NILAI-NILAI DALAM PENDIDIKANISLAM
Hs. Hasibuan botung
A. Pengertian Nilai-nilai Pendidikan Islam
1. Pengertian Nilai Secara Umum
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengetian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yaitu menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).[1] Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.
Purwadarminta menerjemahkan Nilai sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.[2] Mujib dan Muhaimin mengungkapkan “Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.[3] Sementara menurut Gazalba yang dikutip Thoha mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.[4]
Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dijadikan sebagai acuan dan melambangkan kualitas yang kemudian diberi bobot baik oleh individu maupun kelompok.
2. Pengertian Nilai-nilai Pendidikan Islam
Menurut Ali Sarwan, nilai pendidikan Islam adalah ciri-ciri atau sifat khas Islami yang dimiliki sistem pendidikan Islam.[5] Rajab Dauri mengatakan nilai-nilai pendidikan Islam adalah corak atau sifat yang melekat pada pendidikan Islam.[6] Sedangkan Ruqaiyah M. berpendapat nilai-nilai pendidikan Islam adalah ada pada determinasi yang terdiri dari cara pandang, aturan dan norma yang ada pada pendidikan Islam yang selalu berkaitan dengan akidah, ibadah, syariah, dan akhlak.[7] Dengan demikian dapat dipahami bahwa nilai-nilai pendidikan Islam adalah ciri khas, sifat yang melekat yang terdiri dari aturan dan cara pandang yang dianut oleh agam Islam.
B. Nilai-nilai dalam Pendidikan Islam
Dunia pendidikan akhir-akhir ini tidak terlepas dari kemajuan di berbagai bidang, baik sains, teknologi, komunikasi maupun bidang lainnya. Kemajuan-kemajuan tersebut tidak semuanya memberikan nilai manfaat pada generasi muda, namun tentu saja banyak sisi negatif yang diakibatkan oleh seiring dengan kemajuan zaman. Kalau setiap orang tidak waspada terhadap ekses negatif kemajuan zaman, maka secara langsung kemajuan zaman itu berpengaruh juga terhadap nilai-nilai, adat budaya, maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
S. Trimo dalam Chalijah Hasan mengatakan: “Kemajuan dan perkembangan teknologi yang telah berhasil membuat dunia semakin kecil, membawa pengaruh yang besar pada norma-norma dan system nilai masyarakat, perilaku manusia organisasi, struktur keluarga, mobilitas masyarakat, kebijakan pemerintah, dan sebagainya”.[8] Mencermati beberapa gejala-gejala yang terjadi pada akhir-akhir ini maka tugas guru sebagai pendidik adalah menanamkan nilai-nilai Pendidikan Agama Islam kepada anak dengan kokoh agar nilai-nilai yang diajarkan kepadanya menjadi sebuah keyakinan yang dapat membentengi diri dari berbagai ekses-ekses negatif.
1. Nilai Aqidah
Kata aqidah berasal dari Bahasa Arab, yaitu aqada-yakidu, aqdan yang artinya mengumpulkan atau mengokohkan. Dari kata tersebut dibentuk kata Aqidah. Kemudian Endang Syafruddin Anshari mengemukakan aqidah ialah keyakinan hidup dalam arti khas yaitu pengikraran yang bertolak dari hati.[9] Pendapat Syafruddin tersebut sejalan dengan pendapat Nasaruddin Razak yaitu dalam Islam aqidah adalah iman atau keyakinan.[10]Aqidah adalah sesuatu yang perlu dipercayai terlebih dahulu sebelum yang lainnya. Kepercayaan tersebut hendaklah bulat dan penuh, tidak tercampur dengan syak, ragu dan kesamaran.
Dalam pembinana nilai-nilai aqidah ini memiliki pengaruh yang luar biasa pada kepribadian anak, pribadi anak tidak akan didapatkan selain dari orang tuanya. Pembinaan tidak dapat diwakili dengan sistim pendidikan yang matang.[11] Jadi aqidah adalah sebuah konsep yang mengimani manusia seluruh perbuatan dan prilakunya dan bersumber pada konsepsi tersebut. Aqidah islam dijabarkan melalui rukun iman dan berbagai cabangnya seperti tauhid ulluhiyah atau penjauhan diri dari perbuatan syirik, aqidah islam berkaitan pada keimanan. Anak pada usia 6 sampai 12 tahun harus mendapatkan pembinaan aqidah yang kuat, sebab apabila anak telah dewasa mereka tidak terombang-ambing oleh lingkungan mereka. Penanaman aqidah yang mantappada diri anak akan membawa anak kepada pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt.
