Senin, 08 Juni 2009

sanbungan kebijakan pesantren ramadhan

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja

  1. Pesantren Ramadhan

15

Pendidikan[1] mempunyai fungsi[2] dan misi untuk menyiapkan manusia dan masyarakat berbudaya dan religius, yang memiliki kemampuan untuk memahami, menghayati, mengamalkan, dan mengembangkan secara terus-menerus nilai-nilai budaya dan agama. Pelaksanaan pendidikan agama baik secara formal maupun non formal merupakan salah satu komponen penting dalam merealisasikan tujuan pendidikan tersebut. Salah satu bentuk pendidikan non formal yang sedang giat-giatnya dilakukan sekarang ini khusunya di Kota Padang adalah pendidikan moral dan agama dalam bentuk Pesantren[3] Ramadhan[4] yang bertujuan untuk mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai budaya[5] dan agama pada daerah setempat.[6] Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan salah satu model dari pendidikan berbasis masyarakat,[7] muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia[8], hingga lama-kelamaan pesantren menjadi maju dan merupakan salah satu bentuk pendidikan di Indonesia. Ditinjau dari segi istilah menurut Dhofir; kata pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an berarti “tempat tinggal para santri”. Istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru ngaji”, ada yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti “orang yang tahu buku-buku suci, buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan”.[9]

Pesantren Ramadhan yang ditradisikan di Kota Padang merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal yang sangat tepat untuk menanamkan dan membiasakan pelaksanaan nilai-nilai religius dalam kehidupan keseharian siswa.[10] Kegiatan ini merupakan kegiatan wajib yang mesti diikuti siswa di Mesjid atau Mushalla pada bulan Ramadhan. Dari pengertian tersebut Pesantren Ramadhan dipahami sebagai suatu usaha optimalisasi ibadah Ramadhan melalui ta’mirul Masjid yang terarah dan terencana yang diikuti oleh semua orang pada komunitas tertentu selama sebulan penuh di bulan Ramadhan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.[11]

  1. Wirid Remaja

a. Pengertian Wirid

Wirid adalah kutipan-kutipan dari al-Quran[12] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kutipan-kutipan dari Quran yang ditetapkan untuk dibaca. Wirid, biasa dilakukan selepas sembahyang wajib.[13] Dengan demikian wirid adalah berupa kegiatan pengajian keagamaan yang di dalamnya berlangsung penyampaian pesan-pesan qurani secara berkesinambungan.

b. Pengertian Remaja

Ali Umar[14] menjelaskan pengertian remaja menurut beberapa ahli, di antaranya Golinko berpendapat kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity. Menurut DeBrun mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Sedangkan Papalia dan Olds tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).

Masa remaja menurut Rita L. Atkinson dkk, adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam masa ini remaja berkembang ke arah kematangan seksual, memantapkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga, dan menghadapi tugas menentukan cara mencari mata pencaharian. Mengenai masa ini Atkinson tidak merinci umur dengan jelas, namun hanya dimulai dari umur 12 sampai belasan tahun.[15] Lebih lanjut Knopka membatasi dan membagi masa remaja dalam tiga bagian yaitu remaja awal berumur 12-15 tahun, remaja madya berumur 15-18 tahun, dan remaja akhir berumur 19-22 tahun.[16] Muangman memandang remaja sebagai 1) individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan sosial, 2) individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, 30 terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.[17]

Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak- kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja, luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja. Dalam masyarakat, dikenal remaja dengan berbagai istilah yang menunjukkan kelompok umur yang tidak termasuk kanak- kanak tetapi juga bukan pula dewasa, misalnya jaka-dara dan bujang-gadis. Sebutan itu diperuntukkan bagi usia sekitar 13 tahun sampai 17 tahun.[18]

Dalam konteks Islam masa remaja berarti berakhirnya masa anak-anak dan mulainya masa akil baligh. Keadaan fisik, kognitif (pemikiran) dan psikososial (emosi dan kepribadian) remaja berbeda dengan keadaan pada tahap perkembangan lain. Di dalam al-Quran Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخاً وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى مِن قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلاً مُّسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya: “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (remaja-dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). (QS. al-Mukmin: 67)

Dalam ayat tersebut terlihat bahwa proses perkembangan manusia mulai dari sperma, bayi, remaja, dewasa kemudian menjadi tua. Perkembangan itu dijadikan oleh Allah agar manusia dapat berfikir dan memahami proses tersebut sebagai sebuah kekuasaan Tuhan. Orang akan dapat menggunakan fikirannya dengan penuh pertimbangan secara tepat ketika dia sudah menjadi baligh. Karena sudah baligh, mereka menanggung kewajiban beribadah wajib. Kewajiban menunaikan ibadah wajib ini ditunjang oleh perubahan raga yang makin menguat dan membesar, sekresi hormon baru, dan perubahan taraf berfikir mereka. Namun kematangan organ internal tubuh mereka tidak serta merta membuat mereka lebih matang perasaan dan pemikirannya.

c. Pengertian Wirid Remaja

Berdasarkan defenisi tentang wirid dan remaja di atas, maka dengan demikian pengertian Wirid Remaja adalah kegiatan pendidikan keagamaan yang bersifat non formal yang dilaksanakan untuk para remaja di Mesjid/Mushalla di mana mereka berdomisili dengan secara terencana, terarah, dan bertanggungjawab untuk membekali remaja dengan pengetahuan agama yang memadai agar tumbuh dan berkembang kesadaran religius, terbentuknya perilaku Islami serta terbangunnya ukhwah Islamiyah sesama remaja.[19]

B. Perilaku Beragama Remaja (Siswa)

  1. Pengertian Perilaku Beragama Remaja (Siswa)
  1. Pengertian Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan individu atas sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak (perbuatan) atau ucapan.[20] Irman Herman meyebut remaja sebagai seorang individu yang memiliki batasan usia antara 11 sampai dengan 24 tahun.[21] Oleh Rita, L. Atkinson perilaku dipandang sebagai kegiatan organisme yang dapat diamati.[22] Perilaku manusia menurut Ahmad Mubarak dapat diamati melalui kepekaan sosial manusia, tingkahlakunya berkesinambungan, memiliki orientasi kepada tugas, mempunyai sifat kejuangan, dan memiliki keunikan.[23] Ini berarti perilaku akan menjadi jelas dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam kehidupan seseorang.[24]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan.[25] Pada umumnya perilaku dapat ditinjau dari aspek sosial, intrapsikis dan biologis. Secara sosial perilaku adalah pengaruh hubungan antara organisme dengan lingkungannya terhadap perilaku, secara intrapsikis perilaku adalah proses dan dinamika mental/psikologis yang mendasari perilaku, dan secara biologis adalah sebagai proses dan dinamika syaraf-fa’ali yang ada dibalik suatu perilaku.[26] Hasan Langgulung mengungkapkan bahwa perilaku timbul karena adanya interaksi antara ruh dan badan yang saling mempengaruhi.[27] Dengan demikian tingkah laku tidak akan muncul jika salah satu dari kedua unsur tersebut tidak aktif. Badan tidak akan membentuk perilaku jika tidak didorong oleh ruh dan begitu juga ruh tidak akan dapat berperan jika tidak mengambil tempat pada badan. Hubungan ini selanjutnya menjadi saling ketergantungan.

Menurut psikologi humanistik perilaku manusia adalah penentu tunggal yang mampu melaksanakan peran Tuhan.[28] Sedangkan menurut pandangan psikologi behavioristik, baik atau buruknya perilaku yang ditampilkan oleh manusia sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi pada manusia itu, dan perlakuan yang diterimanya.[29] Perlakuan untuk selanjutnya menjadi pengalaman baru pada seseorang yang dengan itu dia membentuk perilaku yang baru sebagai reaksi dari pengalaman yang diperolehnya itu.[30] Dengan demikian tingkahlaku dan perbuatan yang teraktualisasikan dari perilaku, tidak terjadi secara sporadic, tetapi selalu ada kelangsungannya antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lainnya. Perbuatan terdahulu merupakan kelanjutan dari perbuataan selanjutnya[31], dan setiap dari perbuatan yang secara sadar dilakukan pastilah memiliki tujuan tertentu.[32]

  1. Pengertian Perilaku Beragama Remaja

Agama[33] menyangkut kehidupan manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sacral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.[34] Parsudi Suparlan berpendapat agama sebagai system keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari system-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.[35] Banyak ahli yang merumuskan tentang pengertian agama[36], namun secara ringkas makna beragama dapat dirumuskan sebagai keadaan atau situasi seseorang yang yakin dan mengamalkan ajararan-ajaran, doktrin-doktrin atau perintah agama yang diyakininya itu secara sadar dan ikhlas. Di dalam al-Quran dinyatakan perilaku seperti ini:

وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يونس:١٠٥)

Artinya: “dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yunus: 105)

Dalam kehidupan beragama, remaja sudah mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan agama sebagai ajaran dan manusia sebagai penganutnya.[37] Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan adalah dianugerahkannya kemampuan mengenal Tuhannya. Perasaan ini digolongkan pada peristiwa yang paling mulia dan luhur. Kemampuan yang demikian ini tidak terdapat pada binatang. Walupun binatang itu sendiri dapat berpikir (dalam bentuk sederhana), tetapi tidak mampu hidup beragama.[38] Menurut pandangan filsafat ketuhanan (Theologi) manusia disebut “homo divinans” yaitu makhluk yang berketuhanan, artinya manusia dalam sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki kepercayaan terhadap Tuhan dan hal-hal yang bersifat gaib.[39]

Ramayulis mengatakan “walaupun para ahli psikologi belum sependapat tentang mutlaknya naluri beragama atau naluri keagamaan terdapat pada diri manusia, namun hasil penelitian mereka, sebagian besar membenarkan eksistensi naluri itu. Bermacam istilah mereka pergunakan namun pada dasarnya seakan-akan istilah yang mereka pergunakan itu membayangkan bahwa yang mereka maksud adalah adanya suatu dorongan yang menyebabkan manusia cenderung untuk mengakui adanya suatu zat yang adikodrati (supernatural). Manusia dimana pun dia berada dan kemana pun mereka hidup secara kelompok atau sendiri-sendiri telah terdorong ke arah perbuatan dengan memperagakan diri dalam bentuk pengabdian kepada zat yang Maha Tinggi itu.[40] Dalam hal ini terlihat bahwa Ramayulis berpendapat manusia pada secara kodratri pastilah membutuhkan agama.

Di dalam al-Quran Allah SWT., berfirman:

هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاء الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالاَْرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (الحشر:٢٤)

Artinya: “Dialah Alalah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr: 24).

Ayat di atas dapat dipahami bahwa secara kodrati sadar atau tidak bahwa kehidupan manusia tergantung kepada penciptanya, dari seluruh aspek kehidupannya. Dengan demikian sebagai hamba tentulah manusia tidak dapat berdiri sendiri, melakukan, berbuat apa yang dia inginkan tanpa dikaitkan dengan kehendak Allah. Disinilah nampaknya terlihat jelas adanya kebutuhan manusia terhadap agama yang berasal dari Allah SWT.

Lebih lanjut Freud dengan psikoanalisisnya memandang perilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindar dari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberi rasa aman bagi diri sendiri.[41] Pendapat Freud ini dapat dipahami sebagai pemahaman yang lebih menekankan aspek psikososial daripada aspek nilai-nilai transendental agama, yang didasarkan akan adanya kepentingan pribadi terhadap rasa aman. Mencermati pengertian perilaku dan beragama di atas secara defenitif Ramayulis[42] menyimpulkan bahwa perilaku beragama berarti segala aktivitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya. Tingkah laku keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa keagamaan berdasarkan kesadaran dan pengalaman beramama pada diri sendiri. Agama bagi manusia, memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan batinnya. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang banyak mengambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sacral dan dunia gaib. Dari kesadaran dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya tingkah laku keagamaan yang diekspresikan seseorang.

  1. Fase Pertumbuhan remaja dan Perkembangan Jiwa Beragama Remaja (Siswa)

a. Fase pertumbuhan fisik Remaja

Perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan masa remaja yang berdampak pada perubahan psikologis (Sarwono, 1994). Seiring dengan pertumbuhan fisik, terjadi pula perkembangan di dalam tubuhnya secara pesat.[43] Kelenjar kanak- kanaknya telah berakhir berganti dengan kelenjar endokrin yang memproduksi hormon, sehingga menggalakkan pertumbuhan organ seks menuju kesempurnaan. Hormon ini juga berfungsi merangsang tulang-tulang panjang, terutama tulang tangan dan kaki, sehingga tulang-tulang itu tambah panjang dan individu bertambah tinggi.[44]

Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada masa remaja madya seperti; perubahan dalam tinggi dan berat dan perubahan dalam proporsi tubuh. Hal ini dapat dilihat dari perubahan ciri-ciri wajah, seperti dari semula sempit menjadi lebih luas, mulut lebar dan bibir menjadi lebih penuh. Dalam perubahan struktur kerangka adanya percepatan pertumbuhan otot. Perkembangan otot anak laki-laki lebih cepat dan lebih banyak memiliki jaringan otot, sehingga anak laki-laki lebih kuat dari anak perempuan.[45]

Kriteria pematangan seks akan lebih tampak pada anak perempuan dari pada anak laki-laki. Perubahan yang mencolok akan terjadi pada organ reproduksi. Pada anak perempuan, kelenjar air susu dan sel-sel lemak dibalik permukaan kulit aktif berkembang sehingga payudara mulai menyembul.[46] Sembilan bulan setalah itu daerah sekitar alat kelamin akan ditumbuhi bulu-bulu rambut halus. Setahun kemudia akan tumbuh juga pada daerah ketiak. Hal yang sama juga berlangsung pada vagina dan rahim, pada daerah ini terjadi terjadi pembesaran dan pemanjangan.[47] Sementara pada laki-laki proses pematangan seks dimulai pada usia 12-15 tahun. Proses tersebut diawali dengan pembesaran testis, tumbuhnya bulu rambut halus disekitar pangkal penis. Kemudian produksi sel-sel sperma pun mulai berlangsung di dalam testis.[48] Secara umum Elizabeth Hurlock, Sarlito dan Sunarto memberikan indikasi perubahan-perubahan secara fisik pada remaja laki-laki dan perempuan, sebagaimana terlihat pada tabel berikut[49].

Tabel 2.

Perubahan Fisik Remaja

No

PERUBAHAN FISIK

1

Laki-Laki

Perempuan

2

Pertumbuhan tulang

Pertumbuhan tulang badan dan anggota bada menjadi tinggi

3

Testis membesar

---

4

---

Pertumbuhan payudara

5

---

Pertumbuhan panggul

6

Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus dan berwarna gelap

Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus dan berwarna gelap

7

Awal perubahan suara

---

8

Ejakulasi pertama

---

9

Bulu kemaluan menjadi keriting

---

10

Pertumbuhan tinggi mencapai maksimal setiap tahun

Pertumbuhan tinggi mencapai maksimal setiap tahun

11

Tumbuh bulu-bulu rambut di wajah (kumis dan jenggot)

---

12

---

Kulit lebih kasar dan tebal, agak pucat dan pori-pori bertambah besar

13

---

Adanya siklus bulanan

14

Tumbuh bulu ketiak

Tumbuh bulu ketiak

15

Kelenjar lemak semakin membesar

Kelenjar lemak dan keringat lebih aktif

16

---

Suara menjadi lebih merdu

17

Otot bertambah besar dan kuat

---

18

Timbul benjolan kecil di sekitar susu, yang akhirnya mengecil

---

19

Akhir perubahan suara

---

20

Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap

---

21

Tumbuh bulku di dada

---

Berkaitan dengan hal tersebut, di dalam hadis Nabi ditemukan hadits yang mengindikasikan tentang ciri-ciri remaja yaitu:

عرضت على رسول الله صلى الله عليه وسلم في جيش وانا ابن اربع عشرة فلم يقبلني ثم عر ضت من قابل في جيش وانا ابن خمس عشرة فقبلني (رواه البخا ر ومسلم و ابو دود والتر مذذ ى والنسائ)

Artinya “Aku dihadapkan kepada Rasulullah SAW., untuk ikut serta dalam pasukan perang. Ketika itu aku masih berusia 14 tahun. Namun Rasulullah SAW., menolak aku. Pada tahun berikutnya, aku kembali mengajukan diri untuk ikut dalam pasukan perang. Ketika itu aku sudah berusia 15 tahun, maka beliau mau menerimaku. (HR. Bukhari, Muslim, daud, At turmudzi, dan An Nasai).[50]

عرضنا على النبى صلى الله عليه وسلم يو م قريظة فكان من انبت قتل ومن لم ينبت خلي سبيله فكانت ممن لم ينبت فخلي سبيلي (رواه الترمذى والنسائ)

Artinya “Kami telah dihadapkan kepada Nabi SAW., pada hari petang Bani Quzraizah, barang siapa yang telah tumbuh (rambut kemaluannya) maka dia dibunuh, dan barang siapa yang belum tumbuh (rambut kemaluannya), maka dia akan dibiarkan tetap hidup. (HR. Atturidji dan an-Nisaa’)[51]

Makna hadis di atas secara tekstual adalah bahwa rasulullah SAW., pertama, tidak memperbolehkan berperang bagi setiap laki-laki yang berumur di bawah 15 tahun, dan pada hadis yang kedua Rasulullah SAW., melarang membunuh dalam perang orang yang belum berumur 15 tahun. Makna psikologis yang terdapat dari kedua hadist itu adalah Pertama, masa akil baligh dimulai pada umur 15 tahun, dan salah satu dari ciri-ciri remaja pada hadits kedua adalah tumbuhnya bulu-bulu disekitar kemaluan.

Pertumbuhan fisik yang secara perlahan dan bertahap itu terkadang menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan bagi remaja. Tidak heran jika remaja sibuk dengan selalu memperhatikan perubahan pada dirinya, suka berlama-lama berdiri di depan kaca. Dimana ada kaca, mereka condong melihat dirinya lewat kaca itu. Apakah itu cermin di rumah, kaca jendela, etalase toko dan sebagainya.

b. Tugas Perkembangan Remaja

Masa remaja sering pula disebut dengan masa pancaroba atau masa peralihan, yakni peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Secara biologis para remaja sebenarnya sudah tergolong dewasa, dalam artian sudah cukup matang untuk memberikan keturunan. Tetapi secara psikologis, misalnya pemikiran, sikap, perasaan, minat dan kehendak masih sering berubah-ubah dan dianggap belum mencapai taraf kestabilan.[52] Dalam masa ini ada beberapa tugas-tugas perkembangan yang akan dilalui oleh remaja seiring dengan perkembangan dan pertumbuhannya. Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst yang dikutip oleh Hurlock adalah: 1) mencapai hubungan yang baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, 2) mencapai peran sosial pria, dan wanita, 3) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, 4) mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab, 5) mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, 6) mempersiapkan karier ekonomi, 7) mempersiapkan perkawinan dan keluarga, dan 8) memperoleh peringkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku- mengembangkan ideologi.[53]

c. Fase Perkembangan Jiwa Beragama Remaja

1. Fase perkembangan remaja secara umum

Sebagai manusia biasa remaja dalam pertumbuhannya juga mengalami perkembangan dalam berbagai hal. Mengenai perkembangan ini dapat dilihat pada karakteristik berikut:

a) Karaktersitik perkembangan Psikologis

Masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa, remaja mengalami berbagai persoalan psikologis. Dalam masa ini remaja mulai mempersiapkan dirinya untuk menjadi –bertindak dan berperilaku—sebagai seorang dewasa. Dia akan mencari-cari sesuatu yang bisa membuat dia diterima oleh orang dewasa, termasuk mengidentikkan orang lain dengan dirinya.[54] Namun terkadang terjadi benturan dalam kehidupannya, yang diakibatkan oleh ketidakmampuannya bersikap seperti layaknya orang dewasa. Karena itulah para remaja membutuhkan pengakuan dari orang dewasa tentang eksistensinya.[55] Sumadi Surya Broto mengistilahkan perilaku remaja ini sebagai merindu puja,[56] dimana para remaja pada masa itu sangat merindukan pujian dari orang-orang disekelilingnya.

Di antara sisi negatif yang dirasakan oleh para remaja perempuan adalah terjadinya sikap tidak tenang, kurang suka bekerja, suasana hati tidak baik, murung, Menarik diri dari masyarakat dan agresif terhadap masyarakat. Sedangkan pada laki-laki ciri-cirinya kurang suka bergerak, lekas letih, kebutuhan untuk tidur besar, suasana hati tidak tetap dan pesimistik[57]

b) Karaktersistik Perkembangan Emosi Pada Masa Remaja

Pertumbuhan fisik terutama organ-organ seksual mempengaruhi perkembangan emosi[58] atau perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan yang dialami sebelumnya. Seperti rasa cinta, rindu marah dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis.[59] Rasa sosial mulai tertanam dalam kepribadiannya. Meskipun demikian terkadang sikap untuk memberontak terhadap hal-hal yang tidak disukainya tetap ada. Hal ini dapat dipahami karena pada masa ini mereka sedang dalam proses pencarian keyakinan dan kepercayaan diri. Iklim lingkungan yang tidak kondusif seperti ketidak stabilan dalam kehidupan sosial politik, krisi ekonomi, perceraian orang tua, sikap dan perlakuan orang tua yang otoriter atau kurang memberikan kasih sayang dan pelecehan nilai-nilai moral atau agama dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Iklim lingkungan yang tidak sehat tersebut, cendrung memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan remaja dan sangat mungkin mereka akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stress atau depresi.[60]

Dalam Kondisi di atas banyak remaja yang meresponnya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar bahkan amoral seperti: (1) kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain, (2) kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian pemerasan dan lain-lain, (3) kenakalan sosial yang menimbulkan korban dipihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, seks sebelum menikah, dan (4) kenakalan yang melawan status misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, membantah pemerintah. Gejala-gejala kenakalan yang ditunjukkan oleh remaja perlu mendapat perhatian baik dari orang tua maupun masyarakat sekitar. Mengenai hal ini dalam al-Quran Allah berfirman:

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (النور: ٥٩)

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin . Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Makna dari ayat di atas adalah bahwa jika seorang anak sudah beranjak memasuki akil baligh, dia mestilah meminta izin kepada orang tuanya terhadap aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak diketahui. Diketahui pula bahwa dengan jelas bahwa Allah mengisyaratkan kepada para orang tua agar memperhatikan perilaku anak-anak mereka yang memasuki masa remaja, sebab masa itu rawan dengan kegiatan coba-coba anak yang barangkali menyeleweng atau melanggar ketentuan norma-norma agama.[61]

c) Karaktersistik Perkembangan Sosial.

Desmita mengutip pendapat Dacey dan Kenny yang menyatakan bahwa perkembangan sosial adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan internasional, yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka.[62] Pada masa ini remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya. Hal ini akan mendorong mereka untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebaya, baik melalui jalinan persahabatan atau percintaan. Selain itu secara sosial menurut Andi Mappiare[63] remaja merasa takut dan khawatir jika dikucilkan atau terisolir dari kelompoknya.

2. Fase perkembangan agama remaja

Perkembangan jiwa beragama pada remaja sejalan dengan perkembangan jasmaninya, intelektual dan ruhaniahnya. Zakiah Daradjat[64] berpendapat remaja mendapatkan pendidikan agama dengan cara memberikan kesempatan pada remaja untuk berfikir logis dan mengritik pendapat-pendapat yang tidak masuk akal, disertai oleh kehidupan lingkungan dan orang tua yang menganut agama yang sama dan taat dalam menjalankan agamnya, maka kebimbangan beragama pada masa remaja itu agak berkurang. Menurut W. Strabuck dikutip oleh Zulkarnaini[65], perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya yaitu:

a) Perkembangan pikiran dan mental

Ide dasar keyakinan agama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sikap kritis terhadap agama mulai timbul. Oleh karena itu, bagi mereka agama yang ajarannya kurang konservatif, dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya.

b) Perkembangan Perasaan Keagamaan

Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada Tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.

Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang.

Pada masa remaja berbagai perasaan telah berkembang, seperti perasaan sosial, kritis, etis, estetis yang semuanya itu mendorong mereka untuk menghayati kehidupan dan lingkungannya. Kehidupan religius akan cendrung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup religius pula. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapatkan pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual, sehingga mereka lebih mudah terperosok kea rah tindakan seksual negatif.

c) Perkembangan moral[66] dan material

Corak keagaaman para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Sehingga terjadi konflik dalam diri mereka antara pertimbangan moral dan material, mereka sangat bingung untuk menentukan pilihan. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya bersikap materialis.

d) Perkembangan Pikiran dan Moral

Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Jika dikategorikan, maka tipe moral yang terlihat pada masa remaja mencakup: (a) self directive, taat kepada agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi, (b) adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik, (c) submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama, (d) unadjusted, belum menyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral, dan (e) deviant, menolak dasar hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.

e) Sikap dan Minat

Sikap[67] dan minat[68] remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini sangat tergantung kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka. Selanjutnya tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja sebenarnya tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik bathin yang terjadi dalam diri.

  1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Beragama Siswa

a. Pengaruh Sosial

Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan. Lingkungan (baca: dalam keluarga maupun masyarakat) sangat mempengaruhi keyakinan dan implementasi keberagamaan pada diri remaja. Lingkungan dapat menjadi contoh yang baik dalam peningkatkan pengalaman dan pengamalan agama remaja, namun disisi lain lingkungan juga dapat berpengaruh negative terhadap keyakinan bergama siswa.

Sahilun A. Nasir mengemukakan bahwa remaja yang hidup dalam lingkungan yang agamis sebagai faktor ekstren dan dia memiliki kesadaran yang tinggi dalam hidup beragama sebagai faktor intern, akan menghasilkan perilaku keagamaan yang mantap. Dia mampu mengkombinasikan antara faktor-faktor rasional dan emosional secara terpadu. Norma-norma agama ditelusuri dengan analisa-analisa rasional sesuai dengan tingkat umur remaja yang ingin bebas dan terikat, tetapi dia juga memperhatikan emosinya agar memperoleh tempat yang layak dalam kehidupannya.[69] Begitu juga sebaliknya remaja yang hidup dalam lingkungan yang tidak atau hampir tidak pernah melaksanakan ajaran agama maka remaja juga akan terpengaruh dengan kebiasaan yang terjadi pada lingkungan tersebut.[70]

b. Pengaruh Kebutuhan

Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan akan kebahagiaan, kebutuhan untuk memperoleh harga diri[71] dan kebutuhan yang timbul karena adanya keyakinan terhadap adanya kematian. Agama adalah salah satu cara hidup bagaimana mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebab agama memiliki konsep tentang pemenuhan terhadap kebutuhan pribadi manusia baik di dunia maupun setelah mati.[72]

  1. Pengaruh pengalaman

Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Pengalaman mereka sehari-hari dapat menjadi pemicu tentang sikap mereka terhadap ajaran agama. Mereka dapat bertambah yakin terhadap agama jika pengalamnnya membuktikan bahwa ajaran agama itu dapat dibuktikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan begitu juga sebaliknya mereka menjadi tidak percaya kepada ajaran agama karena mereka anggap tidak rasional dan atau menyimpang dari pemikiran dan pengalaman mereka. Dalam posisi ini mereka menganggap agama dan ajarannya sebagai doktrin biasa saja. Disisi lain mereka akan mengkritik guru agama yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama Islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.

  1. Pengaruh Proses Pemikiran

Keyakinan terhadap agama bagi sebagian orang diawali dari proses pencarian kebenaran melalui pemikiran. Pencarian itu dilakukan dengan memperhatikan struktur dan gejala-gejala alam semesta. Selanjutnya menemukan jawaban dari hasil pemikirannya itu. Ahmad Yamani dalam Ramayulis menyatakan bahwa

“Tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenai alam sekitar-nya di samping rasa ketakutan terhadap rasa kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong insane tadi untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya, disaat-saat yang gawat. Insan primitive telah menemukan apa yang dicarinya pada gejala alam itu sendiri, berangsur-angsur dan silih berganti menuju gejala-gejala alam tadi sesuai dengan penemuannya dan menetapkannya ke dalam jalan kehidupannya. Dengan demikian timbullah penyembahan terhadap api, matahari, bulan, atau benda lainnya dari gejal-gejala alam tersebut yang akhirnya sampailah pada sebuah keyakinan bahwa manusia perlu percaya kepada pencipta alam semesta.[73]

Nabi Ibrahim melalui proses berfikir dan pengamatan dia telah meninggalkan kepercayaan yang dianut oleh ayahnya dan nenek moyangnya, karena menemukan dan menyimpulkan bahwa kepercayaan mereka itu salah. Dengan pikiran dia mencari kebenaran, tentang Tuhan yang berhak disembah dan agama yang benar untuk diyakini. Keyakinan beragama Ibrahim tampaknya sangat dipengaruhi oleh perjuangan dan pemikirannya dalam mencari dan memperoleh kebenaran.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Menurut McMillan dan Schumacher[74] metode bisa diartikan sebagai “cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data. Menurut Cohen dan Manion[75] metode dipandang sebagai teknik dan prosedur yang dipakai dalam proses pengumpulan data. Jadi metodologi menurut McMillan dan Schumacher[76] bisa didefinisikan sebagai “rancangan yang dipakai peneliti untuk memilih prosedur pengumpulan dan analisis data untuk menyelidiki masalah penelitian tertentu. Secara lebih lanjut metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana kajian berikut.

A. Paradigma Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti ingin menggambarkan kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan Pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja sebagai sebuah hubungan sosial yang terjadi di lapangan. Karena itu metode kualitatif dianggap sangat tepat untuk digunakan dalam penelitian ini.

Text Box: 40Menurut William yang dikutip oleh Tamin Ritonga[77] menyatakan bahwa pendekatan kualitatif adalah metode yang efektif dalam mengumpulkan informasi-informasi mengenai: 1) makna-makna perilaku individu yang diteliti, 2) deskripsi latar yang kompleks dan interaksi para individu yang diteliti, 3) eksplorasi untuk menemukan informasi baru yang akan diteliti, 4) fokus secara dalam dan rinci dari suatu yang terbatas jumlahnya, 5) deskripsi tentang fenomena yang digunakan untuk menyusun teori, 6) fokus pada interaksi-interaksi individu dan proses-proses yang mereka gunakan dan 7) uraian yang kaya tentang konteks dan kesimpulan.

Menurut Manan yang dikutip oleh Firman[78], menjelaskan paradigma naturalistik menggunakan metodologi kualitatif. Prasetya Irawan[79] menjelaskan bahwa penelitian kualitatif cendrung bersifat deskriptif, naturalistik, dan berhubungan dengan “sifat data” yang murni kualitatif. Sedangkan Miles dan Huberman terjemah Rohidi[80] mengatakan penelitian kualitatif biasanya berfokus pada kata-kata dan tindakan manusia yang terjadi dalam konteks yang spesifik. Spradley dalam Sermal[81], menjelaskan bahwa penelitian kualitatif lebih tepat digunakan pada penelitian yang berlatar belakang perilaku/budaya pada situasi sosial. Begitu juga Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Sermal[82] menyatakan bahwa metodologi penelitian kualitatif ialah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Berdasarkan hal di atas, penulis mengaitkannya dengan kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan Pesantren Ramadhan dan wirid remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja. Peneliti memandang bahwa seluruh hal yang terjadi akibat dari kebijakan pemerintah Kota Padang tersebut merupakan natural setting yang dijadikan sebagai sumber data penelitian. Di sini peneliti menjadi instrumen kunci, yang mengamati kejadian secara berulang-ulang dan mencatat data secara seksama, sistematis, rasional, kemudian menganalisis data secara induktif. Setiap tindakan, jawaban dan perilaku informan baik dari kalangan pembuat kebijakan beserta unsur-unsur yang terkait maupun khususnya para siswa sebagai orang yang menjalankan/melakukan kebijakan, akan dideskripsikan secara sistematis sehingga diperoleh makna dari proses kegiatan, jawaban dan perilaku para aktor penelitian yang berkaitan dengan kebijakan tersebut.

Penelitian kualitatif memiliki pola tersendiri, yang menurut Spradley dalam HS. Hasibuan[83], cenderung pada: 1) berbentuk siklus yaitu prosesnya dilakukan berulang-ulang, 2) membuat catatan mengenai data, dan 3) menganalisis data yang dikumpulkan. Proses penelitian ini dilaksanakan dengan cara berulang-ulang ke lokasi penelitian dengan membuat catatan data dan informasi yang dilihat, didengar serta selanjutnya dianalisis.

Keterlibatan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai peneliti partisipan, sedangkan untuk menghayati sistem makna (meaning system) yang ada/terjadi di lapangan digunakan pengamatan berperan serta (participant observation) yakni suatu pengamatan yang peneliti sendiri terlibat di dalam kegiatan itu. Oleh karena itu, pada dasarnya keterlibatan peneliti untuk berperanserta dalam lokasi penelitian adalah agar dapat mengetahui dan mengambil makna dari kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja.

B. Langkah-langkah Penelitian

Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian. Yang mana langkah-langkah yang dimaksud disimpulkan dari prosedur penelitian menurut beberapa ahli seperti Spradley[84], Agustiar Syah Nur[85] Bogdan dan Biklen[86] dan Faisal[87], yaitu: 1) peneliti menentukan situasi sosial yang terjadi di lokasi penelitian yaitu di Kota Padang; 2) peneliti menentukan teknik yang tepat dalam mengumpulkan data penelitian; 3) peneliti melakukan observasi ke lapangan dengan melakukan pengamatan dan masuk dalam setting sosial; 4) peneliti menentukan teknik analisis data yang diperoleh dari hasil observasi; 5) kemudian temuan yang diperoleh selanjutnya dirumuskan sebelum akhirnya ditetapkan makna dari data yang diperoleh, dan 6) memvalidasi temuan penelitian; dan 7) selanjutnya peneliti membuat laporan hasil penelitian. Langkah-langkah tersebut akan dijelaskan berikut ini:

1. Menentukan Situasi Sosial

a. Situasi Sosial

Situasi sosial di Kota Padang dipilih dengan mempertimbangkan kriteria: 1) mudah mengamati kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja; 2) peneliti dapat memasuki lokasi dalam melakukan observasi dengan mudah tanpa ada hambatan baik dari pihak pemerintah maupun sekolah; 3) peneliti tidak akan mengganggu keseluruhan aktivitas pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan tidak pula mengganggu aktivitas proses pembelajaran para remaja (siswa) di sekolah, serta tidak mengganggu tugas kepala sekolah atau guru; 4) memperoleh izin secara lisan dan tertulis baik dari pemerintah Kota, Dinas Pendidikan, Departemen Agama dan dari sekolah yang dijadikan sebagai subjek penelitian di Kota Padang; 5) di dalam penelitian akan terjadi aktivitas peneliti secara berulang-ulang; dan 6) peneliti dapat berpartisipasi dalam kegiatan subjek di lokasi penelitian.

b. Subjek Penelitian

Yang dijadikan subjek penelitian di beberapa sekolah di Kota Padang adalah informan yang dapat memberikan informasi/data yang akurat dan terpercaya sesuai dengan kaitannya terhadap fokus penelitian. Penetapan kriteria informan dalam penelitian sesuai dengan pendapat Faisal[88] yaitu: 1) subjek telah cukup lama secara intensif menyatu dengan situasi sosial yang menjadi fokus penelitian, 2) subjek penelitian masih terlibat secara aktif dalam fokus penelitian, 3) subjek penelitian mempunyai kesempatan atau waktu dalam memberikan informasi penelitian, 4) subjek yang memberikan informasi diduga tidak cenderung mengolah informasi lebih dahulu, dan 5) subjek sebelumnya masih merasa asing dengan peneliti.

c. Penetapan Informan

Penetapan informan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik penetapan sampel secara snowball sampling. Teknik sampel ini menurut Lexy Moleong[89] sangat bermanfaat karena karena informasi semakin lama semakin banyak diperoleh. Selain itu menurut Agustiar Syah Nur[90] mengutip pendapat Lee “merupakan teknik terbaik, terutama dalam hal-hal penelitian dengan topik-topik yang sensitif dan atau populasi yang sulit dijangkau. Strategi dasar teknik snowball ini dimulai dengan menetapkan satu atau beberapa orang informan kunci (key informants) dan melakukan interviu terhadap mereka”. Dalam penelitian ini penulis meminta arahan, saran, dan petunjuk mengenai orang-orang yang akan dijadikan sebagai informan penelitian. Informan yang ditetapkan adalah orang dari berbagai instansi terkait yang benar-benar mengetahui permasalahan tentang kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja. Asal informan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.

Informan Penelitian

ASAL INFORMAN PENELITIAN

Pemerintah Kota

Dinas pendidikan

Sekolah

Nama Sekolah

Pihak yang terkait

1. Wali Kota/Wakil

2. Asisten II

3. Binsos

1. Kepala Dinas

2. Wakil Kepala Dinas

3. Kabag/Staf

1. SMK N 1

2. SMK N 2

3. SMK N 3

4. SMK N 5

5. SMK N 9

6. SMK Merdeka

7. SMK Nasional

8. SMK Kosgoro

9. SMK Muhammadiyah 1

10. MAN 2 Padang

1. Kepala Sekolah

2. Guru

3. Siswa

Jika dalam proses pengumpulan data mengenai kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja tidak muncul lagi atau tidak ditemukan variasi informasi yang signifikan maka penelitian tidak lagi melanjutkan mencari informasi baru, dengan arti kata penelitian akan dihentikan. Akan tetapi jika variasi informasi banyak ditemukan dari beberapa sumber maka informan penelitian dapat diperbanyak sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian jumlah informan bisa ditetapkan lebih banyak dari asal informan yang telah disebutkan di atas atau bahkan lebih sedikit jumlahnya. Penambahan atau pengurangan informan ditentukan oleh sumber informasi dan variasi informasi yang ditemukan.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang. Penetapan ini di dasarkan pada alasan bahwa, yang bersangkutan dipandang sebagai aktor yang terlibat langsung dalam menentukan pelaksanaan kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja. Perlu diketahui bahwa nama-nama yang dijadikan sebagai informan penelitian dalam penelitian ini sengaja disembunyikan dan diberi kode. Artinya, dengan sengaja peneliti memberi kode pada informan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk: 1) menjaga agar tetap terjadinya hubungan yang harmonis antara informan dengan aktor-aktor tertentu, 2) keamanan “pekerjaan” informan dari adanya ancaman-ancaman yang tidak diinginkan, 3) keamanan diri informan baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu kepada pembaca tesis ini diharapkan pengertiannya. Kode-kode yang dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3

Kode Informan Penelitian

No

Asal Informan

Kode

No

Asal Informan

Kode

1

Wali Kota

KW

6

Wakil Kepal Dinas

DKW

2

Wakil Wali Kota

KWW

7

Kabag/Staf

KS

3

Asisten 2

TS II

8

Kepala Sekolah

XKEP

4

Binsos

SNB

9

Guru

XG

5

Kepala Dinas

DIK

10

Siswa

XS

2. Teknik Pengumpulan data

Teknik yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian adalah:

a. Observasi: yaitu peneliti melakukan pengamatan langsung di lapangan mengenai kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja. Pendekatan observasi yang dilakukan peneliti adalah dengan teknik berperan serta (participant observation) dan tidak berperan serta. Makna dari observasi partisipan menurut Sanafiah Faisal,[91] yaitu peneliti hadir dalam suatu situasi dan berperanserta dengan orang-orang di dalam lokasi penelitian. Sedangkan observasi tidak berperan serta maksudnya peneliti hadir dalam situasi sosial akan tetapi hanya menyaksikan berbagai peristiwa atau melakukan tindakan secara fasif.

b. Wawancara: yaitu peneliti mengajukan beberapa pertanyaan baik yang berstruktur maupun yang tidak berstruktur kepada para aktor yang dijadikan sebagai informan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada aktor penelitian tersebut, sifatnya tidak menyinggung perasaan aktor yang dijadikan sebagai subjek penelitian. Menurut Merriam[92] wawancara adalah salah satu metode ysng memanfaatkan nalar manusia. Untuk itu tujuan wawancara ini adalah untuk mengetahui tentang apa saja yang ada dalam pikiran, perasaan, niat, perilaku, ataupun tanggapan para aktor/informan penelitian yang ada di Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja. Diharapkan melalui wawancara ini peneliti dapat memahami dan mengenal persfektif mereka. Namun demikian, dalam melakukan wawancara “sesekali peneliti akan menggunakan siasat untuk mengorek secara netral atau memberikan pertanyaan tindak lanjut,[93]” jika informan ragu-ragu dalam menjawab atau memberikan keterangan yang tidak lengkap. Tujuan utama mengorek keterangan dari responden menurut Bailey[94] (1978: 202) adalah untuk mendapatkan penjelasan tentang “perasaan yang paling dalam dan paling subjektif dari responden”. Dengan kata lain mengorek keterangan dilakukan untuk mendorong informan memberikan jawaban yang lebih lengkap, terstruktur, dan cermat.

c. Studi dokumen (document study): yaitu peneliti mengumpulkan informasi/data penelitian melalui dokumen yang berkaitan dengan fokus penelian. Menurut definisi dokumen sesunguhnya adalah “sumber data yang siap pakai”.[95]. Contoh-contoh dokumen yang dimaksud yaitu Surat Keterangan, dokumen pribadi, surat pribadi, buku-buku, laporan serta arsip-arsip lainnya.

Banyak peneliti kualitatif yang setuju bahwa ada kaitan yang sangat penting antara studi kasus kualitatif dengan kebutuhan data dokumen. Menurut Muhammad Sirozi[96] salah satu keterkaitan tersebut adalah untuk memampukan peneliti menggambarkan konteks kajiannya. Merriam[97] menyatakan data dokumen merupakan sumber yang bagus untuk studi kasus kualitatif karena mereka bias mengadakan penyelidikan dalam konteks masalah yang sedang diselidiki.

Setelah seluruh data yang diperoleh peneliti, dicatat dalam lembaran laporan informasi harian, lengkap dengan tempat dan tanggal informasi itu diperoleh serta sumber informasi. Kemudian data yang sifatnya primer berupa informasi lisan akan dicatat, sementara data yang diperoleh dari perilaku aktor akan dimaknai, ditafsirkan dan kemudian disimpulkan. Pada awalnya data yang diperoleh dari informan dideskripsikan sesuai dengan sudut pandang informan/ responsden (emic). Selanjutnya data tersebut dianalisis dari sudut pandang peneliti (etic).

Dalam menetapkan teknik pengambilan data penelitian peneliti memperhatikan pendapat Nasution dikutip HS. Hasibuan[98] yaitu: (1) manusia sebagai instrumen akan lebih peka dan lebih cepat dapat bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan yang diperkirakan bermakna ataupun kurang bermakna bagi penelitian. Peneliti sebagi instrumen lebih cepat bereaksi dan berintekrasi terhadap banyak faktor dalam situasi yang senantiasa berubah, (2) peneliti sebagai instrumen dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai situasi dan dapat mengumpulkan berbagai jenis data sekaligus, (3) setiap situasi adalah suatu keseluruhan dan peneliti sebagi instrumen dapat menangkap hampir keseluruhan serta dapat memahami seluk-beluk situasi, (4) suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami hanya dengan pengetahuan saja tetapi peneliti sering membutuhkan perasaan untuk menghayatinya, (5) peneliti sebagi instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh, sehingga langsung dapat menafsirkan maknanya untuk selanjutnya dapat segera menentukan arah observasi, (6) peneliti sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu waktu tertentu dan dapat segera mengumpulkannya sebagai balikan untuk memperoleh informasi baru, dan akhirnya, (7) peneliti sebagai instrumen dapat menerima dan mengelolah respons yang menyimpang, bahkan yang bertentangan untuk dipergunakan mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman aspek yang diteliti.

3. Melakukan Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan dengan dua tahap. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Agustiar Syah Nur[99] yang mengutip pendapat Spradley yaitu, (1) grand tour, dan (2) mini tour. Pada tahap grand tour, penelitian hanya berperan pasif terhadap situasi di lapangan. Peneliti hanya mengamati bagaimana peristiwa yang dilakukan oleh para aktor di lapangan. Proses ini dimaksudkan untuk mengenal keadaan sosial yang ada (natural setting).

Pada saat ini peneliti tidak memandang setiap aktor organisasi sebagai objek atau subjek dalam penelitian, tetapi menjadikannya seperti layaknya seorang teman. Peneliti tidak menyatakan dan menonjolkan diri sebagai peneliti agar tidak dicurigai atau dianggap “pengacau” sehingga dapat merusak maksud dan tujuan penelitian. Kemudian pada tahap mini tour setelah peneliti merasa akrab dengan para aktor penelitian dan tidak dicurigai lagi sebagai orang asing, barulah peneliti berperan aktif.

Observasi lapangan dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Faisal[100] terdiri dari: (1) tempat dan ruang apa saja yang ada di lapangan, (2) objek fisik apa saja yang ada di lapangan,(3) aktor peserta, siapa saja yang terlibat dalam kegiatan komunikasi untuk pelaksanaan tugas di lapangan, (4) tindakan apa saja yang dilakukan oleh para aktor (5) aktivitas apa saja yang dilakukan oleh para aktor, (6) seperangkat aktivitas apa dan di mana para aktor saling berhubungan, (7) waktu, kapankah tindakan dan peristiwa tersebut terjadi, (8) perasaan yang bagaimana yang diperlihatkan para aktor, dan (9) tujuan apa yang hendak di capai para aktor. Pada sisi keempat dan kelima ada kemiripan dalam penggunaan makna kalimat, akan tetapi hal tersebut pada hakikatnya masih bisa dibedakan yaitu; tindakan yang dilakukan para aktor dapat dipahami sebagai “hal-hal yang dilakukan sebagai respons atau feed back dari masalah, masalah atau tugas tugas yang mereka hadapi di lapangan”, sedangkan aktivitas adalah keseluruhan kegiatan rutin yang dilakukan oleh para aktor dalam melaksanakan tugas.

Setelah terbina keakraban dengan para aktor dengan lingkungan sosial dan keberadaan peneliti sudah dapat diterima tanpa rasa curiga (tidak asing) barulah peneliti mengambil peran aktif atau, melakukan observasi berperan serta dan observasi tidak berperan serta.

Selama di lapangan, peneliti akan memfokuskan diri dan memusatkan perhatian terhadap kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja yang terjadi di lapangan. Berdasarkan makna yang terkandung dalam perilaku maupun situasi yang sedang berlangsung di lapangan akan dapat disimpulkan tema perilakunya.

Observasi partisipan sebagai cara yang dipakai dalam penelitian ini alasannya adalah karena ada interaksi sosial yang terjadi secara intensif antara peneliti dengan para aktor-aktor di lapangan sebagai sebuah latar sosial.

C. Teknik Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman terjemah Rohidi[101], analisis data merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus, sehingga dapat mengembangkan metode-metode yang dapat dijabarkan lebih umum lagi. Selanjutnya Faisal[102] berpendapat bahwa analisis data juga dimaksudkan untuk menentukan bagian-bagian, hubungan antar bagian, dan hubungannya dengan keseluruhan. Data yang baru didapat terdiri dari catatan lapangan yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi dokumen pada pemerintah kota padang, dinas pendidikan dan sekolah, harus dianalisis agar diketahui maknanya dengan cara menyusun data, menghubungkan data, mereduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/ verivikasi data selama dan sesudah pengumpulan data.

Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangung secara sirkuler dan dilakukan sepanjang proses penelitian. Spradley[103] menjelaskan:” In order to discover the cultural pattern of any social stuation, you must undertake an intensive analysis of your data before proceeding further”. Untuk menemukan pola budaya dari berbagai situasi sosial, anda harus melakukan analisis data yang intensif dari data penelitian, sebelum proses penelitian dilanjutkan. Untuk itu sejak awal penelitian, peneliti sudah harus memulai pencarian arti, pola tingkah laku aktor, penjelasan-penjelasan, konfirmasi-konfirmasi yang mungkin terjadi, alur kausal dan mencatat keteraturan.

Sebagai seorang peneliti kualitatif, peneliti juga menyadari pentingnya dasar teoretis dalam mengumpulkan data, Bogdan dan Biklen[104] menjelaskan: “good researchers are aware of their theoretical base and use it to help collect and analyze data”. Artinya peneliti yang baik harus sadar dan ingat akan teori dasarnya menggunakan teori itu untuk membantu mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam hal ini teori dapat membantu para peneliti untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan analisis data kualitatif model interaktif dari Miles dan Huberman yang diterjemahkan oleh Rohidi[105] yang perosesnya terdiri dari: 1) reduksi data 2) penyajian data, dan 3) kesimpulan proses analisis data. Dan ini berlangsung secara sirkuler selama berlangsung penelitian dan kemudian dilakukan verifikasi dengan teknik trianggulasi.

Pada tahap awal pengumpulan data, fokus penelitian ini masih melebar dan belum tampak jelas karena observasi masih bersifat umum dan luas. Setelah fokus semakain jelas maka peneliti menggunakan obsevasi masih yang lebih terstruktur untuk mendapatkan data yang lebih spesifik.

Teknik Analisis Data


Gambar 1. Model Interaktif Miles dan Huberman dalam Rohidi (1992: 20)

a. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan sebanyak banyaknya, yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara kepada informan-informan yang telah ditetapkan dan studi dokumentasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja.

b. Reduksi Data

Setelah data penelitian yang diperlukan dikumpulkan, dan supaya data tidak bertumpuk-tumpuk dan memudahkan dalam mengelompokkan dan menyimpulkannya perlu dilakukan reduksi data. Moleong[106] mendefinisikan reduksi sebagai suatu proses memilih, memfokuskan kepada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah/kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Yang dimaksud reduksi data dalam penelitian ini adalah suatu bentuk analisis yang menajamkan, menonjolkan hal-hal yang penting, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak dibutuhkan, dan mengorganisasikan data agar lebih sistematis, sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan yang bermakna terhadap data yang ditemukan di lapangan. Data yang telah direduksi akan dapat memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan.

c. Penyajian Data

Menurut Miles dan Huberman, terjemah Rohidi[107] penyajian data adalah proses pemberian sekumpulan informasi yang sudah disusun yang memungkinkan untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data adalah gambaran secara keseluruhan dari sekelompok data yang diperoleh agar mudah dibaca secara menyeluruh.

d. Kesimpulan

Data awal yang berwujud kata-kata, tulisan dan tingkah laku sosial actor yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja, diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara serta studi dokumentasi. Kemudian diproses/dianalisis agar menjadi data yang disajikan untuk selanjutnya dibuat suatu kesimpulan. Kesimpulan pada awal masih longgar kemudian meningkat menadi lebih rinci dan mendalam dengan bertambahnya data dan

1. Merumuskan Temuan

Penelitian kualitatif berusaha mencari makna perilaku aktor dalam latar sosial yang diteliti. Oleh karena itu temuan-temuan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan/analisis data dirumuskan menjadi suatu tema umum. Berdasarkan tema umum ini, kemudian dijabarkan temuan khusus yang memiliki tema tersendiri dari hasil penelitian.

  1. Membuat Laporan Hasil Penelitian

Laporan hasil penelitian disusun sesuai format laporan penelitian tesis. Secara keseluruhan penulisan laporan terdiri dari 5 bab. Bab pertama berisikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, definisi operasional, kajian yang relevan, dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua berisikan kajian teoritis yang membahas mengenai Pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja dan perilaku beragama siswa.

Bab ketiga membahas metodologi penelitian yang mencakup; menentukan situasi sosial, melakukan observasi dilapangan, menentukan teknik pengumpulan data, menentukan teknik analisis data, merumuskan temuan, membuat laporan hasil penelitian dan teknik pencermatan kesahihan data penelitian.

Bab keempat temuan penelitian yang mengungkapkan temuan umum dan temuan khusus. Temuan umum tentang Kota Padang dan Sejarahnya sedangkan temuan khusus terdiri dari kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan Pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja, respon pihak sekolah terhadap kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pelaksanaan Pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja, dan implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama siswa.

Bab kelima merupakan bagian akhir dari pembahasan yang terdiri dari kesimpulan, implikasi, dan saran-saran.

D. Teknik Pencermatan Kesahihan Data Penelitian

Data penelitian harus diterima untuk mendukung kesimpulan penelitian. Oleh karena itu perlu digunakan standar dalam keabsahan data sebagaimana yang disarankan oleh Guba dan Lincoln[108] yang terdiri dari: 1) keterpercayaan (credibility), 2) dapat ditransfer (transferability), 3) dapat dipegang kebenarannya (dependability), dan 4) dapat dikonfirmasikan (confirmability).

1. Keterpercayaan (credibility)

Keterpercayaan dapat dicapai dengan cara-cara yang dikatakan oleh Guba dan Lincoln[109] yang terdiri dari:

a. Keterikatan yang lama (prolonged engagement).

Artinya ada sebuah keterikatan dalam pengambilan data dan informasi yang terus berlangsung antara peneliti dengan yang diteliti mengenai kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja. Keterikatan dalam situasi yang ada di lapangan itu dimaksudkan tidak tergesa-gesa sehingga pengumpulan data dan informasi tentang kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja dapat diperoleh dengan selengkapnya.

b. Ketekunan pengamatan (persistent observation)

Artinya dalam mengumpulkan data tentang proses komunikasi dari para aktor penelitian, peneliti akan mengadakan pengamatan dengan teliti, rinci dan secara berkesinambungan terhadap seluruh kegiatan dan perilaku-perilaku aktor yang sedang berlangsung.

c. Melakukan triangulasi (triangulation)

Yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa sumber diperiksa silang antara data wawancara dengan data pengamatan dan dokumen. Wawancara dan cek kebenaran data yang diperoleh dari seorang informan akan dicek kebenarannya kepada orang lain yang berkompeten, dan jika memungkinkan dan diperlukan akan dicek juga melalui dokumen yang ada.

d. Mendiskusikan dengan teman sejawat.

Data yang diperoleh dari satu sumber dapat diperiksa dan didiskusikan dengan teman sejawat, misalnya dengan rekan mahasiswa atau rekan yang akrab dengan peneliti dilokasi penelitian yang mengetahui dan memahami data atau informasi yang diperoleh. Peranan teman sejawat dalam diskusi dan pemeriksaan data adalah sebagai pengkritik yang tajam yang memberikan masukan-masukan dan perbaikan yang konstruktif terhadap hasil penelitian. Diskusi ini dilakukan: (1) ketika peneliti kurang memahami makna yang jelas dari situasi sosial yang berlangsung dan informasi-informasi yang diperoleh, dan (2) untuk memeriksa hasil-hasil penelitian yang akan ditulis oleh peneliti dalam laporan penelitian.

e. Analisis dalam kasus negatif (negative case analysis)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan contoh dan kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding dalam penelitian. Kasus-kasus negatif yang diperoleh digunakan untuk menjelaskan hipotesis kerja alternatif seagai upaya untuk memperkuat argumentasi penemuan, dan

f. Pengujian.

Pengujian referensi terhadap data temuan dan interpretasi. Laporan penelitian dalam hal ini selanjutnya dapat diperiksa oleh rekan-rekan sejawat, dikonsultasikan dengan pembimbing dan diseminarkan dengan para penguji tesis.

2. Dapat ditransfer (transferability)

Yaitu pembaca laporan penelitian ini diharapkan mendapat gambaran yang jelas mengenai kebijakan pemerintah Kota Padang tentang pesantren Ramadhan dan Wirid Remaja serta implikasinya terhadap peningkatan perilaku beragama remaja. Selain itu hasil penelitian ini dapat diaplikasikan atau diberlakukan kepada konteks atau situasi lain yang sejenis dengan cara, peneliti akan memberikan salinan dari hasil penelitian ini kepada pemerintah Kota Padang, Dinas Pendidikan dan kepada beberapa sekolah terkait.

3. Dapat diandalkan (Dependability)

Data penelitian harus dapat diandalkan. Artinya peneliti akan mengusahakan konsistensi keseluruhan proses penelitian agar memenuhi persyaratan yang berlaku. Agar hasil penelitian ini dapat dapat diandalkan atau dapat dijadikan bahan kajian/referensi maka peneliti dalam meneliti dan membuat laporan penelitian secara cermat, teliti dan diperiksa oleh berbagai pihak sehingga tidak membuat kesalahan dalam konseptualisasi, pengumpulan data, menginterpretasikan dan melaporkan hasil penelitian.

4. Dapat dikonfirmasikan (confirmability)

Artinya hasil penelitian harus dapat diakui oleh orang banyak (objektif). Caranya adalah data yang diperoleh ditanyakan kembali kebenarannya kepada berbagai sumber secara berulang-ulang. Berkaitan dengan kualitas hasil penelitian, data penelitian dan interpretasi data didukung oleh kesahihan data, metodologi, dan bahan pendukung lainnya yang sesuai.

DAFTAR RUJUKAN

A. Malik Fajar, Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991)

A.A.Al-Qoussy, ‘Ilm al-Nafs al-‘Am: Ususuh wa Tatbiqatuh, (Kairo: Dar al-Nahdah Al-Misriyah, 1952)

Abraham Maslow, Motivasi dan Kepribadian, (Jakarta: LLPM dan PT Pustaka Binaman Pressiud, 1977)

Abu Ahmadi, Psiklogi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998)

Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Gramedia, 2001)

Agustiar Syah Nur, Qualitative Research Methodology, (Padang: Program Pascasarjana UNP, 2006)

Ahmad Mubarak, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)

Al-Din Ali Mahmud al Baghdady, Tafsir Khazin Musamma Lubab al Ta’wil fi Ma’ani al Tanzi, (Bairut: dar al-Fikri, tt)

Ali Umar, Remaja, (Internet: Remaja, (Internet: Http//Amr. Com/id/indek.php? page=comment&art id=932page=3, tgl 18 Februari 2009: Makalah, 2008)

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Azwar Siry, 30 Tahun Kota Padang; Kepemimpinan Fauzi Bahar dan Yusman Kasim, (Padang: Bakominfo Kota Padang, 2007)

Bandingkan dengan Andi Mappiiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)

Daniel Goleman, Emosional Inttellegence (kecerdasan Emosional), (Jakarta: Gramedia, 199)

Departemen Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, 2006)

Depi Desmal, Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Pendidikan Islam; Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah dan Pembaharuan Pasca Orde Baru, (Padang: Tesis, 2005)

Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashoro Suroso, Psikologi Islam Solusi Atas Problem-Problem Psikologi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

Elfianti Umar, Korelasi Antara Pendidikan dan Pekerjaan Orang Tua dengan Perilaku Agama Sisswa SMUN I Lubuk Alung, (Padang: Tesis Porgram Pascasarjana, 2004)

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Pekembangan, (Jakarta: Erlangga, Tt)

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Penerbit Erlanggga, 1990)

Firman MS, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Padang: Makalah UNP, (Padang: Pascasarjana UNP, 2004)

Guba, E. G dan Lincoln, Y. Naturalistic Inquiry (New York: Sage Publication, Inc, 1985)

Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: al-Husna, 1992)

Henri Surya Hasibuan, Antara Konsep Pendidikan berbasis Masyarakat dengan Pesantren, (Padang: Kamus, 2008)

HS. Hasibuan, Proses Komunikasi Atasan dan Bawahan dalam Pelaksanaan Tugas di STIT YAPTIP Pasaman Barat, (Padang: Tesis Program Pascasarjana UNP 2008)

http//Islamlib. Com/id/index/.php?page=comment&art id=827page=1 data diakses Rabu tanggal 23 Mei 2007

Imran Herman, Tingkah Laku Lepak Dikalangan Remaja Luar Bandar, (Kuala Lumpur: True Times Sdn. Bhd, 1995)

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, tt)

J. Coleman and Broen, W, Abnormal Psychologi and Modern Life, (London: Scott Foresman and Co, 1972)

J. H McMillan, & S. Schumacher, Research in Education: A Conceptual Introduction (2nd Ed). (Scott, Foresman: Glenview, 1989)

James Drever, Kamus Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988)

James P. Spradley, Participant Observation (New York: Holt Rinehart and Wiston, Inc, 1980)

K.D. Bailey, Methods of Social Research, (London: The Free Press, 1978), h. 198

Kelompok Peneliti Fak.Ushuluddin, Partisipasi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Wirid Remaja di Kota Padang, (Padang: Puslit IAIN Imam Bonjol Padang, 2005)

L. Cohen & L. Manion, Research Methods in Education (4th ed.), (London & New York: Routhledge, 1994)

Lexy. J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007)

Lustin Pikunas, Human Depelopment, (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd, 1976)

M. Kasir Ibrahim, Kamus lengkap Modern Inggris-Indonesia, (Surabaya: Anugrah, 1991)

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Volume 5

M. Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UUSPN No.2/1989, (Jakarta: INIS, 2004)

M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005)

M.B. Miles and A.M. Huberman, (1984) Terjemah: Rohidi, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992)

Muangman, D. Adolescent Fertility Study in Thailand, (Bangkok: ICARP Search, 1980)

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995)

Nancy J. Cobb, Adolescence. (California: Mayfield Publishing Company, 1992)

Panitia Istilah Manejemen Lembaga PPM, Kamus Istilah Manejemen, (Jakarta: BalaiPustaka, 1983)

Parsudi Suparlan, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Siologis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993)

Pemerintah Kota Padang, Buku Panduan Pelaksanaan Pesantren Ramadhan, Didikan Subuh, dan Wirid Remaja, (Padang: Pemerintah Kota Padang, 2005)

Pemko Padang, Panduan Pelaksanaan Pesantren Ramadhan, Didikan Subuh, dan Wirid Remaja, 2005

Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991)

Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, dalam Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994)

Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian, (Jakarta: STIA–LAN, 1999)

R. Bogdan and S.H. Biklen, Qualitative Research for Educational: An Introduction to the Theory and Methods, (Boston: Allyn and Bacon, 1985)

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)

Ramayulis, Psiklogi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004)

Rita, L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, tt)

S. Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005)

S.B. Merriam, Case Study Research in Education: a Qualitative Approach, (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1988)

Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999)

Sam M. Chan, Kebijakan Pendidikan Era Otnomi Daerah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)

Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aflikasi (Malang: Yayasan Asah Asih Asuh, 1990).

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta:: Raja Grafindo Persada, 2002)

Sermal, Proses Komunikasi Atasan dan Staf dalam Pelaksanaan Tugas di STIT YAPTIP Pasaman Barat IAIN Imam Bonjol Padang, (Padang: Tesis Program Pascasarjana UNP, 2002)

Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam Pembahasan Ilmu dan Filsafat Tengatang Fiqh Ahklaq, Bidang-Bidang Kebudayaan Masyarakat dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)

Siknner, B.F, Science and Human Behavior, (London: Collier-Macmillan, 1953)

Sirajuddin Zar, Kebijakan Pemerintah Orde Baru Tentang Islam, (Padang: IAIN Press, 2001)

Soemarsono Soedarsono, Charakter Building, (Jakarta: PT Gramedia, 2004)

Sri Wahyuni, Remaja Harapan dan Tantangannya, (Internet: Http//orgs. com/id/indeks.php? page=comment&art id=876=5, tgl 11 Februari 2009: Makalah, 2007), h. 1 Makalah, 2007)

Sumadi Suryo Broto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rake Press, 1984)

Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)

Surat Wali Kota Padang, No. 451.66/Binsos/2007 tanggal 16 Januari 2007

Syahminan Zaini, Hakekat Agama dalam Kehidupan Manusia, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992)

Syamsu Yusuf LN. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2004)

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)

Tamin Ritonga, Proses Belajar Mengajar di Pesantren Darussalam; Studi Kualitatif di Kelurahan Parmeraan, Kec. Dolok Kab Tapanuli Selatan, (Padang, Tesis Pascasarjana UNP, 2004)

Tamin Ritonga, Proses Pembelajaran di Pesantren Darussalam; Studi Kualitatif di Kelurahan Parmeraan Kec. Dolok Kab Tapanuli Selatan, (Padang: Tesis Pascasarjana UNP, 2004)

Team Ayahbunda, Kesehatan dan Perilaku Anak Usia Sekolah, (Jakarat: Yayasan Aspirasi Pemuda, 1998)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)

Tim penyusun, Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet, Ke-3

Tim Penyusun, Psikologi Umum, (Jakarta: Gramedia Utama, 1997)

Tim Perumus, Buku Panduan Pelaksanaan Pesantren Ramadhan, Didikan Subuh dan Wirid Remaja, (Padang: Pemko Padang, 2005)

Tim Perumus, Buku Panduan Pelaksanaan Ramadhan, Didikan Subuh dan Wirid Remaja, (Padang: Pemko Padang, 2005)

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)

Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003)

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika Offfset, 2003)

Wahjoetomo, Perguruan tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta, Gema Insani Press.1997)

WP. Napitupulu, Guru dan Mutu Pendidikan, (Bali: Makalah Lokakarya, 17-21 Juni 2002)

Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984)

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1976)

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantern Studi Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1986)

Zulkarnaini, dkk, Dampak Wirid Remaja Terhadap Perbaikan Perilaku Ubudiyah dan Sosial Generasi Muda di Kota Padang, (Padang: Puslit IAIN IB Padang, 2007)



[1]Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Lihat: Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 3

[2]Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ibid., h. 7-8

[3]Pesantren menurut Sudjoko Prosodjo adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal dimana seorang kyai atau ustadz mengajarkan ilmuy agama islam kepada santri bewrdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok dan asrama dalam pesantren tersebut. Lihat Tamin Ritonga, Proses Pembelajaran di Pesantren Darussalam; Studi Kualitatif di Kelurahan Parmeraan Kec. Dolok Kab Tapanuli Selatan, (Padang: Tesis Pascasarjana UNP, 2004), h. 10

[4]Ramadhan adalah salah satu dari nama bulan hijriyah, dimana umat Islam pada waktu itu melaksanakan puasa selama satu bulan penuh

[5]Menurut E. B. Tylor, budaya atau kebudayaan yang dimaksud disini adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Lihat Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam Pembahasan Ilmu dan Filsafat Tengatang Fiqh Ahklaq, Bidang-Bidang Kebudayaan Masyarakat dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 163

[6]Secara khusus pengembangan dari nilai-nilai yang dimaksud tersebut dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI, Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar kompetensi lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dinyatakan bahwa standar kompetensi yang mesti diperoleh oleh anak untuk pelajaran agama adalah: 1) menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan anak, 2) menunjukkan sikap jujur dan adil, 3) mengenal keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya, 4) berkomunikasi secara santun yang mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, 5) menunjukkan kebiasaan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang sesuai dengan tuntunan agamanya, dan 6) menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap sesama manusia dan lingkungan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Lihat: Departemen Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, 2006), h. 9

[7]Henri Surya Hasibuan, Antara Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat dengan Pesantren, (Padang: Kamus, 2008), h. 6

[8]Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekompleks sekarang. Pada masa awal, pesantren hanyan berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Lihat: Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta, Gema Insani Press.1997.) h. 70

[9]Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantern Studi Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES,1986), h. 18

[10]Tradisi untuk mendalami agama dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, ketaatan dalam menjalankan ibadah, akhlak yang mulia, kemandirian, kesabaran, kesederhanaan, adalah nilai-nilai pendidikan yang jelas masih dapat dijumpai di pesantren dan sulit dijumpai di sekolah pada umumnya. Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Gramedia, 2001), h. 255.

[11]Tim Perumus, Buku Panduan Pelaksanaan Pesantren Ramadhan, Didikan Subuh dan Wirid Remaja, (Padang: Pemko Padang, 2005), h. 6-7.

[12]Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, tt), h. 548

[13]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 1012

[14]Ali Umar, Remaja, (Internet: Http//Amr. Com/id/indek.php? page=comment&art id=932page=3, tgl 18 Februari 2009: Makalah, 2008), h. 1

[15]Rita, L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, tt) h. 135-136

[16]Syamsu Yusuf LN. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2004), h. 184.

[17]Muangman, D. Adolescent Fertility Study in Thailand, (Bangkok: ICARP Search, 1980), h. 27

[18]Sri Wahyuni, Remaja Harapan dan Tantangannya, (Internet: Http//orgs. com/id/indeks.php? page=comment&art id=876=5, tgl 11 Februari 2009: Makalah, 2007), h. 1

[19]Tim Perumus, Buku Panduan Pelaksanaan Ramadhan, Didikan Subuh dan Wirid Remaja, (Padang: Pemko Padang, 2005), h. 5

[20]Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), h. 1139

[21]Imran Herman, Tingkah Laku Lepak Dikalangan Remaja Luar Bandar, (Kuala Lumpur: True Times Sdn. Bhd, 1995), h. 3

[22]Rita, L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi, Op.Cit., h. 8

[23]Ahmad Mubarak, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 43

[24]Menurut Skinner agama dan berbagai aspek tingkah laku dapat diterangkan menurut faktor-faktor lingkungan. Siknner, B.F, Science and Human Behavior, (London: Collier-Macmillan, 1953), h. 9

[25]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit., h. 671

[26]Tim Penyusun, Psikologi Umum, (Jakarta: Gramedia Utama, 1997), h. 21

[27]Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: al-Husna, 1992), h. 426

[28]Ibid, h. 69

[29]Lihat: Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 51

[30]Oleh Soemarsono Soedarsono perilaku seseorang diperoleh dari dua sisi yaitu sisi yang di dapat dari faktor genetik dan sisi yang di dapat dari pengalaman hidup atau hasil pendidikan yang diperleh. Lihat Soemarsono Soedarsono, Charakter Building, (Jakarta: PT Gramedia, 2004), h. 50.

[31]Elfianti Umar, Korelasi antara Pendidikan dan Pekerjaan Orang Tua dengan Perilaku Agama Siswa SMUN I Lubuk Alung, (Padang: Tesis Porgram Pascasarjana, 2004), h. 23

[32]Hal ini sesuai dengan pendapat Sarlito Wirawan Sarwono yang menyatakan bahwa tiap-tiap tingkah laku manusia selalu mengarah pada satu tujuan tertentu. Lihat Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 30

[33]Berasal dari kata Sansekerta yang terdiri dari a = tidak dan gam = pergi. Jadi agama artinya tidak pergi, tetap dan diwarisi. A. Malik Fajar, Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), h. 12

[34]Kelompok Peneliti Fak.Ushuluddin, Partisipasi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Wirid Remaja di Kota Padang, (Padang: Puslit IAIN Imam Bonjol Padang, 2005), h. 10

[35]Parsudi Suparlan, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Siologis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. vi

[36]Max Miller merumuskan agama sebagai masalah yang gaib, ada hubungan yang baik dengan dengan kekuatan gaib tersebut, respon emosional dari manusia, baik respon dalam bentuk rasa takut atau pearasaan cinta., agama juga berkaitan dengan adanya yang dianggap suci, seperti kitab suci dan tempat suci. Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 14. Durkheim memangdang agama sebagai alam gaib yang tidak dapat diketahui dantidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Artinya Durkheim menganggap bahwa agama tidak dapat dirasionalkan, karena sangat bersifat supernatural. Lihat: Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 52. Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddiqi agama merupakan Undang-undang yang berasal dari Allah untuk menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia di alam dunia untuk mencapai kejayaan hidup di dunia dan kesentosaan di akhirat. Lihat: Syahminan Zaini, Hakekat Agama dalam Kehidupan Manusia, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992), h. 21

[37]Syamsu Yusuf LN. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Op.Cit., h. 205

[38]Abu Ahmadi, Psiklogi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 108

[39]Ibid.

[40]Ramayulis, Psiklogi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 47

[41]Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashoro Suroso, Psikologi Islam Solusi Atas Problem-Problem Psikologi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 71

[42]Ibid, h. 98

[43]Pertumbuhan dan perkembangan yang begitu pesat menurut Elizabeth B. Hurlock disebabkan karena sudah berfungsinya beberapa kelenjar yang ada pada diri manusia, sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tubuh sangat pesat. Salah satunya kelenjar pituitary, yang berfungsi mengeluarkan dua hormone, yakni hormone pertumbuhan yang berpengaruh dalam menentukan besarnya individu dan hormone gonadotropik yang merangsang gonad untuk meningkatkan kegiatan. Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Penerbit Erlanggga, 1990), h. 186

[44]Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 81

[45]S. Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 190-192

[46]Team Ayahbunda, Kesehatan dan Perilaku Anak Usia Sekolah, (Jakarat: Yayasan Aspirasi Pemuda, 1998), h. 22

[47]Ibid.

[48]Ibid.

[49]Lihat Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Op.Cit., h. 190, Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Op.Cit., h. 79-80, dan lihat juga Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta:: Raja grafindo Persada, 2002), h. 56

[50]Mansur Ali Nashif, Al-Ta’ajul Jaami’lil Ushuul Fi’i Ahaadiitsir- Rasul, (Kairo: Darul Fikr, Vol II, 1975), h. 268.

[51]Ibid.

[52]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 164

[53]Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Pekembangan, (Jakarta: Erlangga, Tt), h. 10

[54]Erikson meyakini bahwa perkembangan identity pada masa remaja berkaitan dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan peran-peran masa dewasa dan system keyakinan pribadi. Lihat Nancy J. Cobb, Adolescence. (California: Mayfield Publishing Company, 1992) h. 75

[55]Bandingkan dengan Lustin Pikunas, Human Depelopment, (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd, 1976), h. 257-259

[56]Sumadi Suryo Broto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rake Press, 1984), h. 132

[57]Ibid, h. 130

[58]Dimaknai oleh Daniel Goleman sebagai suatu perasaan dan fikiran, suatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Daniel Goleman, Emosional Inttellegence (kecerdasan Emosional), (Jakarta: Gramedia, 199), h. 411. oleh James Drever emosi diartikan sebagai keadaan yang kompleks dari organisme yang menyangkut perubahan jasmani yang luas sifatnya dalam bentuk pernafasan, denyut jantung, sekresi kelenjar dan lain-lain. Dan pada sisi kejiwaan suatu keadaan terangsang atau pertubusi (gusar atau terganggu), ditandai oleh perasaan yang kuat dan biasanya suatu dorongan ke arah suatu bentuk tingkah-laku tertentu. Lihat: James Drever, Kamus Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 133

[59]Bandingkan dengan Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 60

[60]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 210

[61]Coleman menenentukan tingkah-laku tidak normal yang biasa dilakukan oleh remaja, yang tidak hanya terbatas pada penyakit-penyakit psikologis dan penyakit-penyakit syaraf tetapi meliputi jenis-jenis penyelewengan yang lain seperti ketagihan minuman keras dan candu, tingkahlaku tidak bermoral, fanatik membabi buta. Lihat J. Coleman and Broen, W., Abnormal Psychologi and Modern Life, (London: Scott Foresman and Co, 1972), h. 17

[62]Desmita, Op.Cit.

[63]Andi Mappiiare, Psikologi Remaja, Op.Cit., h. 59

[64]Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1976), h. 52-53

[65]Zulkarnaini, dkk, Dampak Wirid Remaja Terhadap Perbaikan Perilaku Ubudiyah dan Sosial Generasi Muda di Kota Padang, (Padang: Puslit IAIN IB Padang, 2007), h. 17-19

[66]Moral merupakan bagian yang sangat penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Di sisi lain tiadanya moral seringkali dituding sebagai faktor meningkatnya kenakalan remaja. Untuk remaja moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri, karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri.

[67]Adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara yang relative tetap terhadap objek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), h. 135

[68]Ramayulis mengutip pendapat Crow and Crow memberikan batasan minat yaitu kekuatan pendorong yang menyebabkan individu memberikan perhatian kepada seseorang, sesuatu, atau kepada aktivitas-aktivitas tertentu. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 175

[69]Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 157

[70]Berkaitan dengan pengaruh lingkungan ini, dalam hadisnya Rasulullah SAW., bersabda “Setiap anak tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, nasrani, Majusi atau Musyrik”. (HR Bukhari dan Muslim). Lihat Al-Din Ali Mahmud al Baghdady, Tafsir Khazin Musamma Lubab al Ta’wil fi Ma’ani al Tanzi; (Bairut: dar al-Fikri, tt), h. 434

[71]Keterangan selanjutnya tentang teori kebutuhan Maslow ini dapat dibaca dalam bukunya yang berjudul Motivasi dan kepribadian, (Jakarta: LLPM dan PT Pustaka Binaman Pressiud, 1977)

[72]Pentingnya seseorang berpegang teguh pada falsafah agama, sosial, atau moral supaya a dapat merasakan kebahagiaan, dan orang yang bahagia adalah orang yang betul-betul bahagia adalah yang memiliki pribadi yang kuat yang selalu berusaha mengejar tujuan yang mulia dan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya tidak bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan. A.A.Al-Qoussy, ‘Ilm al-Nafs al-‘Am: Ususuh wa Tatbiqatuh, (Kairo: Dar al-Nahdah Al-Misriyah, 1952), h. 294

[73]Ramayulis, Psikologi Agama, Op.Cit., h. 46-47

[74]J. H McMillan, & S. Schumacher, Research in Education: A Conceptual Introduction (2nd Ed). (Scott, Foresman: Glenview, 1989), III, h. 8

[75] L. Cohen & L. Manion, Research Methods in Education (4th ed.), (London & New York: Routhledge, 1994), h. 4

[76]J. H McMillan, & S. Schumacher, Loc.Cit.

[77]Tamin Ritonga, Proses Belajar Mengajar di Pesantren Darussalam; Studi Kualitatif di Kelurahan Parmeraan, Kec. Dolok Kab Tapanuli Selatan, (Padang, Tesis Pascasarjana UNP, 2004), h. 21

[78]Firman MS, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Padang: Makalah Pascasarjana UNP, 2004), h. 4

[79]Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian, (Jakarta: STIA–LAN, 1999), h. 78

[80]Miles, M.B. and Huberman, A.M. (1984) Terjemah : Rohidi, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992), h. 156

[81]Sermal, Proses Komunikasi Atasan dan Staf dalam Pelaksanaan Tugas di Fak. “X” IAIN Imam Bonjol Padang, (Padang: Tesis Program Pascasarjana UNP, 2002), h. 31

[82]Ibid.

[83]HS. Hasibuan, Proses Komunikasi Atasan dan Bawahan dalam Pelaksanaan Tugas di STIT YAPTIP Pasaman Barat, (Padang: Tesis Program Pascasarjana UNP 2008), h. 66-67

[84]James P. Spradley, Participant Observation (New York: Holt Rinehart and Wiston, Inc, 1980)

[85]Agustiar Syah Nur, Qualitative Research Methodology, (Padang: Program Pascasarjana UNP, 2006)

[86]R. Bogdan and S.H. Biklen, Qualitative Research for Educational: An Introduction to the Theory and Methods, ( Boston: Allyn and Bacon, 1985)

[87]Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aflikasi (Malang: Yayasan Asah Asih Asuh, 1990)

[88]Ibid., h. 58

[89]Lexy. J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 224

[90]Agustiar Syah Nur, Qualitative Research Methodology, (Padang: Program Pascasarjana UNP, 2006), h. 5

[91]Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aflikasi (Malang: Yayasan Asah Asih Asuh, 1990). H. 78

[92]S.B. Merriam, Case Study Research in Education: a Qualitative Approach, (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1988), h. 3

[93]K.D. Bailey, Methods of Social Research,( London: The Free Press, 1978), h. 198

[94]Ibid., h. 202

[95]S.B. Merriam, Case Study Research in Education: a Qualitative Approach, Op.Cit., h.108-109

[96]M. Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2004), h. 99

[97]S.B. Merriam, Case Study Research in Education: a Qualitative Approach, Op.Cit.

[98]HS. Hasibuan, Proses Komunikasi Atasan dan Bawahan dalam Pelaksanaan Tugas di STIT YAPTIP Pasaman Barat, Op.Cit., h. 74

[99]Agustiar Syah Nur, Qualitative Research Methodology, Op.Cit., h. 10

[100]Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aflikasi, Op.Cit., h. 78

[101]M.B. Miles and A.M. Huberman, (1984) Terjemah: Rohidi, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992), h. 20-21

[102]Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aflikasi, Op.Cit., h. 88

[103]James P. Spradley, Participant Observation, Op.Cit., h. 85

[104]R. Bogdan and S.H. Biklen, Qualitative Research for Educational: An Introduction to the Theory and Methods, Op.Cit., h. 30

[105]M.B. Miles and A.M. Huberman, (1984) Terjemah: Rohidi, Analisis Data Kualitatif, Op.Cit., h. 20

[106]Lexy. J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 288

[107]M.B. Miles and A.M. Huberman, (1984) Terjemah: Rohidi, Analisis Data Kualitatif, Op.Cit.

[108]Guba, E. G dan Lincoln, Y. Naturalistic Inquiry (New York: Sage Publication, Inc, 1985), h. 307

[109]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar