kita tafsirkan bahwa tujuan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam yang dimaksud sebagaimana dikatakan oleh M. Arifin, “Agar manusia dapat mengelola atau memanfaatkan potensi-potensi pribadi, sosial dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. atau seperti yang dikatakan oleh Zakiah Dradjat, “Tujuan Pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya”. Muhammad Al-Faruqi mengatakan “iman” dan “tauhid” adalah inti dari eksistensi ajaran Islam, yang merupakan pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib manusia sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar prisip Idealitionality, teology, capaticy of man, malleability of nature dan responsibility and judgment. Sedangkan Ziaudin Sardar mengatakan bahwa taqwa bukan suatu konsep teori; dia memerlukan kenyataan dalam karya, gerak dan interaksi. Artinya bahwa taqwa itu tidak hanya berkitan dengan hubungan vertical dengan Tuhan saja tetapi sangat berkaitan dengan segala aspek horizontal dan sisi-sisi ibadah atau pekerjaan yang dilakukan.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat menurut Abuddin akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia, apabila dibarengi keimanan dan ketakwaan. Sebaliknya Abuddin mengatakan apabila kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak disertai dengan dengan dasar keimanan dan ketakwaan maka akan dapat menimbulkan kehidupan yang menghawatirkan karena kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut dapat disalahgunakan untuk tujuan-tujuan destruktif. Kehawatiran Abuddin Nata terhadap dampak kemajuan yang tidak dibarengi dengan dasar iman dan takwa dapat dipahami dari perhatian Abduddin terhadap gejala-gejala sosial yang sering terjadi. Banyak kasus-kasus yang terjadi –yang katanya demi pembangunan dan kemajuan--justru banyak merugikan masyarakat, merusak norma dan sistem nilai penyebabnya adalah karena persoalan mental, tidak kokohnya iman dan ketakwaan dalam diri mereka.
Atas kehawatiran itulah Abuddin Nata mengatakan keimanan dan ketakwaan dewasa ini semakin dipentingkan karena --ditengah berbagai kemajuan yang dicapai sekarang ini-- adanya berbagai paham kehidupan sekuler yang melanda kehidupan manusia dan selanjutnya telah mempengaruhi pola pikir dan pola perilakunya, seperti pola dan gaya hidup hedonistik, materialitistik, individualistik, pragmatik, dan sebagainya. Hal yang sama dengan pendapat Abuddin ini, Mas’ud Abidin juga berkomentar:
“Selain berkembang ke arah yang positif, tidak jarang dampak negatif menyertai, tatkala kesiapan moral spritual tidak di seiringkan dengan laju perkembangan material. Laju pertumbuhan materiil yang tidak diimbangi kesadaran akhlaq mulia (moralitas spritual) akhirnya menyisakan “limbah budaya” yang berpengaruh pada penurunan kualitas manusia. Limbah budaya, tampak pada perilaku yang tidak normatif, seperti kehidupan materialistis tanpa mengindahkan batas-batas antara hala dan haram, antara boleh dan tidak. Memisahkan nilai-normatif dalam aktivitas hidup manusia, dengan mengabaikan dominasi moral agama yang sebelumnya telah dijadikan ukuran kualitas manusia, pasti akan mengundang bencana berupa krisi citra kemanusiaan”.

Fenomena ini juga dikhawatir oleh M. Arifin , yang menyatakan bahwa apabila kemajuan Iptek yang hanya mengandalkan keceradasan rasio, sampai pada batas-batas tertentu, dapat mengerosikan benteng-benteng nilai idealisme humanisme semakin menuju ke arah rasionalisme, pragmatisme, dan relativisme. Berbagai aibat muncul kepermukaan, antara lain ialah; nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistis, sekularistik, dan hedonistik serta agnostik yang menafikan aspek-aspek etik religius, moralitas dan humanistis.
Gejala-gejala kehidupan yang di dasarkan pada pola hidup tersebut menurut Abuddin selanjutnya dengan mudah telah melanda para remaja usia sekolah yang secara psikologis tampak dengan mudah dapat dipengaruhi. Pentingnya keimanan dan ketakwaan pada manusai paling tidak menurut Abuddin di dasari pada tiga hal; pertama, manusia tidak cukup hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan hal-hal yang bersifat material semata-mata, tetapi juga membutuhkan agama yang mengajarkan keimanan dan ketakwaan. Kedua Abuddin memandang bahwa keimanan dan ketakwaan dapat membawa ketenteraman batin dan kebahagiaan menciptakan kesehatan mental, menghindari perasaan gelisah dan cemas sebagai akibat dari dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Ketiga segala sesuatu, baik harta, pangkat, keturunan, maupun ilmu pengetahuan, tanpa diserta agama, telah terbukti gagal menghantarkan manusia pada kehidupan bahagian dan tenteram. Akhirnya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan terhadap keimanan dan ketakwaan, ada tiga strategi yang diusulkan oleh Abuddin Nata yaitu:
a. Dari Segi Pendidikan
Menurut Abuddin agar pendidikan Agama Islam dapat berperan menanamkan pendidikan iman dan takwa, maka seluruh pendidikan agama Islam tersebut harus dilihat secara utuh dan terpadu. Ini berarti Abuddin menginginkan penanaman pendidikan iman dan takwa tidak dilakukan secara setengah hati, pragmentasi, dan terpisah-pisah, tetapi penanamannya diwujudkan dalam bentuk yang holistik, kontekstual, aktual, dan integralistik. Meskipun ada pembagian cabang dan macam ilmu Islam namun mestilah itu dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat teknis dan spesialis, tetapi pada hakikat dan subtansinya berbagai cabang ilmu agama Islam tersebut sebenarnya satu, yaitu berasal dari wahyu Allah dan digunakan untuk menambahkan keimanan dan ketakwaan kepadanya. Dengan pendekatan holistik diharapkan para siswa memiliki pemahaman keislaman yang utuh. Dengan pendekatan integralistik diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum pada dasarnya adalah satu atau terikat dengan oleh keimanan dan tauhid. Dengan pendekatan kontekstual, diharapkan ajaran-ajaran agama berkaitan permasalahan yang dihadapi para siswa, kemudian dengan pendekatan aktual diharapkan pendidikan agama Islam terasal fungsional bagi kehidupan siswa. Sampai disini terlihat bahwa Abuddin memandang bahwa melalui pendidikan agama Islam merupakan salah satu strategi yang sangat tepat untuk menanamkan pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi diri siswa secara awal dan mendasar, wujud aktual dari semangat pendidikan iman dan takwa tersebut secara implementatif dilakukan oleh siswa sebagai bagian dari kehidupannya.
b. Dari Segi Metodologi
Ketika memahami pendapat Abuddin tentang metodlogi yang digunakan dalam pendidikan keimanan dan ketakwaan penulis memaknai bahwa Abuddin menginginkan adanya pendekatan metodologi bahwa seluruh mata peajaran merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Metodologi pengajaran mestilah di disain dengan baik melalui pendekatan psikologis dan rasional agar pembelajaran menjadi sangat menarik. Nampaknya dari segi metodologis ini Abuddin sendiri belum menguraikan makna, latar belakang dan konsep metodologi apa yang dimaksudkannya. Karena penelitian ini sifatnya sangat temporal maka kajian ini pada masa datang mungkin akan lebih jelas dan terperinci diuraikan oleh Abuddin.
c. Dari Segi Sarana dan Prasarana
Menurut Abuddin strategi pendidikan keimanan dan ketakwaan tidak hanya berlangsung secara konseptual, tetapi dalam penerapannya perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang tepat. Misalnya tempat ibadah yang lengkap dengan peralatannya, bimbingan salah berjemaah, penciptaan lingkungan yang agamis, pembudayaan tradisi keislaman, perayaan hari-hari besar Islam, apresiasi nilia-nilai keimanan dan ketakwaan dalambentuknya yang aktual dan sebagainya. Dengan demikian pada saat para siswa berada dalam lingkungan tersebut mereka akan merasakan suasana yang khas islami. Dari pendapat tersebut Abuddin Nata menginginkan selain sarana dan prasarana, lingkungan juga perlu disesuaikan, dirancang,dan dikondisikan sehingga seluruh aktivitas dan simbolisme yang ada di dalamnya menjadi sebuah adat dan tradisi yang sesuai dengan fitrah Islam. Tentu saja dalam wilayah pendidikan, lingkungan sekolah mesti dirancang, disiasati dan diciptakan oleh seluruh warga sekolah sehingga sekolah menjadi sebuah lingkungan Islami yang terasa aman, nyaman, dan menyenangkan. Selain itu juga dapat dipahami bahwa pengkulturan terhadap aktivitas dan simbolisme beragama dapat memicu tumbuhnya peningkatan keimanan dan ketakwaan.




























KONSEP PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM PANDANGAN ABUDDIN NATA

Pada dasarnya pemikiran Abuddin Nata banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikir-pemikir besar Islam sebelumnya. Seperti diketahui bahwa Abuddin Nata banyak meneliti tentang pendapat para pemikir pendidikan Islam, khususnya dalam buku yang berjudul Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Pesrfektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Muirid; Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali yang kemudian dengan sendirinya memberikan kesimpulan tersendiri dari beberapa pemikir yang banyak menjadi referensinya itu. Sengaja atau tidak beberapa konsep pemikiran atau pendapat-pendapat para ahli pendidikan Islam terlihat justru telah masuk dalam pola dan konsep pikir Abuddin Nata. Hal ini dipahami dapat saja terjadi, namun demikian sesekali nampak jelas pikiran-pikiran Abuddin Nata dengan logika-logika baru, pemahaman baru dan konsep-konsep baru. Beberapa pikiran tokoh tentang pendidikan Islam yang banyak dikaji oleh Abuddin diantaranya, Ibn Maskawih, al-Qabisi, al-Mawardi, Ibn Sina, al-Ghazali, Burhanuddin az-Zarnuji, Ibn Jama’ah, Ibn Taimiyah, Abdullah Ahmad, K.H. Ahmad Sanusi, Ikhwanul Muslimin, dan pemikir-pemikir lainnya. Dengan demikian pikiran-pikiran Abuddin bisa saja dimotori oleh para pemikir tersebut dengan membentuk formula baru meskipun pada hakikatnya beberapa pendapat itu adalah sama. Formula-formula yang dimaksud tentu akan memberikan kekhasan tersendiri dari pemikir-pemikir lainnya. Untuk selanjutnya fostulasi baru inilah yang dianggap sebagai “polesan” ilimiah dari seorang Abuddin Nata.

A. Konsep Pendidik
Pendidik menurut Abuddin disebut juga sebagai guru, instruktur, ustadz, dan dosen. Mereka memegang peranan penting dalam berlangsungnya kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Tugas guru dalam mewujudkan tujuan pendidikan menurut Abuddin merupakan “bentuk lain dari pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintahnya. Dari pendapat Abuddin ini diketahui bahwa guru sebagai pendidik merupakan sebuah tugas ibadah dan pengabdian manusia dalam menjalankan perintah Allah. Jadi pendidikan adalah upaya manusia untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai hamba dan khalifah di bumi.
Abuddin Nata memandang bahwa pendidik adalah seorang contoh teladan maka segala tingkah laku guru harus sesuai dengan norma dan nilai agama yang berasal dari wahyu. Pentingnya nilai-nilai yang melekat pada guru dengan memperhatikan norma yang berlaku dimaksudkan untuk menjaga wibawa para guru. Seorang guru harus tampil sebagai teladan yang baik dalam proses pembelajaran. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak hanya sekedar komunikator nilai, sekaligus sebagai pelaku nilai yang menuntut adanya rasa tanggungjawab dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Abuddin mengatakan bahwa tanggungjawab guru kian hari semakin berat. Dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat (baca: pengetahuan, tehnologi dan cara pandang) maka tugas mengajar harus diberikan kepada seorang yang profesional , bukan orang sembarangan. Nampaknya pada umumnya hampir para ahli pendidikan Islam setuju profesionalisme sebagai syarat dalam mengajar. Dari sini dapat dipahami bahwa Abuddin adalah seorang pemikir yang menuntut agar setiap pendidik bertanggungjawab dalam meningkatkan keilmuannya dan kualitas akademiknya melalui kegiatan-kegiatan ilmiah agar dapat meningkatkan kualitas siswanya.
Di sisi lain ketika Al Mawardi berpendapat bahwa pendidik harus banyak berkonsentrasi pada masalah kepribadian, Abuddin Nata justru menandaskan bahwa sebagai pendidik tidak hanya memiliki kepribadian yang baik, tetapi juga harus memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pendapat Abuddin Nata dipengaruhi oleh pengalamannya bahwa banyak diantara guru yang memiliki kepribadian yang baik, namun kurang menguasai materi secara mendalam. Dari pemahaman ini nampaknya pemikiran Abuddin Nata memiliki persesi yang sama dengan Uzer Usman, sebagaimana kutipan berikut:
Sebagai guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam intraksi belajar mengajar, serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuanm dalam hal ilmu yang dimilikinya, karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang akan dicapai siswa. Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti guru harus belajar terus menerus. Dengan cara demikian dia akan memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dalam intraksi belajar mengajar, sehingga dengan kemampuannya baik dalam hal metode mengajar, gaya mengajar ataupun penyampaian materi pelajaraan bisa menyukseskan intraksi belajar mengajar atau pun proses belajar mengajar.

Pada konteks kekinian guru mestilah memiliki kemampuan dan personality. Lebih lanjut Abuddin menyatakan bahwa dalam menghadapi tuntutan zaman penguasaan terhadap materi sangat diperlukan untuk menciptakan siswa yang kreatif, produktif dan mandiri. Lagi-lagi terlihat bahwa Abuddin sangat mementingkan profesionalitas guru sebagai pendidik. Tentunya tugas profesionalitas melahirkan tanggungjawab yang sangat besar. Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan Abuddin mengungkapkan bahwa pentingnya pendidik professional dilandasi oleh hadis Nabi yang menjelaskan “apablia suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Hal ini menurut Abduddin sejalan dengan firman Allah SWT. “Bekerjalah kamu menurut keahlianmu sekalian, (Azzumar: 39, juga terdapat di dalam surah at-Taubah:105) . Dalam profesionalitas guru yang dimaksud terlihat bahwa Abuddin lebih mementingkan persyaratan akademis.
Di samping sebagai teladan, penyayang dan bersikap lemah lembut terhadap siswa sesuai dengan psikologi manusia, sebab secara psikologis setiap manusia lebih suka diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan halus daripada diperlakukan dengan cara-cara yang keras dan kasar. Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia Hanna Djumhana Bastaman menyatakan bahwa para ahli dan aliran psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Untuk itu sebagai pendidik guru mestilah memahami kondisi yang sedang dihadapi oleh siswanya, baik jasmaninya, kejiwaannya maupun lingkungan di mana siswa tersebut tinggal. Guru mesti memahami prakondisi dan kondisi yang dialami siswa dalam proses pembelajaran.
Lebih lanjut Abduddin mengatakan seorang guru juga harus tampil sebagai motivator . Dalam kaitan ini akhlak para guru sebagai pemberi motivasi adalah tidak menghadapi muridnya dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena jika seorang guru memperlakukan siswanya dengan kasar tentu saja akan menghilangkan simpati siswa pada gurunya dan pada gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika hal ini berlangsung maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu disebabkan kelalaian para guru.
Selanjutnya menurut Abduddin guru mestilah sikap tawadlu dan rendah hati. Pendapat ini sesuai dengan Pendapat al-Abrasyi yaitu untuk terciptanya suasana pendidikan yang baik, maka seorang pendidik dituntut untuk memiliki sifat qanaah, tawadhu’, bersih dan suci lahir batin, iklas, penyantun, kebapakan, mengetahui perkembangan emosi dan intelektual peserta didik, serta menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan dengan baik.
Seorang guru perlu menghargai muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi, serta melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini menurut Abuddin sangat sejalan dengan prinsip yang digunakan oleh pendidik di zaman modern, yaitu murid dan guru berada dalam kebersamaan. Guru juga harus bersikap demokratis karena menurut Abuddin dengan sikap demokratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar siswa aktif. Hal ini dapat dipahami sistem pembelajaran yang demokratis adalah kondsi pembelajaran yang menghargai beragam pendapat, menghargai perbedaan, dan menghargai kemampuan setiap manusia.
B. Konsep Peserta Didik
Peserta didik adalah orang yang sedang berada dalam proses pendidikan untuk belajar, dan menuntut ilmu pengetahuan. Banyak sebutan yang digunakan terhadap peserta didik yaitu murid, siswa, pelajar, dan mahasiswa. Ditinjau dari segi bahasa Inggris sedangkan siswa menurut pengertian bahasa bahasa Arab .
Abuddin Nata berpendapat bahwa seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Pendapat di atas terlihat bahwa Abuddin Nata mengartikan murid dalam makna sufistik dan nampaknya diilhami oleh pemikiran al-Ghazali. Selanjutya Abuddin menyatakan ada tiga kata yang sering digunakan yaitu murid,al-tilmidz dan al-mudarris, namun kata-kata ini hanya digunakan pada level pelajar tingkat dasar dan tingkat lanjutan. Karena semua itu menurut Abuddin murid tersebut baru belajar, belum memiliki wawasan, dan masih amat bergantung pada guru dan belum menggambarkan kemandirian. Ia masih memerlukan masukan berupa pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan lain sebagainya, sehingga masih banyak memerlukan bimbingan. Hal ini dapat dipahami bahwa siswa baru dapat menerima pengertian-pengertian pembelajaran secara konseptual teoritis, belum mampu menerima pengetahuan yang bersifat konseptual.
Istilah lain yang berkenaan dengan murid pada level pendidikan tinggi dikemukakan oleh Engr Sayyid Khadim, sebagaimana di Kutip oleh Abuddin adalah al-thalib. Kata ini berasal dari Bahasa Arab, thalab, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini menurut Abuddin karena posisi persera didik adalah orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya, untuk bekal kehidupannya dimasa depan agar berbahagia dunia dan akhirat. Kata thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang disebut dengan mahasiswa. Lebih lanjut Abuddin berkomentar, sebagaimana petikan berikut:
Penggunaan kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dimengerti karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang ia peroleh dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, terutama pengetahun tentang membaca, menulis dan berhitung. Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan mendalimi bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan, seperti buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial melalui berbagai peralatan dan sarana pendidikan lainnya, terutama bahan bacaan. Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa selanjutnya dituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel, makalah, skripsi, teiss, disertasi, laporan penelitian dan lain sebagainya.
Dengan demikian menurut Abuddin ial thalib adalah seorang murid yang lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan tidak banyak bergantung pada guru. Bahkan dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengritik dan menambahkan informasi yang disampaikan. Menurut penulis situasi ini dapat berlangsung karena di perguruan tinggi situasi pembelajaran selain lebih banyak tugas yang dibebankan kepada mahasiswa (al Thalib) setting pembelajarannya juga dilakukan secara ilmiah, rasional, sistematik, dan demokratis.
Ada dua pendapat yang dirujuk oleh Abuddin ketika memberikan pengertian murid yaitu pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Thalib bukanlah kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, dan pendapat Abd al-Amir Syams al-din yaitu al-Thalib adalah orang yang telah mencapai tingkatan dalam kecerdasan, dapat berfikir dengan baik dan berusaha sejalan dengan dengan kepribadian dan kecerdasannya dalam memilih jalan, dalam mendapatkan ilmu dan upaya-upaya untuk mencapainya.
Selain murid al tilmidz, dan al-Thalib, Abuddin Nata dalam penyelidikannya tentang konsep peserta didik, menemukan beberapa kata-kata yang biasa digunakan oleh para pemikir pendidikan Islam yaitu al-mudarris, yang berasal dari bahasa Arab, darrasa yang berarti orang yang mempelajari sesuatu. Pengertian lain adalah al-Muta’allim. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘allama, yu’allimu, ta’liman yang berarti orang yang mencari pengetahuan. Isitlah ini menurut Abuddin Nata yang paling banyak digunakan para ulama pendidikan dalam menjelaskan pengertian murid.
C. Pola Hubungan Pendidik dan Peserta Didik

1. Sikap Guru Terhadap Murid
Abudddin Nata menyimpulkan Kitab Adab al-Ulama wa al-Muta’allim, karangan maulana Alam al-Hajjar ada dua belas sifat yang ditunjukkan oleh guru terhadap siswa dalam proses belajar mengajar yaitu; 1) guru mesti memahami bahwa tujuan mengajar untuk mendapat keridhaan Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan yang bersifat duniawi, harta, kepangkatan, keteanaran, kemewahan, status sosial dan lain sebagainya; 2) senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang-terangan, dan senantiasa menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatannya, karena ia seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh Allah dan kejernihan pancaindra dan penalaran; 3) menjaga kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela; 4) berakhlak dengan sifat juhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, qana’ah dan sederhana; 5) menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela; 6) melaksanakan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya; 7) melaksanakan amalan syariah yang disunnahkan; 8) bergaul dengan sesama manusia dengan menggunakan akhlak yang mulia dan terpuji; 9) memelihara kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela, 10) senantiasa semangat dan menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras; 11) senantiasa memberi manfaat kepada siapapun, dan 12) aktif dalam mengumpulkan bahan bacaan, mengarang dan menulis buku. Dari kedua belas sikap guru tersebut Abuddin berpendapat bahwa pribadi guru dalam pandangan Islam adalah seorang muslim yang taat menjalankan syariat Islam.
Lebih lanjut Abduddin menguraikan pendapat Abd Al-Amir Syams al-Din dalam bukunya al-Fikr al-Tarbawy ind Ibn khaldun wa ibn al-Aazraq ada beberapa kewajiban yang mesti dilakukan guru, seperti kutipan berikut,
Sebagai seorang guru ia tidak boleh melalaikan kewajibannya. Ia wajib bekerja yang dapat menghasilkan ilmu yang berkelanjutan, ia harus tetap membaca, menelaah, berfikir, menghafal, mengarang dan berdiskusi. Seorang guru tidak menyianyiakan usianya untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan ilmu, kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk makan minum, tidur, istirahat, menggauli istrinya, dan menghasilkan bekal hidup. Hal yang demikian dilakukan karena derajat seorang alim adalah derajat pewaris Nabi, dan derajat ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menempa diri.

Menanggapi kutipan tersebut Abuddin berkomentar “seorang guru adalah mereka yang paling kurang memiliki empat syarat. Pertama syarat keagamaan, yaitu patuh dan tunduk melaksanakan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. Kedua senantiasa berakhlak yang mulia yang dihasilkan dari pelaksanaan syari’at Islam tersebut. Ketiga senantiasa meningkatkan kemampuan ilmiahnya sehingga benar-benar ahli dalam bidangnya. Keempat mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat pada umumnya.” Pandangan Abuddin tersebut dipahami bahwa guru mesti memiliki syarat sebagai orang yang beriman, berakhlak mulia dan memiliki kemampuan akademik, ikhlas dan berwawasan yang luas. Sekaitan dengan ini Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf mengatakan: seorang pendidik, bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas, lebih dari itu mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas profesinya, serta menerima tanggungjawab profesinya sebagai bagian amanat yang diberikan Allah kepadanya dan mesti dilaksanakan secara baik.
Selanjutnya Abuddin Nata berpendapat sikap profesional guru terhadap siswa secara teknis dalam proses belajar mengajar adalah bersikap diantaranya lemah lembut, sabar dalam menghadapi cobaan dan perlakuan yang kurang menyenangkan dari murid-muridnya dengan cara melibatkan diri ke dalam perbuatan yang baik. Di samping itu guru menanyakan muridnya yang tidak hadir, berupaya memperluas pemahamannya, memberikan nilai manfaat kepadanya, berupaya memberikan pemahaman sesuai dengan tingkat kecerdasannya, tidak memberikan beban yang tidak sanggup dipikul murid, tidak pula memberikan tugas yang terlalu ringan, mengajar masing-masing individu menurut tingkat kesanggupannya dan motivasinya, misalnya cukup memberikan isyarat kepada anak yang sudah paham, dan memberikan penjelasan melalui berbagai perumpamaan kepada yang belum paham, dan memberikan penjelasan melalui berbagai perumpamaan kepada yang belum paham, mengulang-ulang bagi yang belum hafal disertai dalil-dalilnya. Pendapat ini menurut penulis bahwa guru memerlukan siasat atau strategis bagaimana sebuah pembelajaran dapat berlangsung dengan dan melakukan analisis terhadap materi pelajaran dan peserta didik, agar proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tingkat kemampuan para siswa.
Dalam hal kinestik (gerak seorang guru) Abuddin menyimpulkan bahwa guru hendaklah memlihara kedua tangnnya dari hal-hal yang dianggap tidak perlu, serta kedua matanya dari pandangan yang tidak ada gunanya, melainkan menoleh kepada hadirin dengan pandangan yang mengandung maksud sesuai dengan sesuai kebutuhan pandangannya. Dapat dipahami bahwa guru dalam konteks style (gaya) tidak baik terlalu banyak bergerak pada hal-hal yang dapat merendahkan harkat, martabat dan kebesaran nama guru. Jika diperhatikan lebih lanjut guru yang menjaga dirinya dari sifat-sifat tercela, menjaga keyakinannya, wibawa, martabat dan ilmu pengetahuannya bukanlah dimaksudkan sebagai manipulasi taktik terhadap siswa, tetapi yang demikian itu dilakukan dengan mengharap ridha dari Allah SWT. Mungkin inilah yang mesti disadari oleh sebagai dari guru karbitan sekarang, bersembunyi di balik benteng gelar dan jabatan akademik lantas melakukan upaya-upaya pengkerdilan secara sitemik terhadap siswa atau mahasiswa. Guru seperti ini adalah guru yang haus terhadap penghargaan atau embel-embel lainnya agar dianggap hebat, superior, atau selebritis atau guru yang berorientasi duniawi semata.
Kemudian Abuddin menjelaskan guru harus menjaga majelisnya dari perbuatan keliru dan akhlak yang tercela dari para hadirin, dan jika terdapat perbuatan yang tidak baik yang ditunjukkan oleh sebagai siswanya, maka hendaknya ia diperingati dengan cara yang halus sebelum mengatasinya, dan mengingatkan para jamaah bahwa perkumpulan di majelis ini ditujukan untuk mengharap keridhaan Allah SWT., maka tidak pantas melakukan pertengkaran dan keributan. Hal itu dilakukan dalam keadaan bersikap lembut, niat yang bersih dan meminta pendapat yang lainnya, serta mengikat hati para hadirin agar menegakkan kebenaran dan menghasilkan hal-hal yang bermanfaat. Berkaitan ini kesimpulan Abuddin tersebut dapat dipahami bahwa guru dalam konteks hari ini perlu menjaga sikap keguruannya dalam berbagai pertemuan sosial kemasyarakat dan pertemuan ilmiah.
Lebih lanjut Abuddin meyimpulkan pendapat al-Ghazali tentang sikap guru terhadap muridnya yaitu; 1) bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar, 2) guru tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya, 3) tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun, 4) menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, 5) tidak mewajibkan kepada pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecendrungannya, 6) memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, 7) kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan, 8) seorang guru harus mengamalkan ilmunya. Berdasarkan pendapat al-Ghazali itu Abuddin Nata menjelaskan sosok guru yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai perbedaan pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan para siswa dalam memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe atau idola bagi siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. Selain itu seorang guru mestilah adil, dan tidak memandang status sosial muridnya. Sekaitan dengan ini Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi mengatakan:
Dikisahkan bahwa Abdullah bin Amr bin ‘Ash yang akan mengadakan perlombaan dengan seorang Qibthi dan ternyata orang Qibthi tersebut memenangkan perlombaan. Maka Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash marah hingga memukulnya dengan cambuk. “kau kalahkan putra pejabat”, katanya kepada anak Qibthi itu, Maka orang tuanya melaporkan kejadian ini kepada Khalifah Umar bnin Khattab di Madinah. Orang tua anak itu tahu bahwa Islam itu adil. Mendengar pengaduan itu, Umar menegur”Amr bin ‘Ash dan Abdullah Putranya. Umar berkata kepada orang Qibthi itu, “Pukullah dia sebagai balasan dan katakana kepadanya. “Kau pukul putra terhormat”. Kemudian Umar berkata. Pukullah ayahnya karena ia tidak bisa mendidik anaknya. Anak Qibthi itu menukas, “wahai Amirul Mukminin utang sudah lunas. “lalu Khalifah Umar menyampaikan satu kalimat yang menjadi buah bibir setelah itu. Ucapan itu ia sampaikan kepada “Amr bin ‘Ash Radiyallahu Anhu, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, padahal mereka lahir sebagai orang yang merdeka?

Dari beberapa penjelasan-penjelasan yang dikemukakan di atas akhirnya Abuddin Nata menyimpulkan ada empat sifat yang terdapat dalam sikap guru terhadap muridnya dalam pandangan Islam. Pertama komprehensif yaitu guru mesti mengetahui segala seuatu hal yang berkaitan dengan tugasnya; motivasi mengajar, perlakuan yang demokratis dan manusiawi terhadap para siswa, teknik dan urutan penyampaian mata pelajaran, cara dan sikap duduk dan menggunakan organ tubuh dalam mengajar, meneliti kehadiran siswa, memotivasi siswa, pemanfaatan waktu bagi siswa, teknik memberikan pertanyaan serta etika ketika memulai mengajar. Kedua sistemik yaitu guru mengetahui masalah-masalah yang bersifat makro sampai pada masalah yang bersifat mikro, teknis dan particular. Ketiga antisipatif yaitu guru mengetahui hal-hal yang mungkin terjadi dalam proses pembelajaran. Keempat Aktual guru mampu menggambarkan permasalahan yang benar-benar muncul dalam kegiatan proses belajar mengajar.
2. Sikap Murid Terhadap Guru
Selain guru mesti bersikap terhadap murid, dalam pendidikan Islam murid juga mesti memiliki sikap yang baik terhadap gurunya. Dengan adanya proses timbal balik tersebut diperoleh keseimbangan perilaku, kesamaan persepsi, dan adanya hubungan yang saling menghormati antara kedua belah pihak. Meskipun pada dasarnya gurulah yang harus lebih memahami murid karena pengetahuan dan pengalamannya lebih luas dan banyak, tetapi disisi lain siswa juga mesti memiliki etika tertentu terhadap gurunya, sehingga dia dapat menghormati dan menghargai gurunya.
Dalam hal ini Abuddin Nata menyimpulkan pendapat Abdullah Badran yang mengatakan murid mesti bersikap baik terhadap gurunya, jangan bertanya tentang sesuatu diluar masalah yang dibahas, kecuai masalah itu diketahuinya, karena hal itu kurang menyenangkan hati guru, jangan malu bertanya tentang masalah yang sulit, dan ajukan pertanyaan ketika guru sedang tenang jiwanya dan memiliki peluang. Dari segi ini berarti seorang murid menurut Abuddin mestilah berani bertanya dengan maksud tidak untuk menguji guru, mampu melihat dan membaca kondisi dan situasi psikologis seorang guru, mampu memilah pertanyaan yang berkaitan dengan topik pelajaran, dan pertanyaan yang diajukan mestilah masih dalam kerangka pembahasan, agar pelajaran yang dibahas fokus terhadap materi dan tujuan pembelajaran. Lebih lanjut Abuddin Nata menyimpulkan pemikiran Abdullah Badran sebagai berikut:
Murid juga harus menunjukkan kesungguhan dalam belajar, tekun belajar setiap waktu, siang dan malam, ketika di rumah atau di perjalanan, tidak bepergian yang tidak ada hubungannya dengan menuntut ilmu pengetahuan, kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, tidur dan semacamnya seperti istirahat sebentar untuk menghilangkan rasa lelah dan kebutuhan pokok lainnya. Selain itu untuk memudahkan murid memperoleh pelajaran murid juga harus membersihkan hatinya agar mendapat pancaran ilmu dengan mudah dari Tuhan. Ia harus menunjukkan sikap ahklak yang tinggi terutama terhadap gurunya, pandai mengatur waktu yang baik, memahami tata karma dalam majelis ilmu, berupaya menyenangkan hati sang guru, tidak menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan hati sang guru, giat belajar dan sabar dalam menuntut ilmu. Selain itu murid juga harus bersikap sabar, dan menjauhkan diri dari perlakuan yang kurang baik dari syaihknya dan jangan menutup diri dan terus berupaya menyertainya, dengan menduga tetap ada nilai-nilai positifnya, dan hendaknya ia tetap menduga terhadap perbuatan syaihk yang secara lahiriyah tanpak buruk, tetapi pada hakikatnya tetap baik. Hal yang demikian tidak mengapa, walaupun petunjuk yang diperoleh dari sikap syaihk itu cuma sedikit. Ia tetap harus menunjukkan sikap yang manis, cita-cita yang tinggi, tidak puas dengan hasil ilmu yang sedikit padahal peluang cukup banyak, tidak menunda-nunda untuk mencapau keberhasilan walaupun sedikit.

Komentar Abuddin Nata terhadap pendapat Abdullah Badran tersebut adalah “nuansa sufistik dari Abdullah Badran terlalu menonjol”. Kemudian Abuddin Nata menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Abdullah Badran, dia menggangggap bahwa pola Abdullah Badran kurang memperlakukan siswa secara demokratis, guru terlalu memiliki otoritas penuh terhadap siswa, guru kurang memberikan kebebasn bagi siswa untuk berapresiasi dan berkreasi. Di sinilah letak perbedaan cara berfikir Abuddin Nata dengan Abdullah Badran, Abuddin jelas-jelas menginginkan agar siswa memiliki sikap yang demokratis, kritis, rasional, apresiatif dan kreatif dalam proses pembelajaran. Inilah yang mengindikasikan bahwa cara berfikir Abuddin Nata yang modernis religius.
Selain itu Abuddin Nata juga mengkritik Maulana Hajjar dan Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi yang menyatakan perlunya etika murid dalam majelis ilmu. Abuddin menuduh bahwa semua sistem yang berkaitan dengan sistem pengajaran pada majelis halaqah belum ada batasan kapan seorang harus menyelesaikan pelajarannya, sedangkan sekolah dibatasi waktu, kurikulum dan sebagainya. Meskipun mengritik Abuddin Nata masih toleran bahwa secara umum di antara etika itu masih dapat diberlakukan di sekolah atau pendidikan lainnya.
Lebih lanjut Abuddin Nata mencoba membandingkan antara pemikiran di atas dengan kesimpulannya tentang cara pandang Imam al-Ghazali terhadap sikap murid kepada guru yang terdiri dari sepuluh sikap yaitu; 1) seorang pelajar harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak buruk dan sifat-sifat tercela, 2) seorang pelajar hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi, ia harus bersungguh-sungguh dan bekerja keras menuntut ilmu, bahkan ia harus jauh dari keluarga dan kampung halamannya, 3) seorang pelajaran jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya dan jangan pula banyak memerintah guru, 4) bagi pelajar permulaan janganlah melibatkan atau mendalami perbedaan para ulama, karena yang demikian itu dapat menimbulkan perasangka buruk, keragu-raguan dan kurang percaya kepada kemampuan guru, 5) seorang pelajar jangan berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran sebelumnya, 6) seorang pelajar jangan menenggelamkan diri pada satu bidang ilmu saja, melainkan harus menguasai ilmu pendukung lainnya, 7) seorang pelajar jangan melibatkan diri terhadap pokok bahasan tertentu, sebelum melengkapi pokok bahasan lainnya yang menjadi pendukung ilmu tersebut, 8) seorang pelajar agar mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu, 9) seorang pelajar agar dalam mencari ilmunya didasarkan pada upaya menghias batin dan mempercantiknya dengan berbagai keutamaan, 10) seorang pelajar harus mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya.
Jika diperhatikan lebih lanjut Abuddin Nata lebih setuju dengan pendapat-pendapat al-Ghazali daripada para ahli lainnya. Hal ini dapat dipahami karena al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang sebelumnya berlatar belakang filsafat bahkan ahli filsafat kemudian mengharamkan filsafat itu karena keraguannya disebabkan dia tidak menemukan hakikat kebenaran. Abuddin memandang bahwa pola pikir al-Ghazali cukup baik diterapkan pada saat ini meskipun ada penyesuaian pada beberapa hal. Sepanjang kajian di atas penulis melihat sisi positif yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Pendidikan umum terlihat tidak sampai menjangkau hal-hal yang sifatnya mengatur hubungan antara guru dan murid dalam berbagai situasi dan kondisi, terlalu memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan keinginannya, terlalu demokratis sehingga terkadang siswa kurang menghargai gurunya, dan kurang beretika terhadap guru kurang. Kurangnya etika belajar ini disebabkan karena hubungan antara murid dengan guru hanya diatur dan berlangsung secara formal saja yaitu dalam lembaga pendidikan, sementara di luar sekolah tidak ada lagi hubungan antara guru dengan murid yang ada hanyalah hubungan sosial dan kemanusiaan.
3. Pola Hubungan Guru dan Murid
a. Hubungan Edukatif
Inti dari pendidikan adalah terjadinya hubungan interaktif antara guru dan murid. Tujuan pendidikan Islam di atas hanya akan dapat dicapai jika dalam proses pendidikan terjadi interaksi yang aktif dan harmonis antara guru dan murid. Dalam interaksi yang aktif dan harmonis yang dimaksud adalah adanya pemahaman dan pelaksanaan tentang tugas dan fungsi masing-masing di dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Beberapa ahli mengemukakan tentang tujuan pendidikan Islam, misalnya Ahmad D Marimba memandang tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian seorang muslim. Mansyur Abadi dan Zanida Abadi berpendapat tujuan pendidikan adalah membentuk hubungan yang baik. M. Arifin menyebutkan tujuan pendidikan Islam agar manusia dapat mengelola atau memanfaatkan potensi-potensi pribadi sosial dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Dzakiah Daradzat menyimpulkan tujuan pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya.
Dalam interaksi edukatif antara guru dan murid untuk mencapai tujuan pendidikan selanjutnya akan membentuk pola hubungan. Pola hubungan inilah yang akan menjadi kajian selanjutnya. Menurut Abuddin Nata subyek didik (guru) adalah sebagai pemberi bimbingan, arahan dan ajaran, dan objek didik (murid) yang menerima bimbingan, arahan dan ajaran tersebut. Guru berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik (murid) dan murid sebagai obyek yang diarahkan dan digali potensinya. Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang dikemukakan Abuddin tersebut tersirat adanya pola hubungan edukatif, yang maknanya interaksi ditandai dengan adanya guru yang memberi pelajaran dan adanya siswa yang menerima materi pelajaran. Meskipun guru disebut sebagai pemberi pelajaran bukan berarti bahwa gurulah yang menjadi satu-satunya sebagai sumber belajar, akan tetapi guru hanyalah salah satu orang yang memfasilitasi kegiatan pembelajaran, sebagai pengarah dan pemberi bimbingan.
b. Hubungan Demokratis
Lebih lanjut Abuddin menjelaskan bahwa guru dan mendengarkan pendapat para siswa, bersikap obyektif, terbuka dan membantu perkembangan siswa sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Dari segi ini dipahami bahwa pola hubungan antara guru dan murid dilandasi dengan hubungan yang demokratis; saling menghargai adanya perbedaan, merdeka, tidak memaksakan kehendak, dan mengetahui kekurangan-kekurangan masing-masing. Selain itu dapat juga dipahami bahwa hubungan antara guru dan murid adalah hubungan yang didasari sikap transparansi; terbuka, jujur, adil dan tidak berpihak.
c. Hubungan Kekeluargaan
Abuddin memandang bahwa hubungan antara guru dan murid mestilah di dasarkan atas hubungan rasa kekeluargaan. Dimana seorang guru menganggap bahwa muridnya adalah bagian dari keluarganya, muridnya adalah anak-anaknya sendiri, yang mana sebagai orang tua tentu akan menjaga, memelihara dan mengupayakan yang terbaik kepada muridnya. Demikan juga sebaliknya muridpun mestilah menganggap bahwa gurunya adalah termasuk orang tua yang harus dicintainya, dihormati dan dipatuhinya. Hubungan antara guru dan murid dibina berdasarkan persaudaraan dan rasa kekelargaan biasanya ditemui dalam pesantren. Hal ini diungkapkan oleh Kihajar Dewantara:
Bahwa dengan cara pondok, (pawiyatan) kita dapat mengadakan dunia kesiswaan dan pecantrikan, yaitu dunia pendidikan. Oleh karena itu guru-guru dan murd-murid itu tiap hari hidup bersama-sama, siang malam bersama-sama, makan, bermain, belajar, bergaul, dan dari sini seorang anak akan terdidik dengan sempurna, yakni pendidikan tidak menurut buku-buku pedagogic yang bersifat teoritis semata, melainkan menurut pedagogik yang hidup, yaitu menurut cara hidup yang nyata dan baik. Dengan system demikian, maka anak-anak kita tidak akan terpisah dengan orang tuanya. Sehari-harinya anak-anak akan merasa sebagai anak rakyat, terus insyaf akan kemanusiaan, karena senantiasa hidup dalam dunia kemanusiaan.
Hubungan kekeluargaan yang dimaksud tidaklah mungkin dapat diciptakan di sekolah-sekolah umum sebagaimana layaknya dipesantren namun yang penting adalah maknanya secara aktual dengan adanya pengkondisian dapat diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan.
d. Hubungan Psikologis
Hubungan psikologis yang dimaksud adalah adanya hubungan kejiwaan yang sangat dekat antara seorang guru dengan muridnya. Hubungan ini ditandai dengan adanya perasaan dekat antara seorang murid dengan gurunya. Hubungan ini tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Hubungan psikologi biasanya didasarkan atas persahabatan, pergaulan , jenjang hirarkis baik dalam jabatan, kemampuan maupun pengalaman. Proses pembelajaran akan berjalan secara efektif bila hubungan (baca: psikologis) antara pendidikan dan pesera didik berjalan secara harmonis. Lebih lanjut Mudjab Mahali melukiskan tentang bagaimana hubungan psikologis antara guru dan murid.
“perlulah kamu ketahui, bahwa sesungguhnya guru adalah orang yang paling cinta kepadamu, sesudah ayah dan Ibu. Guru selamanya tidak pernah merasa iri dan dengki kepadamu, baik dikala mendapat kebahagiaan ataupun kenikmatan. Sebaliknya guru akan merasa ikut menderita apabila dirimu mendapat petaka. Apabila dirimu mendpat kedudukan yang tinggi, martabat dan kehormatan, maka gurumu akan merasa berbahagia dan bangga pula. Keberhasilan yang telah kamu capai, berarti keberhasilan guru pula di dalam memberikan pendidikan, keberhasilan dalam mendewasakanmu selama ini, sehingga dia pun merasa berbahagia atas keberhasilan yang kamu capai.




e. Hubungan Kemitraan
Dalam hal ini Abuddin mengatakan dalam pola ini hubungan antara guru dan murid terhadap eksistensinya sama-sama diakui. Guru tidak dapat memaksaan kehendaknya sendiri atau tidak terlalu mendominasi terhadap murid, sebaliknya muridpun tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada guru. Untuk itu mesti dibangun keterbukaan, sifat demokrasi, dan hubungan kemanusiaan antara guru dan murid. Dalam proses belajar mengajar menurut Abuddin murid diperlakukan secara manusiawi, diberikan hak untuk mengemukakan pendapat, bertanya, mengritik, dan diperlakukan sesuai dengan bakat, potensi dan kecendrungannya. Abuddin juga berpendapat bahwa guru mestilah bekerjasama dengan murid dalam memecahkan berbagai persoalan.

Persepsi pamong di SMAN Kota Padang tentang Kompetensi Guru PPL dan Kode Etik Mengajar Guru PPL terhadap Nilai Akhir PPL yang diperoleh Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang”

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan proses belajar mengajar sangat tergantung kepada kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Kemampuan yang dimaksud adalah serangkaian kompetensi yang dimiliki oleh guru, baik yang menyangkut dengan kemampuan pribadinya (efikasi diri) kemampuan dalam berinteraksi dengan siswa, kemampuan memilih dan menentukan media dan metode pembelajaran dan kemampuan dalam mendisain dan mengembangkan materi pembelajaran. Guru yang memiliki berbagai kompetensi tersebut disebut sebagai guru professional.

Persayaratan professional guru dikemukakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2005 yang menyatakan bahwa: “Guru merupakan sebuah profesi yang menuntut suatu kompetensi, agar guru itu mampu melaksanakan tugas sebagai mana mestinya guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuaan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

1

Menurut Sofa (2008: 4) kompetensi profesional guru adalah sejumlah kompetensi yang berhubungan dengan profesi yang menuntut berbagai keahlian di bidang pendidikan atau keguruan. Kompetensi professional merupakan kemampuan dasar guru dalam pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, bidang studi yang dibinanya, sikap yang tepat tentang lingkungan PBM dan mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar

Glasser dalam Nana Sudjana (1988) mengemukakan empat jenis kompetensi tenaga pengajar, yakni (a) mempunyai pengetahuan belajar dan tingkah laku manusia, (b) menguasai bidang ilmu yang dibinanya, (c) memiliki sikap yang tepat tentang dirinya sendiri dan teman sejawat serta bidang ilmunya , (d) keterampilan mengajar.

Oemar Hamalik (2004) menyatakan bahwa masalah kompetensi profesional guru merupakan salah satu dari kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan apa pun. Kompetensi‑kompetensi lainnya adalah kompetensi kepribadian dan kompetensi kemasyarakatan.

Secara teoretis ketiga jenis kompetensi tersebut dapat dipisah‑pisahkan satu sama lain, akan tetapi secara praktis sesungguhnya ketiga jenis kompetensi tersebut tidak mungkin dapat dipisah‑pisahkan. Di antara ketiga jenis kompetensi itu saling menjalin secara terpadu dalam diri guru. Guru yang terampil mengaiar tentu harus pula memiliki pribadi yang baik dan mampu sosial adjustment dalam masyarakat. Ketiga kompetensi tersebut terpadu dalam karakteristik tingkah laku guru.

Proses belajar dan hasil belajar bukan saja ditentukan oleh sekolah, pola, struktur, dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar ditentukan oleh kompetensi guru yang mengajar dan membimbing mereka. Guru yang baik adalah guru yang cepat tanggap, paham akan situasi dan kondisi pembelajaran dan mengerti tentang apa saja yang diinginkan oleh murid-muridnya. Guru yang memiliki kemampuan tersebut bisaanya akan disukai dan disenangi oleh siswa.

Oemar Hamalik (2002) mengatakan “guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan, dan akan lebih mampu mengelola kelasnya, sehingga belajar para siswa berada pada tingkat optimal”. Indikator dari pembelajaran efektif dan menyenangkan adalah 1) siswa mudah memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru, 2) proses pembelajaran berlangsung secara terbuka, 3) aktivitas dan partisipasi kelas yang tinggi, dan 4) proses belajar tidak membosankan.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 5, menyebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah “anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan”. Ayat 6 pasal yang sama disebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah “mereka yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”. Selanjutnya pasal 39 ayat 2 menyatakan bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Undang-Undang tersebut secara tegas menjelaskan bahwa seorang guru atau pendidik harus memiliki kemampuan profesional dalam perencanaan, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan pemimbingan. Secara legalitas, kemampuan-kemampuan profesional yang dipersyaratkan dalam undang-undang tersebut harus dimilki oleh setiap guru sebagai kemampuan dasar atau “core skills of teaching profession”. Penguasaan satu dan atau dua kemampuan saja belum dikatakan bahwa guru tersebut professional. Guru yang tidak mampu merencanakan walau pun mampu mengembangkan proses pembelajaran secara legal dianggap tidak memiliki kemampuan profesional. Demikian pula mereka yang sanggup merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran tetapi tidak mampu melakukan penilaian hasil belajar adalah juga guru yang tidak memiliki kemampuan profesional yang dipersyaratkan. Guru yang tidak mampu melakukan bimbingan terhadap peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah guru yang tidak memiliki kemampuan profesional berdasarkan Undang undang tersebut. Sedangkan kemampuan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat merupakan kemampuan yang bersifat optional bagi guru pendidikan dasar dan menengah namun sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh tenaga pengajar di perguruan tinggi.

Kemampuan profesional seorang guru harus didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman terhadap peserta didik, pemahaman dan kemampuan menerapkan keterampilan dasar mengajar, pengetahuan dan kemampuan untuk memotivasi peserta didik, pengetahuan dan kemampuan untuk menerapkan teori belajar, pemahaman terhadap kurikulum dan kemampuan mengidentifikasi ide dasar kurikulum.

Jadi untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (Supriadi 1998).

Berdasarkan pertimbangan dan analisis di atas, dapat diperoleh gambaran secara fundamental tentang pentingnya kompetensi guru. Karena peranan guru yang sangat penting dalam proses pembelajaran, maka guru yang dinilai kompeten secara profesional, apabila guru tersebut mampu: mengembangkan tanggung jawab dengan sebaik‑baiknya, melaksanakan peranan‑peranannya secara berhasil, bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan (tujuan instruksional) sekolah, dan melaksanakan peranannya dalam proses mengajar dan belajar dalam kelas.

Agar guru mampu mengemban dan melaksanakan tanggung jawabnya ini, maka setiap guru harus memiliki berbagai kompetensi yang relevan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut. Dia harus menguasai cara belajar yang efektif, harus mampu membuat model satuan pelajaran, mampu memahami kurikulum secara baik, mampu mengajar di kelas, mampu menjadi model bagi siswa, mampu memberikan nasihat dan petunjuk yang berguna, menguasai teknik­-teknik memberikan bimbingan dan penyuluhan, mampu menyusun dan melaksanakan prosedur penilaian kemajuan belajar, dan sebagainya (Slameto, 2003).

Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang adalah salah satu lembaga perguruan tinggi yang mempersiapkan mahasiswanya menjadi calon tenaga pendidik yang profesional. Berbagai pembinaan dilakukan agar terwujud guru yang profesional dibidangnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang dalam hal membina dan mengupayakan mahasiswa sebagai calon tenaga pendidik yang professional adalah mewajibakan mahasiswa untuk mengikuti dan mengambil mata kuliah PPL I yang dilaksanakan disekolah sebagai persiapan awal untuk mengajar disekolah dan PPL II sebagai aplikasi untuk menerapkan ilmu atau teori-teori yang diperoleh.

Program Pengalaman lapangan (PPL) adalah serangkaian kegiatan yang diprogramkan bagi mahasiswa LPTK/Fakultas Tarbiyah, yang meliputi latihan mengajar maupun latihan di luar mengajar. Oemar Hamalik (2004) mengemukakan kegiatan ini sebagai ajang untuk membentuk dan membina kompetensi-kompetensi profesional yang dipersyaratkan oleh pekerjaan guru atau tenaga kependidikan lainnya. Sasaran yang ingin dicapai adalah pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap, serta pola tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya di dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Oemar Hamalik (2004) selanjutnya juga mengemukakan tiga pokok pikiran penting, yakni pengalaman lapangan berorientansi pada (1) kompetensi, (2) terarah pada pembentukan kemampuan-kemampuan professional mahasiswa calon guru atau tenaga kependidikan lainnya, dan (3) dilaksanakan, dikelola, dan ditata secara terbimbing dan terpadu.

Pokok pikiran pertama, mengandung pengertian bahwa tingkat kemampuan yang diperoleh oleh calon guru merupakan indikator hasil dari pengalaman lapangan. Guru yang kompeten adalah guru yang mampu melaksanakan tugas-tugas kependidikan dengan berhasil, dilihat dari produk yang tercapai oleh siswanya. Pokok pikiran kedua, mengandung pengertian bahwa pengalaman lapangan mengerahkan calon guru untuk mengembangkan kemampuan profesional, kemampuan personal, dan kemampuan sosial. Pokok pikiran ketiga, mengandung pengertian bahwa dalam proses kegiatan di lapangan, mahasiswa calon guru bertindak secara aktif, bimbingan berfungsi membantu calon guru agar mampu mengarahkan dan memperbaiki diri sendiri.

Dalam Buku Pedoman PPL Fak. Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang (2005) dikemukakan tujuan PPL, yakni “membekali mahasiswa dengan pengetahuan praktis dan keterampilan keguruan dan membimbing mahasiswa ke arah terbentuknya calon guru agama atau tenaga kependidikan lainnya yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam pembinaan kemampuan dasar dan profesi keguruan”.

Untuk menguasai keterampilan mengajar tersebut, mahasiswa di Jurusan Tarbiyah (LPTK) dibekali pengetahuan dasar keguruan melalui Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK) dan Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar (MKPBM). Selanjutnya baru diadakan pembinaan keterampilan melalui Program Pengalaman Lapangan (PPL). Kegiatan ini merupakan kegiatan pelatihan untuk menerapkan berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam melaksanakan pendidikan pra-jabatan keguruan. Program ini dirancang untuk melatih mahasiswa menguasai kemampuan keguruan yang utuh dan terintegrasi, sehingga setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka siap menjadi calon guru yang professional.

Perlu untuk dipahami bahwa salah satu kewajiban pendidik profesional adalah menjaga dan menjalankan kode etik guru. Siapa pun orangnya (baca: tidak terkecuali guru PPL) haruslah mentaati kode etik keguruan. Setiap guru haruslah memiliki etika yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Koesoema (2007) mengatakan: Setiap profesi, apa pun, termasuk guru, tidak dapat melepaskan diri dari prinsip moral dasar yang diajukan Immanuel Kant. Maksim moral Immanuel Kant berbunyi, Bertindaklah terhadap kemanusiaan itu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan pribadi itu sendiri atau yang lain bukan sebagai alat, tetapi sebagai tujuan dalam diri mereka sendiri".

Koesoema (2007) melanjutkan “Etika profesi dan standar moral harus dimiliki tiap individu yang terlibat dunia pendidikan. Ini penting sebab corak relasional antar individu dalam lembaga pendidikan tidak imun dari unsur kekuasaan yang memungkinkan ditindasnya individu yang satu oleh individu lain. Selain itu, etika profesi menjadi pedoman saat muncul konflik kepentingan agar kepentingan masyarakat umum tetap terjamin melalui pelayanan profesional itu. Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan berubah menjadi toko grosiran di mana keuntungan dan tumpukan uang menjadi tujuan”.

Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam Kongres XIII Tahun 1973 di Jakarta, dan disempurnakan dalam Kongres XVI tahun 1989 di Jakarta, yaitu: 1) guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, 2) guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional, 3) guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan, 4) guru rnenciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar, 5) guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan, 6) guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatican mutu dan martabat profesinya,7) guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial, 8) guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian, 9) guru melaksanakan segala kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan

Dalam temu karya pendidikan III dan Rakornas di Bandung Tahun 1991 mengemukakan kode etik sarjana pendidikan Indonesia yaitu: 1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan jujur berdasarkan Pancasila dan UUD 45,2) menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, 4) selalu menjalankan tugas dengan berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan Ilmu Pendidikan, dan 5) selalu melaksanakan pendidikan,penelitian, dan pengabdian untuk masyarakat, (Pidarta, 1997: 271).

Kemudian IKIP Surabaya Tahun 1994 menyusun kode etik guru Indonesia seperti berikut: 1) berbakti dalam membimbing peserta didik, 2) memiliki kejujuran professional dalam melaksanakan kurikulum sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik, 3) mengadakan komunikasi untuk mendapatkan informasi tentang peserta didik, 4) menciptakan suasana belajar yang kondusif dan mengadakan hubungan dengan orang tua siswa, 5) memelihara hubungan dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan, 6) secara individual atau berkelompok mengembangkan profesi, 7) menciptakan dan memelihara hubungan yang baik antar pendidik, 8) secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi, dan 9) melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, (Pidarta, 1997: 272)

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Pasal 43 dinyatakan , ayat 1 Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik. Pada ayat 2, Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Pada pasal 44 ayat 1 Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru. Ayat 2, Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru. Ayat 3, Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru. Ayat 4, Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan. Ayat 5, organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (code of conduct) profesi adalah 1) Standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya, 2) Standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan, 3) Standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu, 4) Standar-standar etika mencerminkan/ membayangkan pengharapan moral-moral dari komunitas, dengan demikian standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya, 5) Standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi, 6) Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau undang-undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya, 7) Dari beberapapendapat dapat dipahami bahwa kode etik guru merupakan, pedoman-pedoman, aturan-aturanatau prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan dan tidak boleh dilanggar oleh guru dalam tugasnya.

Dapat dikatakan bahwa semakin tingi tingkat pengamalan, dan penjagaan kode etik pada seorang guru maka semakin tinggi harga dirinya, dan semakin tinggi pula wibawanya dimata orang lain dan semakin melambangkan tingkat keprofesionalannya.

Dengan demikian semakin tinggi harga diri dan wibawa guru maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan orang lain terhadap kemampuannya, dan semakin tinggi pula nilai kualitas yang disimbolkan oleh orang lain terhadapnya.

Keadaan ini dapat dihubungkan dengan tingkat pengamalan dan penjagaan seorang calon tenaga pengajar (mahasiswa PL) dihubungkan dengan persepsi pamongnya. Dapat diduga bahwa semakin tinggi tingkat pengamalan dan penjagaan mahasiswa PL terhadap kode etik keguruan maka semakin menambah persepsi pamongnya bahwa dirinya adalah calon tenaga guru yang kompeten, semakin tinggilah penghargaan berupa nilai yang diberikan pamong kepadanya. Pamong adalah guru yang diberi tugas dan dipercayakan untuk membina, mengarahkan, dan mengawasi mahasiswa. Tingkat kompetensi mahasiswa yang dinilai itu meliputi kompetensi profesional, kompetensi personal dan kompetensi sosial. Ketiga kompetensi itu menjadi pedoman penilaian bagi pamong dalam setiap proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh mahasiswa. Selain kompetensi tersebut pamong juga akan memperhatikan bagaimana kepribadiannya dan etikanya sebagai seorang calon guru yang terhimpun dalam kode etik keguruan.

Pentingnya kode etik bagai seorang guru adalah 1) karena guru adalah contoh teladan yang akan ditiru dan digugu oleh para siswanya, 2) proses pembelajaran tidak hanya menekankan kepada pengetahuan an sich, akan tetapi pembentukan moral dan kepribadian siswa, 3) adat dan kebudayaan kita masih menjunjung tinggi nilai-nilai etika itu sendiri. Oleh karena itu jelaslah bahwa mahasiswa PPL pun harus mentaati dan mengamalkan etika keguruan karena pada hakikatnya meskipun dia belajar untuk menjadi guru pada saat itu dia sendiri sudah menjadi guru bagi para siswa di tempat dimana dia praktek.

Setiap mahasiswa PPL pasti menginginkan nilai yang baik dan memuaskan dari pamong atau pembimbingnya. Namun demikian tentu untuk menentukan nilai akhir mahasiswa tersebut sangat ditentukan oleh kemampuannya, etikanya dalam mengajar dan persepsi pamong terhadap etika dan kemampuannya itu.

Keberhasilan mahasiswa untuk memperoleh nilai yang baik tentu sangat ditentukan oleh seberapa besar mahasiswa tersebut mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Totalitas kompetensi guru PL akan menentukan nilai akhir yang diperolehnya. Dalam artian baik atau tidak nilai akhir yang diperolehnya sangat ditentukan oleh kemampuan mengajarnya dalam proses pembelajaran di kelas. Bagaimana pun baiknya materi dan metoda yang dipilih, namun jika cara menggunakan atau mengajarkannya tidak baik dan tidak disukai oleh para siswa maka tentu saja akan mempengaruhi terhadap perolehan nilai.

Sekaitan dengan kemampuan mengajar dan nilai akhir yang diperoleh mahasiswa PL dalam hubungannya dengan persepsi pamong dapat dipahami bahwa jika pamong memiliki persepsi yang tinggi kepada mahasiswa PL maka keadaan itu diduga akan memicu apresiasi pamong untuk memberikan nilai yang baik kepada mahasiswa.

Berdasarkan pengamatan penulis terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa rata-rata nilai akhir mereka adalah A dan B, dan sangat jarang sekali mereka yang memperoleh nilai PPL C atau D, itu pun terjadi karena ada kasus berupa perbuatan atau sikap mahasiswa yang kurang baik menurut pamong. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1.

Daftar Nilai PPL Mahasiswa Fakultas Tarbiyah

IAIN Imam Bonjol Padang.

No

Nama Pamong

Nama Siswa

BP

Nilai

Lokasi SMA 5 Padang

1

X1

Desriko Susandi

404076

A

2

X2

Nur Halen

404082

A

3

Idnaini

404202

A

4

Budimus

404233

A

5

Syofyan Hendri

404314

A

6

Nelly Arnis

404327

A

7

Salman

404351

A

8

Nurmala Sari

404411

A

Lokasi SMAN 6 Padang

9

X3

Indah Jayanti

404162

A

10

X4

Silvia Novera

404164

A

11

Izmi Hamda

404163

B

12

Lasmiadi

404365

A

13

Afrijon

404135

A

14

Yosep Dajascan

404077

A

15

Ahmad Shaleh

404438

A

16

Irda Royani

404185

B

SMAN 7 Padang

17

X5

Fadli

404590

A

18

X6

Faizul

404050

A

29

Yosi Esawati

404096

A

20

Al Azhar

404212

A

21

Erna Yenti

404266

A

211

Aprina Depi Sari

404375

A

23

Meni Elyta S

404474

A

24

Edi Wahyudi

404515

A

25

Asbentoni

404524

A

SMAN 10 Padang

26

X7

Lestari Novia

404269

A

27

X8

Laila Ramadhani

404037

A

28

Yusrina

404045

B

29

Rini Deswita

404074

A

30

Asril Yusuf

404333

B

31

Rinaldi

404387

A

32

Firdaus Yusri

404403

A

33

Idmansyah

404509

A

Jumlah=8 orang

Jumlah= 33 Orang

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa ada 29 orang yang memperoleh nilai PPL A dan 4 orang mahasiswa yang memperoleh nilai PPL B, dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa dari 33 mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang yang melaksanakan PPL di SMAN Kota Padang, 88% memperoleh nilai PPL A dan 12% memperoleh nilai PPL B. Ini berarti bahwa pelaksanaan PPL Mahasiswa Fak. Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang di SMAN Kota Padang sudah sangat baik.

Namun demikian berdasarkan pengaduan dari para siswa yang penulis himpun diperoleh jawaban bahwa ternyata kemampuan guru PPL dalam mengajar dengan nilai yang diperolehnya tidaklah sesuai. Dibawah ini dikemukakan beberapa pernyataan siswa yang menyatakan bahwa nilai akhir yang diperoleh mahasiswa tidak sesuai dengan kemampuan mereka dalam mengajar yaitu:

X1 siswa SMAN 5 Padang dalam wawancara tanggal 05 Maret 2008 jam 09.30 WIB mengatakan bahwa: “Kalau menurut saya nilai akhir yang diperoleh oleh guru PPL kurang sebanding dengan cara mengajar mereka di kelas. Sebab banyak para guru PL yang kurang pandai berbicara atau menerangkan pelajaran di kelas, kadang-kadang pelajaran terasa membosankan, penggunaan media juga tidak tepat, bahkan ada diantara siswa yang bermain-main ketika pembelajaran berlangsung”.

Hal yang sama dikatakan oleh X2 siswa pada sekolah yang sama juga megatakan bahwa “setelah saya melihat nilai guru PPL yang Bapak tunjukkan tadi saya kira penilaian itu kurang tepat sebab mereka saja masih belajar dan masih banyak terdapat beberapa kesalahan dalam proses belajar mengajar, misalnya ada diantara guru PPL yang berbicara saja tidak lancar, terus ada juga siswa yang iseng kepada guru PPL karena mereka kurang berwibawa dalam mengajar”.

Dalam wawancara dengan siswa X3 di SMN 6 tanggal 08 Maret 2008 jam 13.30 WIB mengungkapkan bahwa: menurut kami ada dua orang guru PPL yang betul-betul tidak bisa menguasai kelas dan biasanya mereka dalam mengajar selalu didampingi oleh teman-temannya. Menurut kami nilai yang pantas bagi mereka itu adalah C sementara setelah dilihat nilai yang mereka peroleh ternyata tidak ada yang memperoleh nilai C, dan paling rendah nilainya B, itupun hanya dua orang saja selainnya A.

Menurut salah seorang guru pamong X3 dalam wawancara tanggal 08 Maret 2008 mengungkapkan bahwa “dalam memberikan nilai kepada guru PPL banyak faktor yang kami lihat diantaranya berbagai kemampuan mengajaranya. Selain itu tutur sapa, dan etika mereka juga sangat berpengaruh terhadap penilaian kami. Walaupun kemampuan mereka kurang dalam mengajar akan tetapi jika etika dan hubungan social ereka baik dengan siswa dan guru itu sudah merupakan point dan nilai tambah. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa etika mengajar guru PPL dapat berpengaruh terhadap penilaian dari pamong.

Ketika penulis mewawancarai salah seorang siswa X4 SMAN 7 Kota Padang tanggal 09 Maret 2008, siswa tersebut mewngatakan bahwa “saya tidak menyangka kalau guru PPL yang kemarin mengajar disini nilainya semuanya A. menurut saya tidak semuanya guru-guru PPL itu pandai mengajar. Di dalam kelas saja banyak kawan-kawan saya yang iseng sama guru PPL, ada yang rebut dan ada yang bercanda. Jadi menurut saya nilai guru PPL itu minimal berpariasimulai dari C sampai A, tapi saya tidak tahu cara penilaian itu nilainya semuanya A. Namun demikian pernyataan X4 dibantah oleh siswa X5 dalam wawancara tanggal 09 Maret 2008 mengatakan bahwa “menurut saya nilai yang diperoleh guru PPL yang kemarin sudah sesuai karena mereka sangat dekat dengan para siswa, sudah itu acara-acara mereka juga banyak.

Kedua pernyataan di atas kelihatan sangat berbeda ada yang pro dan kontra. Terlihat bahwa siswa yang setuju terhadap peroleh nilai yang diperoleh guru PPL sudah sesuai dengan standar penilaiannya bahwa guru PPL sangat dekat dengan siswa.

Kemudian menurut pengakuan guru pamong X8 SMAN 10 Padang, dalam wawancara tanggal 21 Maret 2008 menyatakan bahwa: “dalam menilai guru PPL kita tidak menilai dari segi kemampuan kognitifnya saja akan tetapi kemampuan afektifnya sebagai calon guru agama juga sanga diperhatikan. Guru agama di dalam suatu sekolah sangat berfungsi dalam pembinaan moral, jadi guru itu sendiri juga harus memiliki moral yang baik. Perilaku, tata cara bergaul, sikap dan cara berbicara merupakan salah satu aspek yang sangat penting.

Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa perilaku sikap atau moral seorang guru PPL dalam mengajar merupakan salah satu aspek penilaian pamong.

Selanjutnya menurut siswa X6 di SMAN 10 Padang dalam wawancara tangga; 21 Maret 2008 menyatakan bahwa “saya kurang setuju kalau semua nilai mahasiswa (guru PPL) yang kemarin mengajar di sekolah ini memperoleh nilai. Menurut saya penilaian itu kurang memperhatikan kemampuan guru PPL dalam mengajar. Dan memang ketika mengajar guru agama sekolah kadang-kadang mempercayakan saja guru PPL yang mengajar sementara guru agama sekolah tersebut tidak ikut masuk kelas.

Dari beberapa pernyataan di atas dipahami bahwa banyak para siswa yang menyatakan bahwa mereka ragu tentang pemberian nilai akhir PPL oleh pamong kepada guru PPL, alasan mereka adalah bahwa ada diantara mahasiswa yang kurang pandai dalam mengelola kelas, tidak mampu berbicara dan ada yang menjadi bahan keisengan dari mahasiswa. Sebagian kecil ada yang berpendapat najwa nilai yang diperoleh guru PPL sudah sesuai dengan kemampuan mereka alasannya adalah karena para guru PPL dapat menyesuaikan diri dengan mahasiswa dan membuat acara-acara kesiswaan yang cukup banyak. Sementara disisi lain pengakuan pamong mengatakan bahwa pemberian nilai memang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kode etik guru PPL dalam mengajar.

Pertanyaan yang diajukan dari data di atas adalah 1) apakah nilai akhir yang diberikan pamong (rata-rata sudah sangat memuaskan) sudah sesuai dengan tingkat kompetensi mahasiswa tersebut dalam mengajar, 2) mengapa banyak diantara siswa yang berpendapat bahwa menurut pengalaman mereka sebagai siswa, nilai akhir yang diperoleh mahasiswa dari pamongnya tidak sesuai jika dibandingkan dengan kemampuannya mengajar dikelas?, atau 3) apakah nilai mahasiswa tersebut juga dipengaruhi oleh etika guru PPL mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang yang cukup baik menurut para pamong? Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut harus djawab melalui penelitian selanjutnya. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut maka peneliti memilih objek penelitian khusus untuk pamong mahasiwa yang ada di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Kota Padang sebagai tempat latihan yang ada di kota Padang.

Perlu untuk diketahui bahwa tempat praktek mengajar mahasiswa di SMAN Kota Padang, bukanlah bermakna atau menunjukkkan bahwa penelitian akan dilakukan terhadap seluruh subjek pamong yang ada diseluruh SMAN yang ada di Kota Padang. Akan tetapi makna Kota Padang yang dimaksudkan disini tidak lebih dari nama wilayah sebagai tempat mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang melakukan praktek mengajar, dan jumlah SMAN yang ada di Kota Padang sebagai tempat mengajar tersebut hanya 4 sekolah. Jadi yang dimaksud di Kota Padang itu adalah empat sekolah SMAN yang ada di Kota Padang, yaitu SMAN 5, 6, 7 dan 10.

Dari pantauan di beberapa sekolah latihan terlihat; siswa kurang respek terhadap mahasiswa PPL, mahasiswa PPL juga sering menjadi bahan keisengan siswa di kelas dan di luar kelas, siswa sering ribut di kelas dan baru berhenti jika guru pamong masuk, ada nilai PPL yang diberikan oleh guru pamong dipengaruhi oleh faktor kasihan, dan keluhan dari beberapa guru pamong bahwa mahasiswa PPL kurang menguasai materi yang akan diajarkannya.

Atas dasar inilah, peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Persepsi pamong di SMAN Kota Padang tentang Kompetensi Guru PPL dan Kode Etik Mengajar Guru PPL terhadap Nilai Akhir PPL yang diperoleh Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang”.

B. Identifikasi Masalah

Dari penjelasan-penjelasan mengenai nilai akhir yang diperoleh mahasiswa di atas, ada beberapa faktor yang diduga berkontribusi terhadap nilai akhir mahasiswa PPL. Secara umum nilai akhir mahasiswa PPl dipengaruhi oleh 1) kompetensi yang dimiliki, yaitu berbagai kemampuan yang ada pada diri guru (mahasiswa PPL) seperti kemampuan akademik, kemampuan mempengaruhi, harga diri guru, dan kemampuan interaksi sosial, 2) kode etik profesi, maksudnya adalah pengamalan dan penjagaan etika guru bagi mahasiswa PPL dalam tugasnya, dan 3) penilaian dari pamong, yaitu persepsi atau tanggapan dari pamong tentang kemampuan dan etika mahasiswa PPL dalam melaksanakan tugas mengajarnya

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, batasan masalah yang dikemukakan oleh peneliti untuk melaksanakan penelitian adalah masalah yang diteliti dibatasi pada dua variabel yaitu: Persepsi pamong tentang kompetensi dan kode etik mengajar guru PPL.

Variabel pertama adalah persepsi pamong terhadap kompetensi guru PPL. Mengenai hal ini, menurut peneliti bahwa persepsi yang baik dan tinggi (positif) terhadap sesuatu hal akan memberikan penghargaan yang baik terhadap hal itu. Penghargaan yang baik (positif) juga akan memberikan pengakuan yang baik dan positif. Sebaliknya persepsi yang kurang baik (rendah) terhadap sesuatu hal akan memberikan penghargaan yang kurang baik terhadap hal itu. Penghargaan yang kurang baik (negatif) juga akan memberikan pengakuan yang kurang baik (negatif). Dengan demikian kompetensi guru PPL yang dapat melakukan tugas mengajar dengan baik akan melahirkan persepsi pamong yang positif terhadap kompetensi guru PPL tersebut. Persepsi pamong yang baik (positif tersebut) akan berpengaruh terhadap nilai akhir PPL yang baik pula.

Variabel kedua adalah kode etik mengajar diduga juga berkontribusi terhadap nilai akhir yang diperoleh guru PPL. Perbedaan pengamalan dan penjagaan kode etik (baca: etika mengajar) guru PPL dalam pelaksanaan tugasnya diduga juga dapat berpengaruh terhadap nilai akhir PPL yang mereka peroleh. Dengan demikian persepsi pamong terhadap guru PPL dan Kode Etik mengajar guru PPL, keduanya diduga berkontribusi terhadap nilai akhir PPL yang diperoleh mahasiswa.

D. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat kontribusi persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

2. Apakah terdapat kontribusi Kode Etik mengajar terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

3. Apakah terdapat kontribusi persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar terhadap nilai yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan besarnya:

1. Kontribusi persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

2. Kontribusi Kode Etik mengajar terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

3. Kontribusi persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar terhadap nilai yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

F. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan informasi mengenai persepsi pamong tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menambah masukan-masukan dalam peningkatan kompetensi mengajar dan nilai akhir yang diperoleh mahasiswa. Kepada mahasiswa PPL di SMAN agar meningkatkan kompetensinya dalam penguasaan materi ajar dan strategi pembelajaran di kelas yang diajarnya.

Untuk pembimbing lapangan (supervisor) informasi ini dapat menjadi bahan kajian tentang bagaimana kemampuan mahasiswa Fakultas Tarbiyah dalam melakukan PPL untuk selanjutnya jika terdapat beberapa kelemahan (dari segi profesionalitas) baik dari pihak mahasiswa maupun dari dosen pembimbing lapangan untuk selanjutnya dapat diperbaiki, dan ditingkatkan ke arah yang lebih baik.

Bagi Dekan fakultas Tarbiyah diharapakan dapat memberi masukan bagi penentu kebijakan untuk mempertahankan kualitas yang telah ada untuk selanjutnya dapat ditingkatkan. Disamping itu penelitian ini berguna sebagai langkah evaluasi untuk menilai sejauh mana keberhasilan proses pendidikan guru di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang sebagai LPTK, dengan memeriksa mutu lulusan, dan menyediakan informasi yang berguna untuk perbaikan sistem pendidikan guru pada masa yang akan datang.

Dan yang terakhir penelitian ini memberikan kontribusi pemikiran untuk Pimpinan PTAI khususnya Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang IAIN “IB” Padang tentang upaya pengembangan kurikulum Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang sebagai LPTK untuk menyiapkan mahasiswa calon guru yang professional dan memiliki kompetensi di bidangnya.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengertian Nilai Akhir PPL

Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengetian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara antropologis Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Sedangkan menurut Chabib Thoha (1996: 18) nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini). Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.

28

Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Purwadarminta (1999: 677) menerjemahkan Nilai sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Mujib dan Muahimin (1993: 110) mengungkapkan “Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Sementara menurut Gazalba yang dikutip Thoha (1996: 61) mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.

Lebih lanjut Spranger (1928) menggolongkan adanya enam lapangan nilai, yaitu: (1). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, meliputi lapangan pengetahuan, lapangan ekonomi, lapangan kesenian, dan lapangan keagamaan. (2). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat, yaitu : lapangan kemasyarakatan, dan lapangan politik.

Pengertian nilai dari persepektif psikologis dikemukakan Munn (1962) bahwa nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang. MS (1984: 122) mengatakan “Nilai maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan”.

Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dijadikan sebagai acuan dan melambangkan kualitas yang kemudian diberi bobot baik oleh individu maupun kelompok. Dengan demikian jika dikaitakan dengan PPL sebagai sebuah mata kuliah praktis, maka nilai PPL dapat diartikan sebagai bobot yang diberikan oleh seorang pamong yang melambangkan kualitas mahasiswa dalam melaksanakan praktek keguruan. Bobot dan kualitas itu sendiri untuk selanjutnya ditandai dan dilambangkan dengan angka.

  1. Pengertian Persepsi tentang Kompetensi

  1. Pengertian Persepsi

Persepsi adalah istilah yang umum dipakai dalam kajian psikologi yaitu “extra sensory perception” antara persepsi dan sensori merupakan dua terminologi kata yang hampir sama namun berbeda dari segi prosesnya. Sensori berarti penerimaan stimulus melalui alat indra, sedangkan persepsi adalah menafsirkan stimulus yang sudah ada di dalam otak atau dengan kata lain bahwa persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui atau memahami sesuatu berdasarkan apa telah ada dalam memori otaknya. Dalam hal ini memori otak disebut juga dengan schema.

Bisaanya suatu persepsi diawali oleh sensor. Dalam hal ini sensor adalah sesuatu yang dapat merubah pengetahuan-pengetahuan melalui respon yang dimiliki. Russel dan Norving (1995: 7243) menjelaskan sensori sebagai A sensor is anything that can change the computational state of the agent in response to change in the state of the world. It could be as simple as a one bit sensor that detect weather as switch is on or as complex as the retina of the human eye, which contains more than a hundred photosensitive elements”.

Selanjutnya Russel dan Norving (1995: 725) menegaskan ada beberapa indicator dari sensori yaitu: 1) manipulasi, 2) navigasi, dan 3) pengenalan objek. Persepsi hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman.

Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.

Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan iformasi dan menafslrkan pesan.

Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.

Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358)

Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).

Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986: 54).

Thoha (1983: 45) mendefenisikan persepsi sebagai suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan, yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya. Selanjutnya Forgus (1966), mendefenisikan persepsi sebagai proses kognitif untuk menyerap informasi dari lingkungan. Hal yang sama dikemukakan oleh Leavit (1986) memberikan pengertian persepsi sebagai suatu pandangan pengertian yakni: bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu, dimana persepsi seseorang ditentukan oleh relevansinya dengan kebutuhannya. Dalam hal ini nampaknya Leavit berpendapat bahwa persepsi sangat dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang.

Ditinjau dari segi etimologi (pendekatan bahasa) kata persepsi berasal dari bahasa Inggris, yakni perception. Echols dan Shadily (1984) memberikan arti perception dengan penglihatan, tanggapan, daya memahami, dan menanggapi sesuatu.

Di sisi lain, Sarwono (1977), mengungkapkan bahwa persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk menerima informasi tersebut adalah berupa penginderaan (penglihatan, pendengaran, dan perabaan). Sedangkan alat untuk memahaminya adalah kognisi. Dengan demikian persepsi merupakan proses memahami atau memberi makna terhadap setiap sesuatu yang menjadi objek pengamatan. Sedangkan menurut Smith (1982) persepsi adalah bagaimana kita memberi makna pada apa yang diterima oleh panca indra kita. Usaha memberikan makna terhadap sesuatu yang kita lihat, dengar, rasa, hayati dan kita cium melalui alat indera kita merupakan fokus dari pengertian ini. Pemberian makna ini menurut Desiderato dalam Rakhmat, (1996) ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural.

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman lalu dan lain-lain. Sedangkan faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.

Milton (1981) mengemukakan “Perception is process of selection organization and interpretation at stimuli from”. Selanjutnya Noviardi (1986) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pada seseorang yang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami, dan mengolah pertanda atau mengolah segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya.

Wortman dkk, (1999) mendefenisikan persepsi sebagai suatu proses dimana otak menginterpretasi sensasi yang diterimanya memberikan perintah dan makna. Sensasi di sini maksudnya adalah proses dimana rangsangan dari sel penerima di dalam tubuh mengirim inpuls saraf ke otak yang muncul dalam bentuk sentuhan, suara, rasa, percikan warna dan lain-lain. Di samping sensasi, untuk menafsirkan makna informasi indrawi dilibatkan pula atensi, ekspektasi, motivasi dan memori (Rakhmat: 1996). Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa persepsi merupakan penerjemahan hal-hal dan pemberian makna yang diperoleh seseorang.

Persepsi memiliki kecendrungan bersifat tetap. Persepsi dalam hal ini secara relatif mendekati kenyataan yang sebenarnya. Hal ini di dukung oleh pendapat Nurtain (1986: 134) “Kita berkecendrungan menghayati objek-objek sebagai suatu yang stabil dan tetap bertahan, meskipun pola-pola energi yang bersifat fisik yang mengenai alat indra kita senantiasa berubah-ubah, dan ini semua di kenal sebagai “perceptual consistency”. Apa yang kita lihat, kita hayati sangat dapat berhubungan dengan objek rangsangan yang mengenai alat indra kita.

Hal di atas dibenarkan oleh sejumlah prinsip-prinsip persepsi yang dikemukakan oleh Nurtain (1986) yakni: 1) prinsip kedekatan proximity, 2) prinsip kesamaan (smilarity), 3) prinsip kehampiran (closure). Prinsip kedekatan menyatakan bahwa objek yang terdiri dari unsure-unsur yang tersebar disusun ke dalam keseluruhan yang berdekatan.

Kusumaningrum (1998) mengidentifikasi empat tahap secara berurutan pada pesan persepsi: 1) penerimaan pesan atau informasi dari luar, 2) identifikasi kode informasi tersebut, 3) interpretasi informasi yang telah diberi kode untuk menentukan arti, dan 4) penyimpulan arti yang telah diperoleh dalam ingatan untuk dapat digunakan kemudian.

Dalam bahasa Indonesia persepsi juga sangat terikat dengan kata pemahaman. Seseorang mempunyai persepsi tentang sesuatu objek setelah melalui proses penginderaan.

Dari beberapa pengertian persepsi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan rangkaian dari proses dan kinerja pemikiran yang terdiri dari tanggapan, pendapat, penilaian pandangan atau reaksi seseorang terhadap suatu objek yang menjadi perhatiannya. Berdasarkan pengertian tersebut maka dirumuskan bahwa persepsi pamongyang dimaksud di sini adalah tanggapan, penafsiran, penilaian, pandangan, pendapat, pemahaman, dan reaksi yang diberikan oleh pamong tentang kompetensi guru PPL.

b. Pengertian Kompetensi Guru PPL

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (WJS. Purwadarminta), kompetensi berarti kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesutu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Istilah kompetensi sebenarnya memiliki banyak makna. Moh. Uzer Usman (2002) menguraikan makna kompetensi guru sebagai kemampuan atau kewenangan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban profesi keguruannya secara layak dan bertanggung jawab.

Dari berbagai sumber ditemukan pengertian “kompetensi” seperti berikut ini. Webster Dictionary (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai condition as quality of being well qualified as well capable. Hasan (2004) menyatakan “kompetensi adalah kemampuan yang harus dikuasai sesorang”. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Balitbang Depdiknas (2002) mengartikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebisaaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Mc. Ashan (dalam Mulyasa, 2003) mengemukakan bahwa kompetensi ..is a knowledge, skill and abilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extend he or she can satisfaktoraly perform particular cognitive, affactive, and psychomotor behavior”. Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggab mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.

Pendapat-pendapat di atas mempunyai kesamaan pandangan yang dapat disimpulkan bahwa “kompetensi guru PPL adalah seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki guru PPL sebagai syarat dianggap mampu melakukan tugas-tugas di bidang pekerjaan itu.

Program Pengalaman lapangan (PPL) adalah serangkaian kegiatan yang diprogramkan bagi mahasiswa LPTK/Fakultas Tarbiyah, yang meliputi latihan mengajar maupun latihan di luar mengajar. Hamalik (2004) mengemukakan kegiatan ini sebagai ajang untuk membentuk dan membina kompetensi-kompetensi profesional yang dipersyaratkan oleh pekerjaan guru atau tenaga kependidikan lainnya. Sasaran yang ingin dicapai adalah pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap, serta pola tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya di dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Dalam Buku Pedoman PPL Fak. Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang (2005) dikemukakan tujuan PPL, yakni membekali mahasiswa dengan pengetahuan praktis dan keterampilan keguruan dan membimbing mahasiswa ke arah terbentuknya calon guru agama atau tenaga kependidikan lainnya yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam pembinaan kemampuan dasar dan profesi keguruan.

Untuk menguasai keterampilan mengajar tersebut, mahasiswa di Jurusan Tarbiyah (LPTK) dibekali pengetahuan dasar keguruan melalui Matakuliah Dasar Kependidikan (MKDK) dan Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar (MKPBM). Selanjutnya baru diadakan pembinaan keterampilan melalui Program Pengalaman Lapangan (PPL). Kegiatan ini merupakan kegiatan pelatihan untuk menerapkan berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam melaksanakan pendidikan pra-jabatan keguruan. Program ini dirancang untuk melatih mahasiswa menguasai kemampuan keguruan yang utuh dan terintegrasi, sehingga setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka siap menjadi calon guru yang professional.

Dengan dilaksanakan PPL di madrasah/sekolah latihan, diharapkan mahasiswa mempunyai pengalaman kongkrit tentang situasi yang akan menjadi bidang tugasnya nanti, sehingga setelah lulus bisa melaksanakan tugas sebagai pendidik yang profesional. Selama PPL kemampuan mengajar mahasiswa dinilai oleh guru pamong dan dosen pembimbing lapangan. Tingkat kompetensi mahasiswa yang dinilai itu meliputi kompetensi profesional, kompetensi personal dan kompetensi sosial.

Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru PPL menurut Sardiman (2001) diklasifikasikan 10 macam profil kemampuan dasar yaitu: 1). menguasai bahan, 2). mengelola program pembelajaran., 3). mengelola kelas, 4). menggunakan media/sumber, 5). menguasai landasan kependidikan, 6). mengelola interaksi pembelajaran., 7). menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, 8). mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan, 9). mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah serta, 10). memahami prinsip‑prinsip dan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.

c. Pengertian persepsi tentang kompetensi

Setelah diketahu bahwa pengertian Berdasarkan pengertian tersebut maka dirumuskan bahwa persepsi pamong yang dimaksud di sini adalah tanggapan, penafsiran, penilaian, pandangan, pendapat, pemahaman, dan reaksi yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain sedangkan kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat dianggap mampu melakukan tugas-tugas di bidang pekerjaan itu. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi khusunya pamong terhadap kompetensi guru PPL adalah adalah pandangan, pemahaman, reaksi dan nilai yang diberikan oleh pamong atas totalitas kemampuan yang dimiliki oleh guru PPL dalam melakukan tugas sebagai guru.

3. Pengertian Kode Etik Mengajar

Etik berasal dari kata ethos yang berarti watak; adab yang berarti keluhuran budi; ini menimbulkan kehalusan atau kesusilaan, baik yang bersifat batin maupun lahir (Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, 1989: 16). Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (1990: 237) Etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak sedangkan kode etik menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (1990: 448) dimaknai sebagai norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan ukuran tingkah laku.

Menurut Haryono (2007: 2) kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasai sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya.

Harefa (1999: 26) memberikan perbedaan pengertian tentang etika dan etos. Etika dimaknai sebagai (ethic) yang berkaitan dengan konsep-teori-rasio tentang nilai-nilai etis dalam hubungan manusiawi, seperti kebenaran, keadlian, kebebasan, kejujuran, dan cinta kasihsedangkan etos berkaitan dengan perilaku-praktek-budaya yang tidak selalu bersifat etis atau sesuai dengan etika.

Disisi lain Harefa (1999: 27) menghubungkan antara etika dengan profesionalisme. Katanya “tanpa etika profesionalisme tidak ada, sebab perilaku kerja yang tidak etis (etos) mereduksi kemanusiaan dengan menjadikan manusia hanya sekadar binatang ekonomi, mesin produksi, sapi perah, atau benda yang dapat diperlakukan seenaknya.

Dengan demikian pentingnya kode etik pendidik disimpulkan oleh Pidarta (1997: 271) sebagai salah satu bagian dari profesi pendidik. Artinya setiap pendidik yang professional akan melaksanakan kode etik tersebut dalam tugasnya sebagai seorang guru.

Jika ditinjau lebih lanjut kode etik pendidik ini bertalian dengan erat dengan unsur-unsur yang dinilai dalam menentukan DP3 menurut PP RI Nomor 10 Tahun 1979. Unsur-unsur yang dimaksud adalah: (1) kesetiaan kepada pancasila dan UUD 45, Negara serta bangsa, (2) berprestasi dalam bekerja, (3) bertanggungjawab dalam bekerja, (4) taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan, (5) jujur dalam melaksanakan tugas, (6) bisa melakukan kerja sama dengan baik, (7) memiliki prakarsa yang positif uantuk memajukan pekerjaan dan hasil kerja, dan (8) memiliki sifat kepemimpinan (Pidarta 1997: 272).

Agar guru dapat dapat terarah, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya maka sangat diperlukan sekali aturan-aturan, atau nilai-nilai (baca: kode etik) yang sifatnya mengikat para guru untuk selalu menjaga nama baik, martabat dan kewibawaan guru. Ada 17 macam kode etik guru profesional yang dikemukakan oleh Pidarta (1997:273) yaitu: 1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) Setia Kepada Pancasila, UUD 1945, dan negara, 3) Menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik, 4) berbakti kepada peserta didik dalam membantu mereka mengembangkan diri, 5) bersikap ilmiah dan menjunjung tinggi pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni sebagai wahana dalam pengembangan peserta didik, 6) lebih mengutamakan tugas pokok dan atau tugas Negara lainnya dari pada tugas sampingan, 7) bertanggungjawab, jujur, berprestasi, dan akuntabel dalam bekerja, 8) dalam bekerja berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan ilmu pendidikan, 9) menjadi teladan dalam berperilaku, 10) berprakarsa, 11) memiliki sifat kepemimpinan, 12) menciptakan suasana belajar atau studi yang kondusif, 13) memelihara keharmonisan pergaulan dan komunikasi serta bekerja sama dengan baik dalam pendidikan, 14) mengadakan kerjasama dengan orang tua siswa dan tokoh-tokoh masyarakat, 15) taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan, 16) mengembangkan profesi secara kontinu, dan 17) secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.

B. Kajian Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan telaah kepustakaan yang dilakukan telah ditemukan beberapa hasil penelitian yang relevan dan berhubungan dengan variabel-variabel penelitian ini yaitu:

1. Mariati, L. (2001), meneliti tentang “Kontribusi Persepsi Siswa tentang SMK dan Cara Belajar Terhadap Hasil Belajar Gambar Estetis (Studi di SMK Negeri 8 Padang)”. Hasil penelitiannya adalah bahwa 19, 83% cara belajar siswa berkontribusi terhadap hasil belajar dan 5, 38% persepsi siswa terhadap SMK berkontribusi terhadap hasil belajar.

2. Ahmad, J. (2003) meneliti tentang, “Kontibusi Sikap dan cara Belajar terhadap Kemampuan Praktikum Elektronika Analog Mahasiswa Jurusan Tekinik Elektronika Fakultas Teknik UNP”. Hasil penelitiannya adalah bahwa (1) terdapat kontribusi yang berarti sikap tentang belajar elektronika terhadap kemampuan praktikum elektronika analog sebesar 14,8%. Pada program D III Jurusan Teknik Elektonika Fakultas Teknik UNP, (2) terdapat kontribusi yang berarti dari cara belajar mahasiswa terhadap kemampuan praktikum selektronika analog sebesar 13,2% pada program D III Fakultas Teknik UNP, (3) terdapat kontribusi positif yang signifikan dari sikap terhadap elektronika dan cara belajar secara bersama-sama terhadap kemampuan praktikum elektronika abalog pada progma D III Fakultas Teknik UNP sebesar 22,40%.

3. Wirman, (2005) meneliti tentang “Kontribusi Persepsi Siswa tentang Sekolah Menengah Kejuruan dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Uji Kompetensi keahlian”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ubahan persepsi siswa tentang SMK dapat memprediksi 50,20% atau berkolerasi positif terhadap hasil belajar, ubahan motivasi belajar dapat memprediksi 46,10% atau berkolerasi positif terhadap hasil belajar dan ubahan persepsi siswa tentang SMK dan motivasi belajar secara bersama-sama terhadap hasil belajar dapat memprediksi 61,20% atau berkolerasi positif.

4. Haswita, S. (2005) meneliti tentang, “Kontribus Persepsi Dosen tentang Profesi Pendidikan Kjuruan dan Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Dosen Fakultas Teknik UNP”. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa: (1) persepsi dosen sebagai pendidik kejuruan berkontibusi sangat signifikan terhadap kinerja dosen Fakultas Teknik UNP sebesar 22,4%, (2) pengalaman kerja berkontribusi signifikan terhadap kinerja dosen Fakultas Teknik UNP sebesar 7,3%, (3) persepsi dosen tentang profesinya sebagai pendidik kejuruan dan pengalaman kerja secara bersama-sama berkontibusi cukup besar dan signifikan terhadap kinerja dosen Fakultas Teknik UNP sebesar 27,5%.

5. Nazaruddin. (2007) meneliti tentang “Persepsi Siswa tentang Pendidikan Kejuruan dan Cara Belajar terhadap Hasil Belajar Siswa SMKN 2 Kota Padang”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa (1) Persepsi siswa tentang pendidikan kejuruan berada pada kategori cukup. Persepsi siswa tentang pendidikan kejuruan berkontribusi 9,7% terhadap hasil belajar siswa SMK 2 Padang, (2) Cara belajar berkontribusi 8,1% terhadap hasil belajar siswa SMK 2 Padang, dan (3) persepsi siswa tentang pendidikan kejuruan dan cara belajar secara bersama-sama berkontribusi 14,7% terhadap hasil belajar siswa SMK 2 Padang.

C. Kerangka Konseptual

1. Kontribusi Persepsi Pamong tentang Kompetensi guru PPL dengan Nilai yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.

Setiap orang akan menggunakan persepsinya dalam memandang dan memberi arti terhadap sesuatu objek. Persepsi pada setiap orang akan sangat berbeda-beda hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan cara berpikir masing-masing. Persepsi terhadap sebuah objek akan membuat seseorang memahami dan memberi respon terhadap objek itu, kemudian memaknai dan memberi nilai kepda objek tersebut sesuai dengan apa yang dipahaminya dari totalitas objek.

Jika seorang mahasiswa PPL menurut persepsi pamong belajarnya adalah orang yang memiliki berbagai macam kompetensi dalam mengajar maka hal itu akan mempengaruhi pamong tersebut untuk memberi penghargaan dan penilaian yang baik atas kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa PPL tersebut. Oleh karena itu dia akan memberikan nilai akhir yang baik dalam bentuk huruf kepada mahasiswa PPL sebagai implementasi persepsi dari pamong. Sebaliknya jika seorang mahasiswa PPL menurut persepsi pamong belajarnya adalah orang yang tidak memiliki berbagai macam kompetensi dalam mengajar maka hal itu akan mempengaruhi pamong tersebut untuk memberi penghargaan dan penilaian yang kurang baik atas kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa PPL tersebut. Oleh karena itu dia akan memberikan nilai akhir yang kurang baik dalam bentuk huruf kepada mahasiswa PPL sebagai implementasi persepsi dari pamong.

2. Kontribusi Kode Etik Mengajar dengan Nilai Yang diperoleh

Kode etik merupakan nilai-nilai yang mesti dijaga dan diamalkan oleh setiap pendidik atau calon pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Setiap orang pasti merasa suka terhadap orang lain yang memiliki etika, baik etika berbicara maupun melakukan sesuatu. Sekaitan dengan ini jika guru PPL mengajar secara santun, sopan, berwibawa, menjaga diri terhadap hal-hal yang kurang baik maka keadaan itu diyakini akan berpengaruh kepada nilai akhir yang diperolehnya. Sebab pamong sebagai orang yang memberikan nilai-kepada guru PPL.

Kode etik berupa sikap perbuatan, sopan santun guru PPL akan mempengaruhi nilai akhir PPL yang diberikan oleh pamong. Semakin baik etika guru PPL menurut pamong maka semakin tinggi pula niali yang diberikan pamong tersebut kepada mahasiswa dan juga sebaliknya. Etika guru PPL dalam mengajar diduga akan berkonribusi terhadap baik atau tidaknya nilai akhir yang diberikan oleh pamong terhadapnya.

3. Kontribusi Persepsi Pamong tentang Kompetensi Guru PPL dan Kode Etik Mengajar guru PPL secara bersama-sama berpengaruh terhadap Nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjo Padang.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang dipengaruhi oleh persepsi pamong tentang kompetensi yang dimiliki guru PPL tersebut. Persepsi pamong tentang kompetensi guru PPL dan kode etik guru PPL dalam mengajar akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap nilai akhir PPL yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Kompetensi guru PPL dapat mempengaruhi persepsi dank ode etik guru PPL dalam mengajar juga mempengaruhi persepsi guru pamong. Oleh karena itu diduga bahwa kedua aspek diatas berkontribusi terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.

Bagaimana kedua aspek tersebut dapat berpengaruh terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang, hal ini dapat dilihat dari kerangka konseptual berikut:

Gambar 1: Kerangka Kontribusi Persepsi Pamong tentang Kompetensi Guru PPL dan Kode Etik Mengajar Guru PPL terhadap Nilai Akhir PPL yang Diperoleh Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka konseptual yang telah dikemukakan di atas maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL berkontribusi terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

2. Kode Etik mengajar Guru PPL berkontribusi terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

3. Persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar Guru PPL secara bersam-sama berkontribusi terhadap nilai yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang?

BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian korelasional, yaitu menggambarkan adanya variabel-variabel bebas yang di duga berkontribusi terhadap variabel terikat. Penelitian korelasional dirancang untuk memperoleh informasi tantang sesuatu gejala pada saat penelitian dilakukan. Artinya penelitian ini adalah studi korelasi yaitu jenis penelitian deskriptif yang bertujuan mengungkapkan besar atau ada tidaknya hubungan antara variabel-variabel. Surachmad (1990: 140) menjelaskan ciri-ciri metode deskriptif yaitu:

1. memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah aktual.

2. data yang dikumpulkan mula-mula disusun dijelaskan kemudian dianalisa, karena itu metode ini sering juga disebut metode analitik.

Menurut pengertian di atas penelitian ini akan mendeskripsikan adanya kontribusi persepsi pamong tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar Guru PPL terhadap Nilai Akhir PPL yang diperoleh Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.

50

Variabel yang di kaji dibedakan atas 2 yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah persepsi pamong tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar Guru PPL dan variabel terikat adalah nilai akhir PPL yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.

B. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto 1998: 115). Menurut Irawan (1999: 172) mengatakan populasi sebagai keseluruhan elemen yang akan dijelaskan oleh seorang peneliti di dalam penelitiannya. Yang menjadi subjek penelitian ini adalah pamong mahasiswa yang di beberapa SMAN Kota Padang sebagai pembina, pengawas dan penilai mahasiswa PPL Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang yang berjumlah 4 sekolah yaitu SMAN 5, 6, 7, dan 10 Kota Padang dengan jumlah pamong 8 orang. Penyebaran populasi ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2

Total Sampling

No

Lokasi PPL

Jumlah Pamong

1

SMAN 5

2 orang

2

SMAN 6

2 orang

3

SMAN 7

2 orang

4

SMAN 10

2 orang

Jumlah

8 orang

Karena subjek penelitian ini sangat sedikit jumlahnya maka penelitian ini dikatakan sebagai penelitian populasi atau dalam bahasa lain disebut juga dengan total sampling. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1998: 120) yang menyatakan jika subjek penelitian dibawah 100 lebih baik diambil semuanya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Pendapat ini juga didukung oleh Irawan (1999: 183) yang mengatakan “bila populasi lebih kecil atau sama dengan 100, maka sebaiknya diambil semuanya sebagai sampel.

Populasi penelitian ini bersifat homogen. Ada beberapa alasan peneliti yang menyatakan bahwa populasi ini homogen yaitu: 1) karena yang akan diteliti adalah pamong yang sama-sama mengajar di SMAN, 2) sekolah sebagai tempat penelitian semuanya berlokasi di Kota Padang, 3) seluruh pamong yang diteliti adalah sama-sama pegawai negeri sipil, 4) seluruh pamong yang diteliti adalah sama-sama guru Pendidikan Agama Islam.

Karena penelitian ini jumlah populasinya sangat sedikit dan karaktersitik populasinya homogen, maka seluruh populasi dengan jumlah 8 orang dijadikan sebagai subjek penelitian.

C. Defenisi Operasional

Dalam penelitian ini ada dua variabel bebas yang ditetapkan sebagai faktor yang di duga berkontribusi terhadap nilai akhir PPL yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, yaitu persepsi pamong tentang kompetensi mengajar guru PPL dan Kode Etik mengajar Guru PPL. Kedua variabel tersebut disebut dengan variabel prediktor. Sedangan variabel terikatnya adalah nilai akhir PPL yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Untuk menggambarkan dan menetapkan pengertian masing-masing variabel di bawah ini dijelaskan defenisi operasional dari kedua variabel tersebut.

1. Persepsi pamong tentang kompetensi guru PPL

Persepsi pamong tentang kompetensi guru PPL yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah rangkaian tanggapan, pendapat, penilaian langsung oleh pamong tentang kompetensi yang dimiliki oleh guru PPL/mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Adapun indikator-indikatornya sesuai dengan Buku Penilaian Program Pengalaman Lapangan (PPL) Program S1 Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2008 yang terdiri dari beberapa kompetensi penilaian yaitu: 1) Nilai rata-rata latihan mendesain Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 2) Nilai rata-rata latihan praktek mengajar, 3) Nilai kegiatan non mengajar, Nilai rata-rata persiapan mendesain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, 5) Nilai-rata-rata ujian praktek mengajar, 6) Nilai- rata-rata penampilan/performance dan sosial, dan 7) nilai laporan. Implementasi dari persepsi tersebut dijelaskan dalam butir-butir pada instrumen berupa angket yang akan diberikan kepada pamong.

2. Kode etik guru PPL dalam mengajar.

Kode etik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beberapa prinsip-prinsip, aturan-aturan dan etika yang harus dijaga dan dijalankan oleh guru PPL dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik (guru PPL) di beberapa SMAN yang ada di Kota Padang. Diantara kode etik yang harus dijaga dan dijalankan oleh guru tersebut terlihat pada indikator-indikator: 1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) Setia Kepada Pancasila, UUD 1945, dan negara, 3) Menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik, 4) berbakti kepada peserta didik dalam membantu mereka mengembangkan diri, 5) bersikap ilmiah dan menjunjung tinggi pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni sebagai wahana dalam pengembangan peserta didik, 6) lebih mengutamakan tugas pokok dan atau tugas Negara lainnya dari pada tugas sampingan, 7) bertanggungjawab, jujur, berprestasi, dan akuntabel dalam bekerja, 8) dalam bekerja berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan ilmu pendidikan, 9) menjadi teladan dalam berperilaku, 10) berprakarsa, 11) memiliki sifat kepemimpinan, 12) menciptakan suasana belajar atau studi yang kondusif, 13) memelihara keharmonisan pergaulan dan komunikasi serta bekerja sama dengan baik dalam pendidikan, 14) mengadakan kerjasama dengan orang tua siswa dan tokoh-tokoh masyarakat, 15) taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan, 16) mengembangkan profesi secara kontinu, dan 17) secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.

3. Nilai Akhir PPL

Nilai akhir PPL yang dimaksud disini adalah nilai akhir dalam bentuk huruf (A, B, C, D atau E) yang diperoleh dari praktek mengajar mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Nilai yang dimaksud disini merupakan gambaran dari totalitas penilaian kompetensi dan kode etik mengajar guru PPL mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang

D. Instrumen Penelitian

1. Penyusunan Instrumen

Instrumen penelitian, selanjutnya akan disusun dan dibuat oleh peneliti yang terdiri dari bebrapa indikator dan butir-butir pernyataan. Ada beberapa langkah yang akan dilakukan dalam penyusunan instrumen yaitu. Langkah-langkah ini disebut dengan prosedur penyusunan instrumen. Prosedur penyusunan instrumen yang dimaksud dirumuskan dengan merumuskan defenisi normatif dari variabel, kemudian dilanjutkan dengan defenisi operasional. Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya maka ditentukan indikator masing-masing variabel. Kemudian dari masing-masing indikator tersebut disusun butir-butir pernyataan yang dapat diukur berdasarkan masing-masing indikator, setelah itu dilanjutkan dengan penyusunan butir-butir angket.

Prosedur penyusunan instrumen penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan kisi-kisi sesuai dengan indicator

b. Menyusun pernyataan sesuai dengan kisi-kisi yang telah dibuat, serta melakukan diskusi dengan pembimbing agar diperoleh kesesuaian dan kesahihan butir-butir pernyataan sesuai dengan konstruk.

Penyusunan butir-butir pernyataan instrumen dibuat dengan mempertimbangkan kendala pengisian oleh responden, dan penyusunannya memperhatikan beberapa hal yaitu:

a. Menghindari pernyataan yang meragukan atau yang tidak jelas

b. Menghindari penggunaan kata-kata yang tidak perlu atau yang terlalu abstrak

c. Menghindari penggunaan kata-kata yang memiliki makna ganda

d. Tidak menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan rasa curiga atau antipati.

Setelah instrumen selesai dibuat kemudian dikonsultasikan kepada beberapa pakar dan dosen pembimbing untuk menetapkan validitas instrumen tersebut. Pada tahap selanjutnya dilakukan perbaikan sesuai dengan pendapat, saran dari para pakar dan dosen pembimbing. Setelah itu barulah instrumen dinyatakan siap untuk diuji cobakan.

2. Pengukuran

Sifat dan isi butir-butir kuesiner dari masing-masing variabel ukur, terdapat dua macam yaitu favourable dan unfavourable. Favourabel adalah butir pernyataan yang isinya positif, sedangkan unfavourabel adalah butir pernyataan yang isinya negatif.

Setiap variabel akan diukur dengan skala. Skala jawaban untuk setiap variabel terdiri dari empat. Jawaban berskala empat digunakan untuk menghindari jawaban ragu-ragu. Menurut Hadi, (1981) jawaban yang ditengah-tengah menimbulkan kecendrungan menjawab, ke tengah bagi responden yang ada keragu-raguan menjawabnya. Nilai dari setiap pernyataan yang positif untuk selalu dan sangat setuju adalah 5, sering dan setuju dinilai 4, kadang dan tidak setuju dinilai 3, jarang dan tidak setuju dinilai 2 dan tidak pernah dan sangat tidak setuju dinilai 1. Sedangkan nilai dari setiap jawaban yang negatif untuk selalu dan sangat setuju adalah 1, sering dan setuju dinilai 2, kadang dan tidak setuju dinilai 3, jarang dan tidak setuju dinilai 4 dan tidak pernah dan sangat tidak setuju dinilai 5.

E. Uji Coba Instrumen

Untuk memperoleh instrumen yang sahih dan handal, perlu dilakukan uji coba kelayakan instrumen. Prosedur pelaksanaan uji coba adalah: (1) penentuan responden uji coba, (2) pelaksanaan uji xoba, (3) analisis hasil uji coba.

1. Penentuan Responden Uji Coba

Proses penentuan uji coba diberikan kepada pamong yang bukan berasal dari guru SMN Kota Padang. Jumlah keseluruhan responden pada pelaksanaan uji coba instrumen adalah 5 orang. Jumlah itu dianggap memenuhi karena pertimbangan populasi penelitian sangat sedikit sekali.

2. Pelaksanaan Uji Coba

Uji coba instrumen ini dilaksanakan di MAN 1 Kota Padang, setelah mendapat izin dari Departemen Agama Kota Padang. Cara yang ditempuh adalah dengan memberikan instrumen kepada pamong terpilih sebagai respnden uji coba. Pengisian kuesioner dibawah koordinasi Kepala Sekolah.

3. Analisis Hasil Uji Coba.

Pelaksanaan analisis uji coba instrumen ini dimaksudkan untuk melihat dan memilih butir-butir pernyataan yang sahih dan handal, yang akhirnya dapat dipilih dan ditetapkan menjadi butir-butir instrumen yang sesungguhnya. Layak atau tidaknya butir-butir pernyataan yang akan dipilih dan digunakan sebagai alay pengumpul data akan diketahui melalui uji kesahihan (validitas) dan keandalan instrumen (reliabilitas)

  1. Uji Kesahihan Instrumen

Instrumen yang diberikan kepada responden penelitian, sebelumnya dilakukan uji validitas yang berguna untuk menunjukkan sejauhmana instrumen dapat mengukur apa yang hendak diukur. Menurut Sarwono (1987:29) apbila pokok-pokok uji dlam suatu instrumen secara logis mampu mengukur apa yang hendak diukur (baik berdasarkan pendapat sendiri, orang lain, atau atas pertimbangan para ahli), maka instrumen tersebut fikatakan valid.

Analisis butir diperoleh untuk menghitung daya dukung dari setiap butir pernyataan terhadap keseluruhan butir pernyataan. Untuk memperoleh butir-butir instrumen yang shahih dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 10.0n for Window. Penggunaan rumus ini akan menghasilkan nilai r tiap butir pernyataan. Hasil pewrhitungan rumus ini akan menggunakan Alpha Cronbach dan dikoreksi dengan uji t untuk setiap butir.

  1. Uji Kehandalan Instrumen

Untuk mengetahui kehandalan instrumen dilakukan uji kehandalan instrumen. Pengoahan analisis data uji coba kehandalan instrumen ini dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 11.5 for Window. Hasil analisis uji coba.

F. Uji Persyaratan Analisis

Data dianalisis dengan menggunakan rumus korelasi, rumus regresi linier sederhana dan regresi ganda. Rumus-rumus tersebut dapat digunakan untuk memprediksi variabel bebas (X1 dan X2) dengan variabel terikat (Y). Pengujian persyaratan analisis dilakukan dengan cara:

1. Uji normalitas adalah untuk memeriksa apakah data populasi berdistribusi normal atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemakaian teknik analisis regresi tidak cocok digunakan untuk data penelitian ini. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan teknik Kolmogorov Smirnov.

2. Uji homogenitas adalah uji yang dilakukan untuk melihat apakah data yang diperoleh memiliki variasi yang homogen atau tidak. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan teknik Levene Statistik.

3. Uji linieritas adalah uji yang dilakukan untuk melihat garis regresi apakah linier sehingga dinyatakan signifikan dengan teknik regresi sederhana.

4. Uji Independensi antar variabel bebas dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel bebas yang diuji tidak memiliki hubungan yang berarti dengan teknik korelasi.

G. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis data primer yang berguna untuk mengetahui variabel persepsi pamong tentang kompetensi guru PPL dan kode etik guru PPL dalam mengajar terhadap nilai yang diperoleh mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang.

Sebagai sumber data yang digunakan adalah pamong yang ada di SMAN 5, 6, 7 dan 10 di Kota Padang tahun ajaran 2007-2008. data dikumpulkan melalui angket yang dibuat dan dikembangkan sendiri oleh peneliti. Semua data dikumpulkan sendiri oleh peneliti, sedangkan surat izin mengumpulkan data diurus melalui lembaga Pascasarjana Universitas Negeri Padang.

H. Teknik Analisis Data

Penelitian ini memakai analisis data kuantitatif dengan menggunakan teknik-teknik statistik berupa korelasi dan regresi yang akan digunakan untuk menguji hipotesis-hipotesis. Setelah itu dilakukan pembahasan mengenai hasil analisis statistik tersebut. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan arti terhadap hasil analisis yang dilakukan. Pengujian hipotesis bertujuan:

1. Untuk menguji keberadaan hubungan persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL dengan nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, digunakan dengan teknik korelasi dan regresai sederhana.

2. Untuk menguji keberadaan hubungan Kode Etik mengajar terhadap nilai akhir yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, digunakan teknik korelasi dan regresi ganda.

3. Untuk menguji keberadaan hubungan persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar terhadap nilai yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang secara bersama-sama digunakan teknik korelasi dan regresi sederhana.

Keseluruhan analisis dilakukan dengan bantuan porgram komputer SPSS versi 11.5 for Window.untuk mengetahui tingkat pencapaian tentang variabel persepsi pamong SMAN Kota Padang tentang kompetensi guru PPL dan Kode Etik mengajar terhadap nilai yang diperoleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang dihitung dengan rumus dan pengklasifikasian menurut Sudjana (1984)sebagai berikut:

Tingkat Pencapaian= ∑Skor X100%

∑ butir x n x skala tertinggi

90%-100% = sangat baik

80%-89% = baik

65%-79% = cukup

55%-64% = kurang baik

0%-54% = tidak baik

DAFTAR PUSTAKA

A.M., Sardiman (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Ahmad, J. 2003. “Kontribusi Sikap dan Cara Belajar terhadap Kemampuan Praktikum Elektronika Analog Mahasiswa Jurusan Teknik Elektronika Fakultas Teknik UNP”. Padang: Tesis

Arikunto, Suharsismi. 1998. Prosedur Penelitian, Jakarta: Rinneka Cipta

Atkinson, R. C., dan E.R. Hilgar. 1991. Pengantar Psikologi, diterjemahkan oleh Nurjanah, Taufik dan Rukmini. Jakarta: Barhana. Erlangga.

Buku Pedoman Program Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang Tahun 2005.

Chaplin, C.P. 1989. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah Kartini Kartono, Jakarta: Rajawali Press.

Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-undang RI Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: BP. Cipta Jaya.

Departemen Pendidikan Nasional, 2006. Undang-Undang Guru dan Dosen, Jakarta: Sinar Grafika.

Echols, Jhon. M dan Shadeli, Hasan. 1984. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Gibson, James. 1986. Organisasi Perilaku, Struktur dan Proses, Diterjemah oleh Djoerban Wahid. Erlangga Jakarta.

Hadi, Sutrisno, 1994. Metodologi Riset, Yogyakarta: Andi Offset

Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung; Sinar Baru Algensindo.

Harefa, Andrias. 1999. Membangkitkan Roh Profesionalisme, Jakarta: Gramedia.

63

Haryono, Agung. 2007. Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, makalah tidak terbit.

Hasan, Hamid. (2004). Profesionalisme Guru dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah Jurnal Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN). Bandung: HIPKIN.

Haswita, S. (2005), “Kontribus Persepsi Dosen tentang Profesi Pendidikan Kjuruan dan Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Dosen Fakultas Teknik UNP”. Padang: Tesis Pascasarjana UNP.

Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian, Jakarta: STIA LAN Press

Kluckhohn, C. 1962. Values and Value Orientations in The Theory of Action, New York, Harpen & Row Publisher

Koesoema, Doni A, 2007. Menggadaikan Etika Profesi, Kompas, 14 Maret Jakarta.

Leavit, Harold, J. 1986. Psikologi Management, Terj. Zakardi Muslichah, Jakarta: Erlangga.

M.S H. Titus, et al, 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang.

Mariati, L. (2001), “Kontribusi Persepsi Siswa tentang SMK dan Cara Belajar Terhadap Hasil Belajar Gambar Estetis (Studi di SMK Negeri 8 Padang)”, Padang: Tesis Pascasarjana UNP.

Muhaimin dan Mujib, Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya.

Mulyasa, E. (2003). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Munn, N.L. 1962. Introduction To Psychology, Boston: Houghton,, Mifflin Co

Nazaruddin. (2007). “Persepsi Siswa tentang Pendidikan Kejuruan dan Cara Belajar terhadap Hasil Belajar Siswa SMKN 2 Kota Padang”, Padang: Tesis Pascasarjana UNP.

Nurtain, 1989. Pola Kepemimpinan di Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Laporan Penelitian IKIP Padang.

Pidarta, Made, 1997. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rinneka Cipta.

Purwadarminta, W.JS. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Rahmad, Jalaluddin. 1998. Psikologi Kumunikasi. Bandung: PT Rosdakarya.

Ruch, Floyd L. 1967. Psychology and Life, 7 Edt. Scott. Foresman and Company. Atlanta.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sofa. 2008. Profesi Keguruan: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pekerjaan Profesi (Tp:)

Spranger, E. 1928. The Types Of Men : The Psychology And Athics Of Personality. Max Niemeyer Verlag, Halle (Saale)

Sudjana, Nana. 1988. Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta: Sinar Baru Algesindo.

Team Didaktik Metodik. 1989. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulm PBM, Jakarta: Rajawali.

Team Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia. 1990, Jakarta: Balai Pustaka.

Thoha, HM. Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wirman, (2005) “Kontribusi Persepsi Siswa tentang Sekolah Menengah Kejuruan dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Uji Kompetensi keahlian”, Padang: Tesis Pascasarjana UNP