Abdurrahman An-Nahlawi mengungkapkan bahwa “keimanan merupakan landasan aqidah yang dijadikan sebagai guru, ulama untuk membangun pendidikan agama islam”.[12] Masa terpenting dalam pembinaan aqidah anak adalah masa kanak-kanak dimana pada usia ini mereka memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pada masa sesudahnya, guru memiliki peluang yang sangat besar dalam membentuk, membimbing dan membina anak, apapun yang diberikan dan ditanamkan dalam jiwa anak akan bisa tumbuh dengan subur, sehingga membuahkan hasil yang bermanfaat bagi orang tua kelak.
Di dalam al-Quran ada ayat yang menyatakan tentang beriman, diantara ayat tersebut adalah:
ياَ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً (النساء: ١٣٦)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah Swt turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah Swt turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah Swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya[13]. (QS an-Nisaa’:136)
Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa setiap orang mukmin mesti beriman kepada hal-hal yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Keyakinan kepada hal-hal yang ditetapkan oleh Allah tersebut disebut sebagai aqidah. Dalam Islam keyakinan terhadap hal-hal yang diperintahkan Allah Swt dikenal dengan rukun iman yang terdiri dari beriman kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir dan Qadha dan Qadhar dari Allah.
Dalam menanamkan kepercayaan seperti yang telah disebutkan di atas maka orang tua sebagai pendidik di dalam rumah tangga memiliki tanggungjawab yang berat agar membimbing dan mengarahkan anak melalui berbagai upaya dan pendekatan agar sejak dini anak sudah memiliki keyakinan yang jelas terhadap agamanya. Penanaman keyakinan terhadap akidah agama Islam terhadap anak tidak hanya menjadi pengetahuan semata, akan tetapi nilai-nilai akidah tersebut dapat diimplementasikan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari.
2. Nilai Ibadah
1). Arti dan Penghayatan Ibadah
Ibadah adalah suatu wujud perbuatan yang dilandasi rasa pengabdian kepada Allah Swt.[14] Ibadah juga merupakan kewajiban agama Islam yang tidak bisa dipisahkan dari aspek keimanan.[15] Keimanan merupakan pundamen, sedangkan ibadah merupakan manisfestasi dari keimanan tersebut.[16] Menurut Nurcholis Madjid:
Dari sudut kebahasaan, “ibadat” (Arab: ‘ibadah, mufrad; ibadat, jamak) berarti pengabdian (seakar dengan kata Arab ‘abd yang berarti hamba atau budak), yakni pengabdian (dari kata “abdi”, abd) atau penghambaan diri kepada Allah Swt, Tuhan yang maha Esa. Karena itu dalam pengertiannya yang lebih luas, ibadat mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan “duniawi” sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral.[17]
Abu A’alal Maudi menjelaskan pengertian ibadah sebagai berikut:
“Ibadah berasal darikata Abd yang berarti pelayan dan budak. Jadi hakikat ibadah adalah penghambaan. Sedangkan dalam arti terminologinya ibadah adalah usaha mengikuti mhukum dan aturan- aturan Allah Swt dalam menjalankan kehidupan sesuai dengan perintahnya, mulai dari akil balig sampai meninggal dunia”.[18]
Dapat dipahami bahwa ibadah merupakan ajaran islam yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan, karena ibadah merupakan bentuk perwujudan dari keimanan. Dengan demikian kuat atau lemahnya ibadah seseorang ditentukan oleh kualitas imannya. Semakin tinggi nilai ibadah yang dimiliki akan semangkin tinggipula keimanan seseorang. Jadi ibadah adalah cermin atau bukti nyata dari aqidah. Dalam pembinaan ibadah ini, firman Allah Swt dalam
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (طه:١٣٢)
Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, kamilah yang memberikan rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertaqwa”[19]. (QS Thaha: 132).
Seluruh tugas manusia dalam kehidupan ini berakumulasi pada tanggung jawabnya untuk beribadah kepada Allah Swt. Pada usia anak 6 sampai 12 tahun bukanlah masa pembebanan atau pemberian kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan latihan dan pembiasaan, sehingga ketika anak memasuki usia dewasa, pada saat mereka mendapatkan kewajiban dalam beribadah, segala jenis ibadah yang Allah Swt wajibkan dapat mereka lakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, sebab sebelumnya ia terbiasa dalam melaksanakan ibadah tersebut.
2). Macam-macam Ibadah
Jika ditinjau lebih lanjut ibadah pada dasarnya terdiri dari dua macam yaitu: Pertama; Ibadah ‘Am yaitu seluruh perbuatan yang dilakukan oleh setiap muslim dilandasi dengan niat karena Allah Swt Ta’ala. Kedua; Ibadah Khas yaitu suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Contoh dari ibadah ini adalah:
1. Mengucap dua kalimat syahadat
Dua kalimat syahadat terdiri dari dua kalimat yaitu kalimat pertama merupakan hubungan vertikal kepada Allah Swt., sedangkan kalimat kedua merupakan hubungan horizontal antar setiap manusia.
2. Mendirikan Shalat
Shalat adalah komunikasi langsung dengan Allah Swt., menurut cara yang telah ditetapkan dan dengan syarat-syarat tertentu.
3. Puasa Ramadhan
Puasa adalah menahan diri dari segala yang dapat membukakan/melepaskannya satu hari lamanya, mulai dari subuh sampai terbenam matahari. Pelaksanaannya di dasarkan pada
4. Membayar Zakat
Zakat adalah bagian harta kekayaan yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat. Pendistribusiannya di atur berdasarkan
5. Naik haji ke Baitullah
Ibadah haji adalah ibadah yang dilakukan sesuai dengan rukun Islam ke 5 yaitu dengan mengunjungi Baitullah di Mekkah.[20]
Kelima ibadah khas di atas adalah bentuk pengabdian hamba terhadap Tuhannya secara langsung berdasarkan aturan-aturan, ketetapan dan syarat-syaratnya. Setiap guru atau pendidik di sekolah mestilah menanamkan nilai-nilai ibadah tersebut kepada anak didiknya agar anak didik tersebut dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ibadah tersebut memiliki pengaruh yang luar biasa dalam diri anak, pada saat anak melakukan salah satu ibadah, secara tidak langsung akan ada dorongan kekuatan yang terjadi dalam jiwa anak tersebut. Jika anak tersebut tidak melakukan ibadah seperti biasa yang ia lakukan seperti biasanya maka dia merasa ada suatu kekurangan yang terjadi dalam jiwa anak tersebut, hal ini karena dilatar belakangi oleh kebiasaan yang dilakukan anak tersebut. Untuk itu setiap orang tua dirumah harus mengusahakan dan membiasakan agar anaknya dapat melaksanakan ibadah shalat atau iabadah lainnya setiap hari.
- Nilai Pendidikan Akhlak
Pendidikan Akhlak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama, karena yang baik menurut akhlak , baikpula menurut agama, dan yang buruk menurut ajaran agama buruk juga menurut akhlak. Akhlak merupakan realisasi dari keimanan yang dimiliki oleh seseorang.
Akhlak berasal dari bahasa arab jama’ dari khuluqun, yang secara bahasa berarti: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[21]Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa akhlak berhubungan dengan aktivitas manusia dalam hubungan dengan dirinya dan orang lain serta lingkungan sekitarnya. Ahmad Amin merumuskan “akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”.[22]
Dengan demikian akhlak menurut Ahmad Amin adalah deskripsi baik, buruk sebagai opsi bagi manusia untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukannya. Akhlak merupakan suatu sifat mental manusia dimana hubungan dengan Allah Swt dan dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Baik atau buruk akhlak disekolah tergantung pada pendidikan yang diberikan oleh gurunya.
Secara umum ahlak dapat dibagi kepada tiga ruang lingkup yaitu akhlak kepada Allah Swt, Akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan.
- Akhlak kepada Allah Swt
Akhlak kepada Allah Swt dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan taat yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai khalik. Karena pada dasarnya manusia hidup mempunyai beberapa kewajiban makhluk kepada khalik sesuai dengan tujuan yang ditegaskan dalam firman Allah Swt., surat adz-Zariyat ayat 56 yang berbunyi:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ الا لِيَعْبُدُونِ: الذاريات: ٥٦)
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-ku”.[23] (Adz Adzariyaat: 56).
Ada beberapa alasan yang menyebabkan manusia harus berakhlak kepada Allah Swt antara lain:
1) Karena Allah Swt yang menciptakan manusia
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ath-Thariq ayat 5-7 yang berbunyi:
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ (٥) خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ (٦) يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (٧) (الطارق: ٧-٥)
Artinya:" Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang diciptakan?” Dia diciptakan dari air yang terpancar yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.[24] (Ath-Thaariq: 5-7).
2) Karena Allah Swt yang telah memberikan perlengkapan panca indra berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, di samping angota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah Swt dalam surat An-Nahl ayat 78 yang berbunyi:
وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل : ٧٨)
Artinya: “Dan Allah Swt mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.[25] (An-Nahal: 78).
3) Karena Allah Swt yang menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti: bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang-binatang ternak, dan sebagainya. Firman Allah Swt dalam surat Al-Jaatsiyah ayat 12-13 yang berbunyi
اللَّهُ الَّذِي سخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٢) وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مِّنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لَّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (١٣) (الجاثية :١٢-١٣)
Artinya: ”Allah Swtlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat belayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebahagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukan untukmu apa yang ada di lagit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesunguhnya yang demikian itu benar-benar tanda-tanda (kekuasaan Allah Swt) bagi kaum yang berpikir”.[26] (al-Jaatsiyah: 12-13).
4) Karena Allah Swt yang memuliakan manusia dengan memberikannya kemampuan menguasai dataratan dan lautan. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam surat Al-Isra’ ayat 70 yakni :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً (الاسراء : ٧٠)
Artinya: “Dan sesunguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”[27] (al-Isra’: 70).
Apabila manusia tidak mau melaksanakan kewajiban sebagai makhluk bearti telah menentang kepada fitrah kepadanya sendiri, sebab pada dasarnya manusia mempunyai kecendrungan untuk menggabdi kepada Tuhannya yang telah menciptakannya. Tujuan pengabdian manusia pada dasarnya hanyalah mengharapkan akan adanya kebahagian lahir dan batin, dunia dan akhirat serta terhindar dari murka-Nya yang akan mengakibatkan kesengsaraan diri sepanjang masa.[28] Dalam berhubungan dengan khaliqnya (Allah Swt), manusia mesti memiliki akhlak yang baik kepada Allah Swt yaitu:
a) Tidak menyekutukan-Nya
b) Taqwa kepada-Nya
c) Mencintai-Nya
d) Ridha dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya dan bertaubat
e) Mensyukuri nikmat-Nya
f) Selalu berdo’a kepada-Nya
g) Beribadah
h) Selalu berusaha mencari keridhoan-Nya.[29]
- Akhlak terhadap sesama manusia
Manusia sebagai makhمuk sosial tidak bisa hidup sendiri tampa bantuan manusia lain, orang kaya membutuhkan pertolongan orang miskin begitu juga sebaliknya, bagaimana pun tingginya pangkat seseorang sudah pasti membutuhkan rakyat jelata begitu juga dengan ratyat jelata, hidupnya akan terkatung-katung jika tidak ada orang yang tinggi ilmunya akan menjadi pemimpin.
Adanya saling membutuhkan ini menyebabkan manusia sering mengadakan hubungan satu sama lain, jalinan hubungan ini sudah tentu mempunyai pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, setiap orang seharusnya melakukan perbuatan dengan baik dan wajar, seperti: tidak masuk kerumah orang lain tampa izin, mengeluarkan ucapan baik dan benar, jangan mengucilkan orang lain, jangan berprasangka buruk, jangan memanggil dengan sebutan yang buruk.[30]
Kesadaran untuk berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain, melahirkan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, dan keseimbangan dalam hubungan manusia baik secara pribadi maupun dengan masyarakat lingkungannya. Adapun kewajiban setiap orang untuk menciptakan lingkungan yang baik adalah bermula dari diri sendiri. Jika tiap pribadi mau bertingkah laku mulia maka terciptalah masyarakat yang aman dan bahagia.
Menurut Abdullah Salim yang termasuk cara berakhlak kepada sesama manusia adalah: 1) Menghormati perasaan orang lain, 2). Memberi salam dan menjawab salam, 3). Pandai berteima kasih, 4). Memenuhi janji, 5). Tidak boleh mengejek, 6). Jangan mencari-cari kesalahan, dan 7). Jangan menawarkan sesuatu yang sedang ditawarkan orang lain.[31]
Sebagai individu manusia tidak dapat memisahkan diri dari masyarakat,, dia senentiasa selalu membutuhkan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis dengan masyarakat tersebut setiap pribadi harus memlikisi sifat-siat terpuji dan mampu menempatkan dirinya secara positif ditengah-tengah masyarakat.
Pada hakekatnya orang yang berbuat baik atau berbuat jahat/tercela terhadap orang lain adalah untuk dirinya sendiri. Orang lain akan senang berbuat baik kepada seseorang kalau orang tersebut sering berbuat baik kepada orang itu. Ketinggian budi pekerti seseorang menjadikannya dapat melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna sehingga menjadikan orang itu dapat hidup bahagia, sebaliknya apabila manusia buruk akhlaknya, maka hal itu sebagai pertanda terganggunya keserasian, keharmonisan dalam pergaulannya dengan sesama manusia lainnya.
- Akhlak terhadap lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda yang tak bernyawa. Manusia sebagai khalifah dipermukaan bumi ini menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam yang mengandung pemeliharaan dan bimbingan agar setiap maklhuk mencapai tujuan penciptaanya. Sehingga manusia mampu bertangung jawab dan tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungannya serta terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji untuk menghidari hal-hal yang tercela. Dengan demikian terciptalah masyarakat yang aman dan sejahtera.
Pada dasarnya faktor bimbingan pendidikan agama terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua di rumah dan guru disekolah akan dapat berpengaruh terhadap pembentukan akidah, ibadah, dan akhlak siswa yang baik.
[2]Purwadarminta, W.JS, Kamus Umum Bahasa
[3]Muhaimin dan Mujib, Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 110
[4]Thoha, HM. Chabib, op,cit., h. 61
[5]Ali Sarwan, Ciri-ciri Pendidikan Islam,(Internet, 23 Maret 2006), h. 5
[6]Rajab dauri, Islam dan Nilai, (Internet, 17 Juli 2007), h. 4
[7]Ruqaiyah M, Konsep Nilai dalam Pendidikan Islam, (Padangsidimpuan: Makalah STAIN Padangsidimpuan, 2006), h. 12
[8]Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), h. 201
[9]Endang Syafruddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-pokok Pemikiran Tentang Islam, (Jakarta, Raja Wali, 1990), cet-2, h. 24
[10] Nasaruddin Razak, Dinul Islam, h. 119
[11] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasullullah, Penterjemah Kuswa Dani, judul asli Manhajul al Tarbiyah al Nabawiyah Lil-al Thifl, (Bandung: Albayan, 1997), h. 108
[12]Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (
[13]Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., h. 145
[14]Aswil Rony, dkk, Alat Ibadah Muslim Koleksi Museum Adhityawarman, (Padang: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 1999), h. 18
[15]Ibid,
[16]Ibid, h. 60
[17]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 57
[18]Abdul A’ala al-Maududi, Dasar-dasar Islam, (Bandung, Pustaka, 1994), h. 107
[19]Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, op,cit., h. 492
[20]Aswil Rony, Dkk, Alat Ibadah Muslim, op. cit, h. 26-31
[21]Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV, Diponegoro, 1996), h. 11
[22] Ibid, h. 12
[23]Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., h. 862
[24]Ibid, h. 473
[25]bid, h. 473
[26]Ibid, h.399
[27]Ibid, h. 231
[28]A. Mudjab Mahli, Pembinaan Moral di Mata Al-Gazali, (Yogyakarta: BFE, 1984), h. 257
[29]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 148
[30]Ibid, h. 149
[31]Abdullah Salim, Akhlak Islam (Membina Rumah Tangga dan Masyarakat), (Jakarta: Media dakwah, 1989), h. 155-158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar