Selasa, 09 Juni 2009

ABUDDIN NATA
DAN PEMIKIRANNNYA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

A. Biografi Abuddin Nata
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., lahir di Bogor pada tanggal 2 Agustus 1954. Sekolah pada Madrasah Ibtidaiyah Wajib Belajar di Nagrog, Ciampen Bogor pada tahun 1968. Kemudian setelah tamat Ibtidaiyah ia melanjutkan pendidikannya pada sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun. Sambil bersekolah dia tinggal dan menginap (mondok) di Pondok Pesantren Nurul Ummah dan tamat tahun 1972. Tak puas hanya sampai disitu saja, Abuddin Nata melanjutkan pendidikannya pada sekolah Pendidikan Guru Agama tingkat Atas (PGAA) 6 tahun. Seperti sebelumnya, kali ini dia mondok di pesantren Jauharatun Naqiyah, Cibeber Cilegon Serang Jawa Barat, dan tamat tahun 1974.
Setelah itu ia memperoleh gelar Sarjana Muda (BA) pada tahun 1979, dan Sarjana Lengkap (baca: Drs) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang bernama Universitas Islam Negeri Jakarta), dan tamat tahun 1981. Gelar Magister bidang Studi Islam diperolehnya tahun 1991, sedangkan gelar Doktor bidang Studi Islam diperoleh pada tahun 1997 masing-masing dari Fakultas Fascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan disertasi berjudul Konsep Pendidikan Ibn Sina. Pada tahun 1999 sampai dengan awal tahun 2000 berkesempatan mengikuti Visiting Post Doctorate Program di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal Canada atas biaya Canadian International Development Agency (CIDA), dengan fokus kajian pada Pemikiran Pendidikan Imam al-Ghazali.
Karir Abuddin dimulai sebagai tenaga peneliti lepas pada Lembaga Studi Pembangunan (LSP) di Jakarta tahun 1981-1982; pada tahun yang sama menjadi Direktur Koperasi Pelajar Kerja Sama Pemerintah Jepang dengan Indonesia pada Himpunan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (HP2M). Kemudian menjadi instruktur pada Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Quran (LBIQ) tahun Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 1982-1985; selain itu pernah menjadi pengisi acara obrolan ramadhan (Obor) pada Radio Mustang Jakarta, tahun 1992-1998. Setelah itu akhirnya ia bertugas sebagai dosen Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai tahun 1985 sampai dengan sekarang, dan sebagai dosen tidak tetap pada Fakultas Agama Universitas Muhammadiyah Jakarta, mulai tahun 1992 sampai sekarang. Pada tahun 1999 betugas pula sebagai dosen Fakultas Fascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai sekarang pada bidang mata kuliah Sejarah Sosial dan Filsafat Pendidikan Islam. Dan sekarang dia juga bertugas sebagai dosen tidak tetap pada Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. Sejak mahasiswa dia telah aktif menulis pada beberapa harian dan majalah diantaranya Harian Umum Merdeka, Harian Umum Pelita, Majalah Panji Masyarakat, majalah Mimbar Ulama, Majalah Nasihat Perkawinan, dan lain-lain. Sebagai dosen di perguruan tinggi Islam dia aktif dan sering diundang untuk memberikan ceramah agama pada Majis Ta’lim, mesjid dan memberi materi pada berbagai seminar dalam dan luar negeri. Sebagai penulis, ia tidak hanya menuangkan pemikirannya pada Harian dan Majalah saja akan tetapi dia termasuk penulis aktif dan produktif yang mengkaji tentang Agama Islam dan Pendidikan Islam.
Semasa mahasiswa ia tercatat sebagai aktivis mahasiswa baik di luar dan di dalam kampus. Di luar kampus dia diangkat sebagai Ketua Bidang II Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1978-1979), sedangkan dalam organisasi kampus termasuk Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, (1978-1980), Ketua Badan Pembinaan Kegiatan Mahasiswa (BPKM) (1979-1980), Anggota Majelis Pembinaan Kegiatan mahasiswa (MPKM), (1980-1981) masing-masing pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orsat Ciputat (1996-1997). Negara-negara yang pernah dikunjungi/disinggahi untuk studi ilmiah antara lain Saudi Arabia, Canada, Amerika Serikat, Alaska, Singapura, Thailand, Hongkong dan Malaysia. Jabatan yang pernah dipegang antara lain sebagai Ketua Jurusan Kependidikan Islam pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997-1998), Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (1998-1999), Pembantu Rektor II IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999-2002).

B. Karya-karya Abuddin Nata
Sebagai salah seorang pemikir, Abuddin Nata telah banyak menulis karya-karya ilmiah baik dalam bidang Studi Islam maupun Pendidikan Islam. Diantara karya-karya yang ditulis olehnya adalah: Sejarah Agama (1989), Ilmu Kalam (1989), AL-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah 1) (1994), Filsafat Pendidikan Islam, (1995), Akhlak Tasawuf (1996), Metodologi Studi Islam (1997), Tema-tema Pokok Al-Quran (Empat) Jilid (sebagai penulis dan editor), Modul Kapita Selekta Pendidikan Islam (1996), Modul Al-Quran dan Hadits (1996), Modul Program Pengalaman Lapangan (PPL) Bidang Pendidikan (1997), Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (2000), Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (2001), Persfektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali (2001), Buku-Buku Agama Islam untuk Sekolah Menengah Lanjutan Atas (1995), dan sejumlah entri untuk Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Indonesia dan Ensiklopedi Hukum Islam.
C. Pemikiran Abuddin Nata tentang Pendidikan Islam
1. Pemikiran Abuddin Nata tentang Metode Pendidikan
Metodologi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Dalam buku Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, metode berasal dari kata metodos (bahasa Yunani) yang berarti mengajar, menyelidiki, cara melakukan sesuatu, prosedur. Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-thariqah, manhaj, atau al-wasilah. Al-thariqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al-washilah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode adalah, “rencana menyeluruh yang berhubungan dengan penyajian pelajaran secara teratur dan tidak saling bertentangan”.
Dalam setiap kegiatan pembelajaran sangat penting artinya metode bagi guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Secara defenitif Abuddin Nata dalam beberapa bukunya tidak mengemukakan pengertian metode, namun makna metode dikemukakannya dalam kerangka penerapan yang praktis. Hal ini dapat diduga bahwa Abuddin Nata lebih memprioritaskan kajian-kajian sosio filosofis dan praktis daripada memberikan pengertian-pengertian yang terkait dalam istilah pendidikan. Menurut Abudin Nata, paling tidak ada tiga metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Pertama metode yang berpusat pada guru (teacher centris). Kedua metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, (student centris); dan ketiga, metode pembelajaran yang mencoba menggabungkan antara yang berpusat pada guru (teacher centris ) dan siswa (student centris).
a. Teacher centris
Metode pembelajaran yang berpusat pada guru menurut Abudin adalah sebuah metode yang menjadikan guru sebagai pemberi informasi, pembina, pengarah, dan satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Metode ini di dasarkan dari pemikiran tentang pentingnya pembelajaran yang bersifat memacu rasionalitas akademis yang lebih menekankan pada aspek pengetahuan semata, tanpa melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan dari beberbagai potensi atau kemampuan yang dimiliki siswa. Artinya terlihat bahwa guru lebih banyak berperan aktif dan lebih banyak mendominasi dalam mengatur, menentukan dan mengelola pendidikan --sesuai dengan pemahaman, pandangan, pendapat-pendapatnya saja--untuk menciptakan kemampuan berfikir secara rasional dengan menggunakan logika. Penekanan rasional akademis dalam kondisi yang demikian menurut Nata justru yang terjadi hanyalah pengajaran bukan pendidikan.
Nampaknya apa yang dikemukakan oleh Abuddin sudah menjadi polemik dalam sejarah pendidikan khususnya di Indonesia. Pendidikan yang lebih menekakankan pada aspek-aspek rasionalitas akan mengkerdilkan makna dari nilai-nilai yang terdapat pada pendidikan itu sendiri. Pengajaran hanyalah sebatas tugas dan kemampuan saja yang tidak didukung dengan kesadaran moral yang tinggi dalam pelaksanaan tugas. Hubungan antara guru dan siswa hanya akan berlangsung dalam ruang lingkup sekolah. Dalam pengajaran kesadaran kerja hanya ditentukan oleh nilai kerja itu sendiri, disiplin kerja dan aturan kerja yang berlaku. Guru yang mengajar adalah guru yang taat asas. Karenanya muridnya juga akan mengedepankan pada aspek rasionalitas an sich tanpa didukung oleh aspek moralitas.
Lebih lanjut Abuddin mengungkapkan bahwa akibat dari dari pola pengajaran teacher centris akan mudah sekali seorang guru terjebak ke dalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelasa. Ia sibuk sekali di dalam kelas tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang diperlihatkan siswa-siswanya. Kemudian menurut Abuddin jika pamer pengetahuan ini merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah suatu situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa; kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidak berdayaan mereka dalam menghadapi gurunya. Ironisnya masih ada guru dan dosen di masyarakat kita yang menikmati katakutan atau kebingungan para siswa dan mahasiswanya.
Ungkapan Abuddin yang menyatakan bahwa banyak guru dan dosen yang menikmati atau justru memanfaatkan ketakutan dan kebingungan mahasiswa menurut penulis didasarkan pada pengalamannya baik ketika menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi salah seorang dosen yang banyak menemukan kekeliruan diantara para sahabatnya sesama dosen. Nampaknya Abuddin menyatakan ketidak setujuannya pada metode teacher centris yang menekankan bahwa guru atau dosen adalah segala-galanya dalam proses pembelajaran. Secara tidak langsung Nata telah menyindir beberapa guru besar lainnya yang memperlakukan siswa atau mahasiswanya dalam sebuah kondisi pembelajaran yang sangat otoritarian . Fenomena inilah yang dimaksud oleh Abuddin sebagai tugas mengajar bukan mendidik. Oleh Paulo Freire pendidikan semacam ini disebut sebagai penindasan, dan diibaratkan sebagai kegiatan menabung.
“lebih buruk lagi murid diubahnya menjadi bejana-bejana, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh ia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid. Pendidikan karenanya menjadi kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, di hapal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan”.

Sebagai seorang mantan aktivis tulen yang kerap kali berbicara tentang demokrasi dalam pembelajaran, Abuddin Nata tidak setuju dengan adanya guru atau dosen yang “gila penghormatan” atau menjadikan situasi yang sangat tidak demokratis sebagai sebuah lambang keberhasilan, kebesaran nama dan tingginya pengetahuan dengan analogi semakin diam siswa atau mahasiswa, semakin banyak mereka mencatat, semakin takut mereka kepada guru atau dosennya maka dapat dikatakan semakin tinggilah wibawa dan pengetahuan guru atau dosen tersebut. Terlihat bahwa analogi dan fenomena semacam itu sangat ditentang oleh Abuddin. Untuk itulah Abuddin menyatakan bahwa guru atau dosen telah “membuat bingung siswa atau mahasiswanya, sesungguhnya mereka melakukan kesalahan pedagogis mengaburkan nilai pedagogis dan telah melakukan dosa pedagogis”. Sekali lagi menurut pendapat penulis, Abuddin telah berani membongkar akar-akar otoritarianisme, mengungkapkan dosa-dosa ilmiah yang ditimbulkan oleh adanya konsep teacher centris.

b. Student centris
Menurut Abuddin Nata seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa (student centris). Dalam konsep ini yang dianggap penting adalah bukan upaya guru dalam menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Untuk itu menurut Abuddin upaya yang harus dilakukan oleh guru adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa guru adalah salah satu unsur penyedia fasilitas untuk terjadinya proses pembelajaran. Lebih lanjut konsep belajar ini menurut Abuddin mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai salah satu faktor dominan dalam merencanakan kegiatan belajar-mengajar. Sebagai sebuah catatan metode ini akan dapat diperaktekkan terhadap siswa yang memiliki banyak sumber informasi dan fasilitas belajar yang memadai.
c. Teacher and Student centris
Pada metode pembelajaran teacher centris gurulah yang paling mendominasi berlangsungnya kegiatan pembelajaran, pada metode student centris justru sebaliknya, kegiatan belajar didominasi oleh siswa, sementara pada metode pembelajaran teacher dan student centris kegiatan belajar menurut Abuddin tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan murid secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar menurut Abuddin merupakan sebuah proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal-balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Pada situasi ini Abuddin berpendapat bahwa proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Selain itu dalam proses interaksi belajar mengajar dan target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya.
Meskipun diantara ketiga metode itu terlihat jelas nilai positif dan negatifnya, namun ternyata Abuddin Nata berpendapat bahwa diantara ketiga metode itu masih dapat diterapkan dalam masyarakat kita, hal ini dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi lingkungan sosial ekonomis di mana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Pikiran Abudin Nata menurut penulis di dasarkan pada pertimbangan tipikal masyarakat yang ada. Penentuan pilihan pada teacher centris menurut Abuddin Nata masih tepat jika dilakukan pada masyarakat agraris yang serba kurang informasi. Hal ini diduga bahwa gurulah yang lebih mudah mengakses dan mengetahui informasi-informasi baru. Sementara catatan Abuddin untuk pilihan student centris dapat dilakukan pada kondisi masyarakat yang modern yang ditandai oleh kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, dengan pola hidup yang cenderung liberal. Sementara pilihan ketiga cukup tepat dilakukan pada masyarakat yang masih dalam transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern sebagaimana yang terjadi di Indonesia, metode pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternatif pilihan yang paling pas.
2. Pemikiran Abuddin Nata tentang Kurikulum
Istilah “kurikulum” berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finis. Dalam pengertian yang sederhana kurikulum sering diartikan dengan sejumlah mata pelajaran atau bidang studi. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertian kurikulum tidak hanya terbatas pada pengertian sejumlah mata pelajaran atau bidang studi saja, melainkan termasuk pula kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa dalam rangka belajar.
Seyogyanya setiap kurikulum yang dibuat mestilah dapat menjangkau setiap kebutuhan-kebutuhan dalam komponen pendidikan. Kurikulum mestilah tanggap terhadap perubahan masa sekarang dan masa yang akan datang, visi yang dibuat adalah visi masa depan yang holistik dan antisipatif, menjangkau berbagai dimensi kehidupan dengan segala kemajuannya. Dengan demikian kurikulum tidak hanya kerangka pendidikan kekinian dan (meminjam istilah Yahya Jaya-) kedisinian, tetapi kurikulum adalah gambaran masa depan yang dipersiapkan sejak sekarang.
Seperti diketahui bahwa ada kecendrungan kurikulum di Indonesia sering berubah-ubah. Banyak orang yang menduga bahwa setiap pergantian pejabat pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan maka dengan sendirinya berubah pulalah kurikulum pendidikan. Ada beberapa kurikulum yang pemakaiannya hanya sebentar saja, belum dilihat hasilnya kurikulumnya telah dirubah diantaranya adalah kurikulum 1994, 1997, 1999, KBK tahun 2004 dan KTSP tahun 2006. Setiap pergantian pimpinan menimbulkan pergantian pada kurikulum. Diduga bahwa pergantian kurikulum ini adalah maslah politik yang dimainkan oleh para pejabat untuk menarik perhatian massa. Akibatnya kurikulum dijadikan sebagai kelinci percobaan yang tak kunjung selesai.
Karena persoalan inilah Abuddin Nata berpendapat bahwa pembaruan pada bidang kurikulum adalah hal yang niscaya dan perlu dilakukan. Pembaruan dan penyusunan kurikulum yang dimaksud perlu melibatkan orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi tentang pendidikan abad XXI, memiliki wawasan baik secara konseptual maupun praktis tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyusunan kurikulum. Hanya saja konsep dan strategi lebih mendalam tentang penyusunan kurikulum ini tidak ditemukan dalam karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Abuddin Nata. Dapat dipahami bahwa Abuddin Nata memandang, sering terjadinya pertukaran kurikulum lebih banyak diakibatkan –selain aspek politis—oleh tidak diikutsertakannya orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi tentang tuntutan zaman.
3. Pemikiran Abuddin Nata tentang Paradigma Madrasah Unggulan
Pada saat ini banyak muncul di Indonesia sekolah/madrasah unggulan. Dalam pengertian generiknya “unggulan” yang dimaksud adalah sebuah sekolah atau madrasah yang menyediakan fasilitas yang lengkap, pelayanan yang baik, suasanan yang menyenangkan, kurikulum yang khas, sistem pembelajaran yang bagus, dan kualitas proses bembelajaran dan hasil belajar yang baik. Munculnya konsep sekolah atau madrasah unggul tidak terlepas dari upaya memperbaiki citra pendidikan ke arah yang bermutu dan penyesuaian terhadap tuntutan zaman. Menurut Abuddin makna unggul pada sekolah unggul adalah perpaduan yang seimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agama yang dijalankan secara profesional oleh orang dan sistem yang unggul. Munculnya sekolah unggul dilatarbelakangi oleh adanya plus minus dari sistem pendidikan umum dan pesantren. Dari hal-hal yang positif diantara dua lembaga pendidikan itu kemudian digabung secara integratif sehingga melahirkan pendidikan yang unggul dalam bidang keilmuan kognitif, sikap afektif, dan psikomotorik yang dilandasi dengan ajaran-ajaran agama. Menurut Abuddin paradigma madrasah unggul dapat dilihat dari dua hal yaitu:
a. Karakteristik Madrasah Unggulan
Selama ini menurut Abuddin keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi dimiliki oleh sekolah-sekolah umum, sementara sekolah agama unggul dalam bidang pengetahuan keagamaan, keimanan, dan ketakwaan. Sintesis dari keunggulan yang dimiliki oleh kedua lembaga itu menurut Abuddin selanjutnya dapat mengambil bentuk Sekolah Pesantren atau Boarding School atau pada tingkat yang lebih tinggi disebut dengan Perguruan Tinggi Pesantren. Ada beberapa nilai positif dan negatif pesantren dan sekolah sebagaimana keterangan Abuddin sebagai berikut:
“Tradisi untuk mendalami agama dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, ketaatan dalam menjalankan ibadah, akhlak yang mulia, kemandirian, kesabaran, kesederhanaan, adalah nilai-nilai pendidikan yang jelas masih dapat dijumpai di pesantren dan sulit dijumpai di sekolah pada umumnya. Sementara tradisi kritis, inovatif, kreatif, dinamis, progresif, terbuka, rasa percaya diri, dan lain-lain tampak lebih banyak dimiliki sekolah umum. Perpaduan dari masing-masing keunggulan pada masing-masing lembaga pendidikan itulah yang oleh sementara kalangan sebagai bentuk dari madrasah ungulan”.

Salah satu kelemahan pesantren adalah dalam bidang manejemen. Proses pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan sebagainya ditentukan oleh satu orang, yaitu kiai. Keadaan manejemen yang demikian dipandang tidak sesuai lagi dengan alam modern yang menuntut pelaksanaan demokratisasi, transparansi, akuntabilitas, dan kebersamaan. Manejemen pesantren yang bercorak kekeluargaan dan sepenuhnya di tangan kiai itu terkadang juga bisa membawa kemajuan apabila kiainya seorang yang memiliki kompetensi yang unggul, cerdas, pintar, mau bekerja keras, adil, dan demokratis. Namun, sebaliknya manejemen yang demikian itu bisa juga membawa kemunduran apabila kiainya memiliki bekal pengetahuan pas-pasan, malas, otoriter, dan diktator.

Lebih lanjut Abuddin menyatakan bahwa hal-hal yang positif dari kedua lembaga pendidikan tersebut mesti diterapkan dan dikembangkan. Sedangkan hal-hal negatifnya ditinggalkan. Sekolah unggulan juga juga dapat dilihat dari kualitas lulusannya yang tidak hanya menguasai materi-materi yang diajarkan , tetapi juga proses untuk mencapai dan menguasai materi tersebut. Hal lain adalah bahwa metode dan pendekatan pengajaran tidak hanya berorientasi pada subjek materi saja, tetapi juga pada proses. Melihat kondisi yang berkembang di mana pengajaran yang dilakukan di sekolah pada saat ini lebih banyak sifatnya menghafal materi pelajaran ketimbang kemampuan untuk memperoleh dan mengembangkan materi tersebut. Untuk itulah Abuddin mengatakan bahwa sudah saatnya kiblat pendidikan dirobah dari pendekatan hafalan menjadi pendekatan pemerolehan dan pengembangan materi.
b. Sekolah Unggul dalam Sejarah dan Falsafat Islam
Secara historis Abuddin Nata menyatakan bahwa diduga kuat keberhasilan dan kemajuan sekolah dan perguruan tinggi Islam pada zaman klasik Islam disebabkan oleh adanya sistem pendidikan yang unggul dan diserta prinsip-prinsip yang mendasarinya yang beroperasi di dalamnya. Dalam konteks ini Abuddin Nata yakin bahwa sistem pendidikan pada masa kejayaan Islam mestilah didukung oleh sistem yang unggul dan dilaksanakan oleh orang yang unggul, sebab kalau tidak, tidak mungkin Islam menjadi sebuah peradaban yang paling terdepan diwaktu itu. Keunggulan itulah menurutnya yang mesti diterapkan pada saat ini. Menurut Abuddin ada tiga macam keunggulan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan pada zaman klasik Islam. Pertama perkembangan tradisi ilmiah. Menurut Abuddin perkembangan dan tradisi ilmiah ilmiah telah dimulai di zaman klasik Islam. Tradisi ilmiah ini untuk selanjutnya melahirkan sarjana-sarjan Islam yang tersohor di dunia. Kedua integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurut Abuddin ilmuan muslim pada zaman klasik adalah ilmuan ensiklopedik, yaitu ilmuan yang tidk hanya menguasai ilmu agama secara mendalam tetapi juga mengetahui ilmu pengetahuan umum secara prima pula. Ketiga pengajaran dilakukan berpusat pada murid. Dalam sejarah Islam terlihat bahwa pengajaran yang berpusat pada murid itu sangat ditekankan. Ibn Sina misalnya mengatakan bahwa penyampaian materi pelajaran selain harus sesuai dengan materi yang diajarkan itu, juga harus disesuaikan dengan perkembangan psikologis anak. Keempat kerjasama dengan pemakai lulusan. Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dunia Islam telah memiliki pengalaman yang luas dan panjang dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Pada mulanya semua pendidikan dalam Islam adalah tanggungjawab perseorangan, guru mengajar murid-murid tanpa campur tangan Negara. Namun kandungan pendidikan semakin bertambah sehingga tugas dalam pendidikan semakin bertambah pula. Akhirnya pendidikan tidak lagi menjadi tanggunggjawab sekolah saja, tetapi menjadi tanggungjawab warga sekolah secara bersama.
4. Strategi Pendidikan Iman dan Takwa
Pendidikan sebagai sebuah usaha dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara pada bab II pasal 3 dinyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Menurut isi Undang-undang pendidikan di atas, terlihat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pengertian pendidikan dengan point-point tujuan yang merupakan beberapa nilai-nilai yang mesti tercapai pada setiap kegiatan pendidikan, nilai-nilai pendidikan yang dimaksud adalah nilai, spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, kreatifitas, demokratis, dan akhlak mulia. Seluruh poit-point tersebut terhimpun dalam sebuah kata beriman dan bertaqwa.
Kata iman dan taqwa yang disebutkan dalam tujuan pendidikan secara umum di atas dapat kita tafsirkan bahwa tujuan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam yang dimaksud sebagaimana dikatakan oleh M. Arifin, “Agar manusia dapat mengelola atau memanfaatkan potensi-potensi pribadi, sosial dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. atau seperti yang dikatakan oleh Zakiah Dradjat, “Tujuan Pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya”. Muhammad Al-Faruqi mengatakan “iman” dan “tauhid” adalah inti dari eksistensi ajaran Islam, yang merupakan pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib manusia sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar prisip Idealitionality, teology, capaticy of man, malleability of nature dan responsibility and judgment. Sedangkan Ziaudin Sardar mengatakan bahwa taqwa bukan suatu konsep teori; dia memerlukan kenyataan dalam karya, gerak dan interaksi. Artinya bahwa taqwa itu tidak hanya berkitan dengan hubungan vertical dengan Tuhan saja tetapi sangat berkaitan dengan segala aspek horizontal dan sisi-sisi ibadah atau pekerjaan yang dilakukan.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat menurut Abuddin akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia, apabila dibarengi keimanan dan ketakwaan. Sebaliknya Abuddin mengatakan apabila kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak disertai dengan dengan dasar keimanan dan ketakwaan maka akan dapat menimbulkan kehidupan yang menghawatirkan karena kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut dapat disalahgunakan untuk tujuan-tujuan destruktif. Kehawatiran Abuddin Nata terhadap dampak kemajuan yang tidak dibarengi dengan dasar iman dan takwa dapat dipahami dari perhatian Abduddin terhadap gejala-gejala sosial yang sering terjadi. Banyak kasus-kasus yang terjadi –yang katanya demi pembangunan dan kemajuan--justru banyak merugikan masyarakat, merusak norma dan sistem nilai penyebabnya adalah karena persoalan mental, tidak kokohnya iman dan ketakwaan dalam diri mereka.
Atas kehawatiran itulah Abuddin Nata mengatakan keimanan dan ketakwaan dewasa ini semakin dipentingkan karena --ditengah berbagai kemajuan yang dicapai sekarang ini-- adanya berbagai paham kehidupan sekuler yang melanda kehidupan manusia dan selanjutnya telah mempengaruhi pola pikir dan pola perilakunya, seperti pola dan gaya hidup hedonistik, materialitistik, individualistik, pragmatik, dan sebagainya. Hal yang sama dengan pendapat Abuddin ini, Mas’ud Abidin juga berkomentar:
“Selain berkembang ke arah yang positif, tidak jarang dampak negatif menyertai, tatkala kesiapan moral spritual tidak di seiringkan dengan laju perkembangan material. Laju pertumbuhan materiil yang tidak diimbangi kesadaran akhlaq mulia (moralitas spritual) akhirnya menyisakan “limbah budaya” yang berpengaruh pada penurunan kualitas manusia. Limbah budaya, tampak pada perilaku yang tidak normatif, seperti kehidupan materialistis tanpa mengindahkan batas-batas antara hala dan haram, antara boleh dan tidak. Memisahkan nilai-normatif dalam aktivitas hidup manusia, dengan mengabaikan dominasi moral agama yang sebelumnya telah dijadikan ukuran kualitas manusia, pasti akan mengundang bencana berupa krisi citra kemanusiaan”.

Fenomena ini juga dikhawatir oleh M. Arifin , yang menyatakan bahwa apabila kemajuan Iptek yang hanya mengandalkan keceradasan rasio, sampai pada batas-batas tertentu, dapat mengerosikan benteng-benteng nilai idealisme humanisme semakin menuju ke arah rasionalisme, pragmatisme, dan relativisme. Berbagai aibat muncul kepermukaan, antara lain ialah; nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistis, sekularistik, dan hedonistik serta agnostik yang menafikan aspek-aspek etik religius, moralitas dan humanistis.
Gejala-gejala kehidupan yang di dasarkan pada pola hidup tersebut menurut Abuddin selanjutnya dengan mudah telah melanda para remaja usia sekolah yang secara psikologis tampak dengan mudah dapat dipengaruhi. Pentingnya keimanan dan ketakwaan pada manusai paling tidak menurut Abuddin di dasari pada tiga hal; pertama, manusia tidak cukup hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan hal-hal yang bersifat material semata-mata, tetapi juga membutuhkan agama yang mengajarkan keimanan dan ketakwaan. Kedua Abuddin memandang bahwa keimanan dan ketakwaan dapat membawa ketenteraman batin dan kebahagiaan menciptakan kesehatan mental, menghindari perasaan gelisah dan cemas sebagai akibat dari dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Ketiga segala sesuatu, baik harta, pangkat, keturunan, maupun ilmu pengetahuan, tanpa diserta agama, telah terbukti gagal menghantarkan manusia pada kehidupan bahagian dan tenteram. Akhirnya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan terhadap keimanan dan ketakwaan, ada tiga strategi yang diusulkan oleh Abuddin Nata yaitu:
a. Dari Segi Pendidikan
Menurut Abuddin agar pendidikan Agama Islam dapat berperan menanamkan pendidikan iman dan takwa, maka seluruh pendidikan agama Islam tersebut harus dilihat secara utuh dan terpadu. Ini berarti Abuddin menginginkan penanaman pendidikan iman dan takwa tidak dilakukan secara setengah hati, pragmentasi, dan terpisah-pisah, tetapi penanamannya diwujudkan dalam bentuk yang holistik, kontekstual, aktual, dan integralistik. Meskipun ada pembagian cabang dan macam ilmu Islam namun mestilah itu dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat teknis dan spesialis, tetapi pada hakikat dan subtansinya berbagai cabang ilmu agama Islam tersebut sebenarnya satu, yaitu berasal dari wahyu Allah dan digunakan untuk menambahkan keimanan dan ketakwaan kepadanya. Dengan pendekatan holistik diharapkan para siswa memiliki pemahaman keislaman yang utuh. Dengan pendekatan integralistik diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum pada dasarnya adalah satu atau terikat dengan oleh keimanan dan tauhid. Dengan pendekatan kontekstual, diharapkan ajaran-ajaran agama berkaitan permasalahan yang dihadapi para siswa, kemudian dengan pendekatan aktual diharapkan pendidikan agama Islam terasal fungsional bagi kehidupan siswa. Sampai disini terlihat bahwa Abuddin memandang bahwa melalui pendidikan agama Islam merupakan salah satu strategi yang sangat tepat untuk menanamkan pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi diri siswa secara awal dan mendasar, wujud aktual dari semangat pendidikan iman dan takwa tersebut secara implementatif dilakukan oleh siswa sebagai bagian dari kehidupannya.
b. Dari Segi Metodologi
Ketika memahami pendapat Abuddin tentang metodlogi yang digunakan dalam pendidikan keimanan dan ketakwaan penulis memaknai bahwa Abuddin menginginkan adanya pendekatan metodologi bahwa seluruh mata peajaran merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Metodologi pengajaran mestilah di disain dengan baik melalui pendekatan psikologis dan rasional agar pembelajaran menjadi sangat menarik. Nampaknya dari segi metodologis ini Abuddin sendiri belum menguraikan makna, latar belakang dan konsep metodologi apa yang dimaksudkannya. Karena penelitian ini sifatnya sangat temporal maka kajian ini pada masa datang mungkin akan lebih jelas dan terperinci diuraikan oleh Abuddin.
c. Dari Segi Sarana dan Prasarana
Menurut Abuddin strategi pendidikan keimanan dan ketakwaan tidak hanya berlangsung secara konseptual, tetapi dalam penerapannya perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang tepat. Misalnya tempat ibadah yang lengkap dengan peralatannya, bimbingan salah berjemaah, penciptaan lingkungan yang agamis, pembudayaan tradisi keislaman, perayaan hari-hari besar Islam, apresiasi nilia-nilai keimanan dan ketakwaan dalambentuknya yang aktual dan sebagainya. Dengan demikian pada saat para siswa berada dalam lingkungan tersebut mereka akan merasakan suasana yang khas islami. Dari pendapat tersebut Abuddin Nata menginginkan selain sarana dan prasarana, lingkungan juga perlu disesuaikan, dirancang,dan dikondisikan sehingga seluruh aktivitas dan simbolisme yang ada di dalamnya menjadi sebuah adat dan tradisi yang sesuai dengan fitrah Islam. Tentu saja dalam wilayah pendidikan, lingkungan sekolah mesti dirancang, disiasati dan diciptakan oleh seluruh warga sekolah sehingga sekolah menjadi sebuah lingkungan Islami yang terasa aman, nyaman, dan menyenangkan. Selain itu juga dapat dipahami bahwa pengkulturan terhadap aktivitas dan simbolisme beragama dapat memicu tumbuhnya peningkatan keimanan dan ketakwaan.




























KONSEP PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM PANDANGAN ABUDDIN NATA

Pada dasarnya pemikiran Abuddin Nata banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikir-pemikir besar Islam sebelumnya. Seperti diketahui bahwa Abuddin Nata banyak meneliti tentang pendapat para pemikir pendidikan Islam, khususnya dalam buku yang berjudul Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Pesrfektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Muirid; Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali yang kemudian dengan sendirinya memberikan kesimpulan tersendiri dari beberapa pemikir yang banyak menjadi referensinya itu. Sengaja atau tidak beberapa konsep pemikiran atau pendapat-pendapat para ahli pendidikan Islam terlihat justru telah masuk dalam pola dan konsep pikir Abuddin Nata. Hal ini dipahami dapat saja terjadi, namun demikian sesekali nampak jelas pikiran-pikiran Abuddin Nata dengan logika-logika baru, pemahaman baru dan konsep-konsep baru. Beberapa pikiran tokoh tentang pendidikan Islam yang banyak dikaji oleh Abuddin diantaranya, Ibn Maskawih, al-Qabisi, al-Mawardi, Ibn Sina, al-Ghazali, Burhanuddin az-Zarnuji, Ibn Jama’ah, Ibn Taimiyah, Abdullah Ahmad, K.H. Ahmad Sanusi, Ikhwanul Muslimin, dan pemikir-pemikir lainnya. Dengan demikian pikiran-pikiran Abuddin bisa saja dimotori oleh para pemikir tersebut dengan membentuk formula baru meskipun pada hakikatnya beberapa pendapat itu adalah sama. Formula-formula yang dimaksud tentu akan memberikan kekhasan tersendiri dari pemikir-pemikir lainnya. Untuk selanjutnya fostulasi baru inilah yang dianggap sebagai “polesan” ilimiah dari seorang Abuddin Nata.

A. Konsep Pendidik
Pendidik menurut Abuddin disebut juga sebagai guru, instruktur, ustadz, dan dosen. Mereka memegang peranan penting dalam berlangsungnya kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Tugas guru dalam mewujudkan tujuan pendidikan menurut Abuddin merupakan “bentuk lain dari pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintahnya. Dari pendapat Abuddin ini diketahui bahwa guru sebagai pendidik merupakan sebuah tugas ibadah dan pengabdian manusia dalam menjalankan perintah Allah. Jadi pendidikan adalah upaya manusia untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai hamba dan khalifah di bumi.
Abuddin Nata memandang bahwa pendidik adalah seorang contoh teladan maka segala tingkah laku guru harus sesuai dengan norma dan nilai agama yang berasal dari wahyu. Pentingnya nilai-nilai yang melekat pada guru dengan memperhatikan norma yang berlaku dimaksudkan untuk menjaga wibawa para guru. Seorang guru harus tampil sebagai teladan yang baik dalam proses pembelajaran. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak hanya sekedar komunikator nilai, sekaligus sebagai pelaku nilai yang menuntut adanya rasa tanggungjawab dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Abuddin mengatakan bahwa tanggungjawab guru kian hari semakin berat. Dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat (baca: pengetahuan, tehnologi dan cara pandang) maka tugas mengajar harus diberikan kepada seorang yang profesional , bukan orang sembarangan. Nampaknya pada umumnya hampir para ahli pendidikan Islam setuju profesionalisme sebagai syarat dalam mengajar. Dari sini dapat dipahami bahwa Abuddin adalah seorang pemikir yang menuntut agar setiap pendidik bertanggungjawab dalam meningkatkan keilmuannya dan kualitas akademiknya melalui kegiatan-kegiatan ilmiah agar dapat meningkatkan kualitas siswanya.
Di sisi lain ketika Al Mawardi berpendapat bahwa pendidik harus banyak berkonsentrasi pada masalah kepribadian, Abuddin Nata justru menandaskan bahwa sebagai pendidik tidak hanya memiliki kepribadian yang baik, tetapi juga harus memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pendapat Abuddin Nata dipengaruhi oleh pengalamannya bahwa banyak diantara guru yang memiliki kepribadian yang baik, namun kurang menguasai materi secara mendalam. Dari pemahaman ini nampaknya pemikiran Abuddin Nata memiliki persesi yang sama dengan Uzer Usman, sebagaimana kutipan berikut:
Sebagai guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam intraksi belajar mengajar, serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuanm dalam hal ilmu yang dimilikinya, karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang akan dicapai siswa. Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti guru harus belajar terus menerus. Dengan cara demikian dia akan memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dalam intraksi belajar mengajar, sehingga dengan kemampuannya baik dalam hal metode mengajar, gaya mengajar ataupun penyampaian materi pelajaraan bisa menyukseskan intraksi belajar mengajar atau pun proses belajar mengajar.

Pada konteks kekinian guru mestilah memiliki kemampuan dan personality. Lebih lanjut Abuddin menyatakan bahwa dalam menghadapi tuntutan zaman penguasaan terhadap materi sangat diperlukan untuk menciptakan siswa yang kreatif, produktif dan mandiri. Lagi-lagi terlihat bahwa Abuddin sangat mementingkan profesionalitas guru sebagai pendidik. Tentunya tugas profesionalitas melahirkan tanggungjawab yang sangat besar. Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan Abuddin mengungkapkan bahwa pentingnya pendidik professional dilandasi oleh hadis Nabi yang menjelaskan “apablia suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Hal ini menurut Abduddin sejalan dengan firman Allah SWT. “Bekerjalah kamu menurut keahlianmu sekalian, (Azzumar: 39, juga terdapat di dalam surah at-Taubah:105) . Dalam profesionalitas guru yang dimaksud terlihat bahwa Abuddin lebih mementingkan persyaratan akademis.
Di samping sebagai teladan, penyayang dan bersikap lemah lembut terhadap siswa sesuai dengan psikologi manusia, sebab secara psikologis setiap manusia lebih suka diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan halus daripada diperlakukan dengan cara-cara yang keras dan kasar. Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia Hanna Djumhana Bastaman menyatakan bahwa para ahli dan aliran psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Untuk itu sebagai pendidik guru mestilah memahami kondisi yang sedang dihadapi oleh siswanya, baik jasmaninya, kejiwaannya maupun lingkungan di mana siswa tersebut tinggal. Guru mesti memahami prakondisi dan kondisi yang dialami siswa dalam proses pembelajaran.
Lebih lanjut Abduddin mengatakan seorang guru juga harus tampil sebagai motivator . Dalam kaitan ini akhlak para guru sebagai pemberi motivasi adalah tidak menghadapi muridnya dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena jika seorang guru memperlakukan siswanya dengan kasar tentu saja akan menghilangkan simpati siswa pada gurunya dan pada gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika hal ini berlangsung maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu disebabkan kelalaian para guru.
Selanjutnya menurut Abduddin guru mestilah sikap tawadlu dan rendah hati. Pendapat ini sesuai dengan Pendapat al-Abrasyi yaitu untuk terciptanya suasana pendidikan yang baik, maka seorang pendidik dituntut untuk memiliki sifat qanaah, tawadhu’, bersih dan suci lahir batin, iklas, penyantun, kebapakan, mengetahui perkembangan emosi dan intelektual peserta didik, serta menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan dengan baik.
Seorang guru perlu menghargai muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi, serta melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini menurut Abuddin sangat sejalan dengan prinsip yang digunakan oleh pendidik di zaman modern, yaitu murid dan guru berada dalam kebersamaan. Guru juga harus bersikap demokratis karena menurut Abuddin dengan sikap demokratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar siswa aktif. Hal ini dapat dipahami sistem pembelajaran yang demokratis adalah kondsi pembelajaran yang menghargai beragam pendapat, menghargai perbedaan, dan menghargai kemampuan setiap manusia.
B. Konsep Peserta Didik
Peserta didik adalah orang yang sedang berada dalam proses pendidikan untuk belajar, dan menuntut ilmu pengetahuan. Banyak sebutan yang digunakan terhadap peserta didik yaitu murid, siswa, pelajar, dan mahasiswa. Ditinjau dari segi bahasa Inggris sedangkan siswa menurut pengertian bahasa bahasa Arab .
Abuddin Nata berpendapat bahwa seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Pendapat di atas terlihat bahwa Abuddin Nata mengartikan murid dalam makna sufistik dan nampaknya diilhami oleh pemikiran al-Ghazali. Selanjutya Abuddin menyatakan ada tiga kata yang sering digunakan yaitu murid,al-tilmidz dan al-mudarris, namun kata-kata ini hanya digunakan pada level pelajar tingkat dasar dan tingkat lanjutan. Karena semua itu menurut Abuddin murid tersebut baru belajar, belum memiliki wawasan, dan masih amat bergantung pada guru dan belum menggambarkan kemandirian. Ia masih memerlukan masukan berupa pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan lain sebagainya, sehingga masih banyak memerlukan bimbingan. Hal ini dapat dipahami bahwa siswa baru dapat menerima pengertian-pengertian pembelajaran secara konseptual teoritis, belum mampu menerima pengetahuan yang bersifat konseptual.
Istilah lain yang berkenaan dengan murid pada level pendidikan tinggi dikemukakan oleh Engr Sayyid Khadim, sebagaimana di Kutip oleh Abuddin adalah al-thalib. Kata ini berasal dari Bahasa Arab, thalab, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini menurut Abuddin karena posisi persera didik adalah orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya, untuk bekal kehidupannya dimasa depan agar berbahagia dunia dan akhirat. Kata thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang disebut dengan mahasiswa. Lebih lanjut Abuddin berkomentar, sebagaimana petikan berikut:
Penggunaan kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dimengerti karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang ia peroleh dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, terutama pengetahun tentang membaca, menulis dan berhitung. Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan mendalimi bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan, seperti buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial melalui berbagai peralatan dan sarana pendidikan lainnya, terutama bahan bacaan. Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa selanjutnya dituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel, makalah, skripsi, teiss, disertasi, laporan penelitian dan lain sebagainya.
Dengan demikian menurut Abuddin ial thalib adalah seorang murid yang lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan tidak banyak bergantung pada guru. Bahkan dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengritik dan menambahkan informasi yang disampaikan. Menurut penulis situasi ini dapat berlangsung karena di perguruan tinggi situasi pembelajaran selain lebih banyak tugas yang dibebankan kepada mahasiswa (al Thalib) setting pembelajarannya juga dilakukan secara ilmiah, rasional, sistematik, dan demokratis.
Ada dua pendapat yang dirujuk oleh Abuddin ketika memberikan pengertian murid yaitu pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Thalib bukanlah kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, dan pendapat Abd al-Amir Syams al-din yaitu al-Thalib adalah orang yang telah mencapai tingkatan dalam kecerdasan, dapat berfikir dengan baik dan berusaha sejalan dengan dengan kepribadian dan kecerdasannya dalam memilih jalan, dalam mendapatkan ilmu dan upaya-upaya untuk mencapainya.
Selain murid al tilmidz, dan al-Thalib, Abuddin Nata dalam penyelidikannya tentang konsep peserta didik, menemukan beberapa kata-kata yang biasa digunakan oleh para pemikir pendidikan Islam yaitu al-mudarris, yang berasal dari bahasa Arab, darrasa yang berarti orang yang mempelajari sesuatu. Pengertian lain adalah al-Muta’allim. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘allama, yu’allimu, ta’liman yang berarti orang yang mencari pengetahuan. Isitlah ini menurut Abuddin Nata yang paling banyak digunakan para ulama pendidikan dalam menjelaskan pengertian murid.
C. Pola Hubungan Pendidik dan Peserta Didik

1. Sikap Guru Terhadap Murid
Abudddin Nata menyimpulkan Kitab Adab al-Ulama wa al-Muta’allim, karangan maulana Alam al-Hajjar ada dua belas sifat yang ditunjukkan oleh guru terhadap siswa dalam proses belajar mengajar yaitu; 1) guru mesti memahami bahwa tujuan mengajar untuk mendapat keridhaan Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan yang bersifat duniawi, harta, kepangkatan, keteanaran, kemewahan, status sosial dan lain sebagainya; 2) senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang-terangan, dan senantiasa menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatannya, karena ia seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh Allah dan kejernihan pancaindra dan penalaran; 3) menjaga kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela; 4) berakhlak dengan sifat juhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, qana’ah dan sederhana; 5) menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela; 6) melaksanakan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya; 7) melaksanakan amalan syariah yang disunnahkan; 8) bergaul dengan sesama manusia dengan menggunakan akhlak yang mulia dan terpuji; 9) memelihara kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela, 10) senantiasa semangat dan menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras; 11) senantiasa memberi manfaat kepada siapapun, dan 12) aktif dalam mengumpulkan bahan bacaan, mengarang dan menulis buku. Dari kedua belas sikap guru tersebut Abuddin berpendapat bahwa pribadi guru dalam pandangan Islam adalah seorang muslim yang taat menjalankan syariat Islam.
Lebih lanjut Abduddin menguraikan pendapat Abd Al-Amir Syams al-Din dalam bukunya al-Fikr al-Tarbawy ind Ibn khaldun wa ibn al-Aazraq ada beberapa kewajiban yang mesti dilakukan guru, seperti kutipan berikut,
Sebagai seorang guru ia tidak boleh melalaikan kewajibannya. Ia wajib bekerja yang dapat menghasilkan ilmu yang berkelanjutan, ia harus tetap membaca, menelaah, berfikir, menghafal, mengarang dan berdiskusi. Seorang guru tidak menyianyiakan usianya untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan ilmu, kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk makan minum, tidur, istirahat, menggauli istrinya, dan menghasilkan bekal hidup. Hal yang demikian dilakukan karena derajat seorang alim adalah derajat pewaris Nabi, dan derajat ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menempa diri.

Menanggapi kutipan tersebut Abuddin berkomentar “seorang guru adalah mereka yang paling kurang memiliki empat syarat. Pertama syarat keagamaan, yaitu patuh dan tunduk melaksanakan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. Kedua senantiasa berakhlak yang mulia yang dihasilkan dari pelaksanaan syari’at Islam tersebut. Ketiga senantiasa meningkatkan kemampuan ilmiahnya sehingga benar-benar ahli dalam bidangnya. Keempat mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat pada umumnya.” Pandangan Abuddin tersebut dipahami bahwa guru mesti memiliki syarat sebagai orang yang beriman, berakhlak mulia dan memiliki kemampuan akademik, ikhlas dan berwawasan yang luas. Sekaitan dengan ini Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf mengatakan: seorang pendidik, bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas, lebih dari itu mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas profesinya, serta menerima tanggungjawab profesinya sebagai bagian amanat yang diberikan Allah kepadanya dan mesti dilaksanakan secara baik.
Selanjutnya Abuddin Nata berpendapat sikap profesional guru terhadap siswa secara teknis dalam proses belajar mengajar adalah bersikap diantaranya lemah lembut, sabar dalam menghadapi cobaan dan perlakuan yang kurang menyenangkan dari murid-muridnya dengan cara melibatkan diri ke dalam perbuatan yang baik. Di samping itu guru menanyakan muridnya yang tidak hadir, berupaya memperluas pemahamannya, memberikan nilai manfaat kepadanya, berupaya memberikan pemahaman sesuai dengan tingkat kecerdasannya, tidak memberikan beban yang tidak sanggup dipikul murid, tidak pula memberikan tugas yang terlalu ringan, mengajar masing-masing individu menurut tingkat kesanggupannya dan motivasinya, misalnya cukup memberikan isyarat kepada anak yang sudah paham, dan memberikan penjelasan melalui berbagai perumpamaan kepada yang belum paham, dan memberikan penjelasan melalui berbagai perumpamaan kepada yang belum paham, mengulang-ulang bagi yang belum hafal disertai dalil-dalilnya. Pendapat ini menurut penulis bahwa guru memerlukan siasat atau strategis bagaimana sebuah pembelajaran dapat berlangsung dengan dan melakukan analisis terhadap materi pelajaran dan peserta didik, agar proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tingkat kemampuan para siswa.
Dalam hal kinestik (gerak seorang guru) Abuddin menyimpulkan bahwa guru hendaklah memlihara kedua tangnnya dari hal-hal yang dianggap tidak perlu, serta kedua matanya dari pandangan yang tidak ada gunanya, melainkan menoleh kepada hadirin dengan pandangan yang mengandung maksud sesuai dengan sesuai kebutuhan pandangannya. Dapat dipahami bahwa guru dalam konteks style (gaya) tidak baik terlalu banyak bergerak pada hal-hal yang dapat merendahkan harkat, martabat dan kebesaran nama guru. Jika diperhatikan lebih lanjut guru yang menjaga dirinya dari sifat-sifat tercela, menjaga keyakinannya, wibawa, martabat dan ilmu pengetahuannya bukanlah dimaksudkan sebagai manipulasi taktik terhadap siswa, tetapi yang demikian itu dilakukan dengan mengharap ridha dari Allah SWT. Mungkin inilah yang mesti disadari oleh sebagai dari guru karbitan sekarang, bersembunyi di balik benteng gelar dan jabatan akademik lantas melakukan upaya-upaya pengkerdilan secara sitemik terhadap siswa atau mahasiswa. Guru seperti ini adalah guru yang haus terhadap penghargaan atau embel-embel lainnya agar dianggap hebat, superior, atau selebritis atau guru yang berorientasi duniawi semata.
Kemudian Abuddin menjelaskan guru harus menjaga majelisnya dari perbuatan keliru dan akhlak yang tercela dari para hadirin, dan jika terdapat perbuatan yang tidak baik yang ditunjukkan oleh sebagai siswanya, maka hendaknya ia diperingati dengan cara yang halus sebelum mengatasinya, dan mengingatkan para jamaah bahwa perkumpulan di majelis ini ditujukan untuk mengharap keridhaan Allah SWT., maka tidak pantas melakukan pertengkaran dan keributan. Hal itu dilakukan dalam keadaan bersikap lembut, niat yang bersih dan meminta pendapat yang lainnya, serta mengikat hati para hadirin agar menegakkan kebenaran dan menghasilkan hal-hal yang bermanfaat. Berkaitan ini kesimpulan Abuddin tersebut dapat dipahami bahwa guru dalam konteks hari ini perlu menjaga sikap keguruannya dalam berbagai pertemuan sosial kemasyarakat dan pertemuan ilmiah.
Lebih lanjut Abuddin meyimpulkan pendapat al-Ghazali tentang sikap guru terhadap muridnya yaitu; 1) bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar, 2) guru tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya, 3) tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun, 4) menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, 5) tidak mewajibkan kepada pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecendrungannya, 6) memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, 7) kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan, 8) seorang guru harus mengamalkan ilmunya. Berdasarkan pendapat al-Ghazali itu Abuddin Nata menjelaskan sosok guru yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai perbedaan pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan para siswa dalam memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe atau idola bagi siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. Selain itu seorang guru mestilah adil, dan tidak memandang status sosial muridnya. Sekaitan dengan ini Syaikh Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi mengatakan:
Dikisahkan bahwa Abdullah bin Amr bin ‘Ash yang akan mengadakan perlombaan dengan seorang Qibthi dan ternyata orang Qibthi tersebut memenangkan perlombaan. Maka Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash marah hingga memukulnya dengan cambuk. “kau kalahkan putra pejabat”, katanya kepada anak Qibthi itu, Maka orang tuanya melaporkan kejadian ini kepada Khalifah Umar bnin Khattab di Madinah. Orang tua anak itu tahu bahwa Islam itu adil. Mendengar pengaduan itu, Umar menegur”Amr bin ‘Ash dan Abdullah Putranya. Umar berkata kepada orang Qibthi itu, “Pukullah dia sebagai balasan dan katakana kepadanya. “Kau pukul putra terhormat”. Kemudian Umar berkata. Pukullah ayahnya karena ia tidak bisa mendidik anaknya. Anak Qibthi itu menukas, “wahai Amirul Mukminin utang sudah lunas. “lalu Khalifah Umar menyampaikan satu kalimat yang menjadi buah bibir setelah itu. Ucapan itu ia sampaikan kepada “Amr bin ‘Ash Radiyallahu Anhu, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, padahal mereka lahir sebagai orang yang merdeka?

Dari beberapa penjelasan-penjelasan yang dikemukakan di atas akhirnya Abuddin Nata menyimpulkan ada empat sifat yang terdapat dalam sikap guru terhadap muridnya dalam pandangan Islam. Pertama komprehensif yaitu guru mesti mengetahui segala seuatu hal yang berkaitan dengan tugasnya; motivasi mengajar, perlakuan yang demokratis dan manusiawi terhadap para siswa, teknik dan urutan penyampaian mata pelajaran, cara dan sikap duduk dan menggunakan organ tubuh dalam mengajar, meneliti kehadiran siswa, memotivasi siswa, pemanfaatan waktu bagi siswa, teknik memberikan pertanyaan serta etika ketika memulai mengajar. Kedua sistemik yaitu guru mengetahui masalah-masalah yang bersifat makro sampai pada masalah yang bersifat mikro, teknis dan particular. Ketiga antisipatif yaitu guru mengetahui hal-hal yang mungkin terjadi dalam proses pembelajaran. Keempat Aktual guru mampu menggambarkan permasalahan yang benar-benar muncul dalam kegiatan proses belajar mengajar.
2. Sikap Murid Terhadap Guru
Selain guru mesti bersikap terhadap murid, dalam pendidikan Islam murid juga mesti memiliki sikap yang baik terhadap gurunya. Dengan adanya proses timbal balik tersebut diperoleh keseimbangan perilaku, kesamaan persepsi, dan adanya hubungan yang saling menghormati antara kedua belah pihak. Meskipun pada dasarnya gurulah yang harus lebih memahami murid karena pengetahuan dan pengalamannya lebih luas dan banyak, tetapi disisi lain siswa juga mesti memiliki etika tertentu terhadap gurunya, sehingga dia dapat menghormati dan menghargai gurunya.
Dalam hal ini Abuddin Nata menyimpulkan pendapat Abdullah Badran yang mengatakan murid mesti bersikap baik terhadap gurunya, jangan bertanya tentang sesuatu diluar masalah yang dibahas, kecuai masalah itu diketahuinya, karena hal itu kurang menyenangkan hati guru, jangan malu bertanya tentang masalah yang sulit, dan ajukan pertanyaan ketika guru sedang tenang jiwanya dan memiliki peluang. Dari segi ini berarti seorang murid menurut Abuddin mestilah berani bertanya dengan maksud tidak untuk menguji guru, mampu melihat dan membaca kondisi dan situasi psikologis seorang guru, mampu memilah pertanyaan yang berkaitan dengan topik pelajaran, dan pertanyaan yang diajukan mestilah masih dalam kerangka pembahasan, agar pelajaran yang dibahas fokus terhadap materi dan tujuan pembelajaran. Lebih lanjut Abuddin Nata menyimpulkan pemikiran Abdullah Badran sebagai berikut:
Murid juga harus menunjukkan kesungguhan dalam belajar, tekun belajar setiap waktu, siang dan malam, ketika di rumah atau di perjalanan, tidak bepergian yang tidak ada hubungannya dengan menuntut ilmu pengetahuan, kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, tidur dan semacamnya seperti istirahat sebentar untuk menghilangkan rasa lelah dan kebutuhan pokok lainnya. Selain itu untuk memudahkan murid memperoleh pelajaran murid juga harus membersihkan hatinya agar mendapat pancaran ilmu dengan mudah dari Tuhan. Ia harus menunjukkan sikap ahklak yang tinggi terutama terhadap gurunya, pandai mengatur waktu yang baik, memahami tata karma dalam majelis ilmu, berupaya menyenangkan hati sang guru, tidak menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan hati sang guru, giat belajar dan sabar dalam menuntut ilmu. Selain itu murid juga harus bersikap sabar, dan menjauhkan diri dari perlakuan yang kurang baik dari syaihknya dan jangan menutup diri dan terus berupaya menyertainya, dengan menduga tetap ada nilai-nilai positifnya, dan hendaknya ia tetap menduga terhadap perbuatan syaihk yang secara lahiriyah tanpak buruk, tetapi pada hakikatnya tetap baik. Hal yang demikian tidak mengapa, walaupun petunjuk yang diperoleh dari sikap syaihk itu cuma sedikit. Ia tetap harus menunjukkan sikap yang manis, cita-cita yang tinggi, tidak puas dengan hasil ilmu yang sedikit padahal peluang cukup banyak, tidak menunda-nunda untuk mencapau keberhasilan walaupun sedikit.

Komentar Abuddin Nata terhadap pendapat Abdullah Badran tersebut adalah “nuansa sufistik dari Abdullah Badran terlalu menonjol”. Kemudian Abuddin Nata menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Abdullah Badran, dia menggangggap bahwa pola Abdullah Badran kurang memperlakukan siswa secara demokratis, guru terlalu memiliki otoritas penuh terhadap siswa, guru kurang memberikan kebebasn bagi siswa untuk berapresiasi dan berkreasi. Di sinilah letak perbedaan cara berfikir Abuddin Nata dengan Abdullah Badran, Abuddin jelas-jelas menginginkan agar siswa memiliki sikap yang demokratis, kritis, rasional, apresiatif dan kreatif dalam proses pembelajaran. Inilah yang mengindikasikan bahwa cara berfikir Abuddin Nata yang modernis religius.
Selain itu Abuddin Nata juga mengkritik Maulana Hajjar dan Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi yang menyatakan perlunya etika murid dalam majelis ilmu. Abuddin menuduh bahwa semua sistem yang berkaitan dengan sistem pengajaran pada majelis halaqah belum ada batasan kapan seorang harus menyelesaikan pelajarannya, sedangkan sekolah dibatasi waktu, kurikulum dan sebagainya. Meskipun mengritik Abuddin Nata masih toleran bahwa secara umum di antara etika itu masih dapat diberlakukan di sekolah atau pendidikan lainnya.
Lebih lanjut Abuddin Nata mencoba membandingkan antara pemikiran di atas dengan kesimpulannya tentang cara pandang Imam al-Ghazali terhadap sikap murid kepada guru yang terdiri dari sepuluh sikap yaitu; 1) seorang pelajar harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak buruk dan sifat-sifat tercela, 2) seorang pelajar hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi, ia harus bersungguh-sungguh dan bekerja keras menuntut ilmu, bahkan ia harus jauh dari keluarga dan kampung halamannya, 3) seorang pelajaran jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya dan jangan pula banyak memerintah guru, 4) bagi pelajar permulaan janganlah melibatkan atau mendalami perbedaan para ulama, karena yang demikian itu dapat menimbulkan perasangka buruk, keragu-raguan dan kurang percaya kepada kemampuan guru, 5) seorang pelajar jangan berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran sebelumnya, 6) seorang pelajar jangan menenggelamkan diri pada satu bidang ilmu saja, melainkan harus menguasai ilmu pendukung lainnya, 7) seorang pelajar jangan melibatkan diri terhadap pokok bahasan tertentu, sebelum melengkapi pokok bahasan lainnya yang menjadi pendukung ilmu tersebut, 8) seorang pelajar agar mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu, 9) seorang pelajar agar dalam mencari ilmunya didasarkan pada upaya menghias batin dan mempercantiknya dengan berbagai keutamaan, 10) seorang pelajar harus mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya.
Jika diperhatikan lebih lanjut Abuddin Nata lebih setuju dengan pendapat-pendapat al-Ghazali daripada para ahli lainnya. Hal ini dapat dipahami karena al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang sebelumnya berlatar belakang filsafat bahkan ahli filsafat kemudian mengharamkan filsafat itu karena keraguannya disebabkan dia tidak menemukan hakikat kebenaran. Abuddin memandang bahwa pola pikir al-Ghazali cukup baik diterapkan pada saat ini meskipun ada penyesuaian pada beberapa hal. Sepanjang kajian di atas penulis melihat sisi positif yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Pendidikan umum terlihat tidak sampai menjangkau hal-hal yang sifatnya mengatur hubungan antara guru dan murid dalam berbagai situasi dan kondisi, terlalu memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan keinginannya, terlalu demokratis sehingga terkadang siswa kurang menghargai gurunya, dan kurang beretika terhadap guru kurang. Kurangnya etika belajar ini disebabkan karena hubungan antara murid dengan guru hanya diatur dan berlangsung secara formal saja yaitu dalam lembaga pendidikan, sementara di luar sekolah tidak ada lagi hubungan antara guru dengan murid yang ada hanyalah hubungan sosial dan kemanusiaan.
3. Pola Hubungan Guru dan Murid
a. Hubungan Edukatif
Inti dari pendidikan adalah terjadinya hubungan interaktif antara guru dan murid. Tujuan pendidikan Islam di atas hanya akan dapat dicapai jika dalam proses pendidikan terjadi interaksi yang aktif dan harmonis antara guru dan murid. Dalam interaksi yang aktif dan harmonis yang dimaksud adalah adanya pemahaman dan pelaksanaan tentang tugas dan fungsi masing-masing di dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Beberapa ahli mengemukakan tentang tujuan pendidikan Islam, misalnya Ahmad D Marimba memandang tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian seorang muslim. Mansyur Abadi dan Zanida Abadi berpendapat tujuan pendidikan adalah membentuk hubungan yang baik. M. Arifin menyebutkan tujuan pendidikan Islam agar manusia dapat mengelola atau memanfaatkan potensi-potensi pribadi sosial dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Dzakiah Daradzat menyimpulkan tujuan pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya.
Dalam interaksi edukatif antara guru dan murid untuk mencapai tujuan pendidikan selanjutnya akan membentuk pola hubungan. Pola hubungan inilah yang akan menjadi kajian selanjutnya. Menurut Abuddin Nata subyek didik (guru) adalah sebagai pemberi bimbingan, arahan dan ajaran, dan objek didik (murid) yang menerima bimbingan, arahan dan ajaran tersebut. Guru berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik (murid) dan murid sebagai obyek yang diarahkan dan digali potensinya. Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang dikemukakan Abuddin tersebut tersirat adanya pola hubungan edukatif, yang maknanya interaksi ditandai dengan adanya guru yang memberi pelajaran dan adanya siswa yang menerima materi pelajaran. Meskipun guru disebut sebagai pemberi pelajaran bukan berarti bahwa gurulah yang menjadi satu-satunya sebagai sumber belajar, akan tetapi guru hanyalah salah satu orang yang memfasilitasi kegiatan pembelajaran, sebagai pengarah dan pemberi bimbingan.
b. Hubungan Demokratis
Lebih lanjut Abuddin menjelaskan bahwa guru dan mendengarkan pendapat para siswa, bersikap obyektif, terbuka dan membantu perkembangan siswa sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Dari segi ini dipahami bahwa pola hubungan antara guru dan murid dilandasi dengan hubungan yang demokratis; saling menghargai adanya perbedaan, merdeka, tidak memaksakan kehendak, dan mengetahui kekurangan-kekurangan masing-masing. Selain itu dapat juga dipahami bahwa hubungan antara guru dan murid adalah hubungan yang didasari sikap transparansi; terbuka, jujur, adil dan tidak berpihak.
c. Hubungan Kekeluargaan
Abuddin memandang bahwa hubungan antara guru dan murid mestilah di dasarkan atas hubungan rasa kekeluargaan. Dimana seorang guru menganggap bahwa muridnya adalah bagian dari keluarganya, muridnya adalah anak-anaknya sendiri, yang mana sebagai orang tua tentu akan menjaga, memelihara dan mengupayakan yang terbaik kepada muridnya. Demikan juga sebaliknya muridpun mestilah menganggap bahwa gurunya adalah termasuk orang tua yang harus dicintainya, dihormati dan dipatuhinya. Hubungan antara guru dan murid dibina berdasarkan persaudaraan dan rasa kekelargaan biasanya ditemui dalam pesantren. Hal ini diungkapkan oleh Kihajar Dewantara:
Bahwa dengan cara pondok, (pawiyatan) kita dapat mengadakan dunia kesiswaan dan pecantrikan, yaitu dunia pendidikan. Oleh karena itu guru-guru dan murd-murid itu tiap hari hidup bersama-sama, siang malam bersama-sama, makan, bermain, belajar, bergaul, dan dari sini seorang anak akan terdidik dengan sempurna, yakni pendidikan tidak menurut buku-buku pedagogic yang bersifat teoritis semata, melainkan menurut pedagogik yang hidup, yaitu menurut cara hidup yang nyata dan baik. Dengan system demikian, maka anak-anak kita tidak akan terpisah dengan orang tuanya. Sehari-harinya anak-anak akan merasa sebagai anak rakyat, terus insyaf akan kemanusiaan, karena senantiasa hidup dalam dunia kemanusiaan.
Hubungan kekeluargaan yang dimaksud tidaklah mungkin dapat diciptakan di sekolah-sekolah umum sebagaimana layaknya dipesantren namun yang penting adalah maknanya secara aktual dengan adanya pengkondisian dapat diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan.
d. Hubungan Psikologis
Hubungan psikologis yang dimaksud adalah adanya hubungan kejiwaan yang sangat dekat antara seorang guru dengan muridnya. Hubungan ini ditandai dengan adanya perasaan dekat antara seorang murid dengan gurunya. Hubungan ini tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Hubungan psikologi biasanya didasarkan atas persahabatan, pergaulan , jenjang hirarkis baik dalam jabatan, kemampuan maupun pengalaman. Proses pembelajaran akan berjalan secara efektif bila hubungan (baca: psikologis) antara pendidikan dan pesera didik berjalan secara harmonis. Lebih lanjut Mudjab Mahali melukiskan tentang bagaimana hubungan psikologis antara guru dan murid.
“perlulah kamu ketahui, bahwa sesungguhnya guru adalah orang yang paling cinta kepadamu, sesudah ayah dan Ibu. Guru selamanya tidak pernah merasa iri dan dengki kepadamu, baik dikala mendapat kebahagiaan ataupun kenikmatan. Sebaliknya guru akan merasa ikut menderita apabila dirimu mendapat petaka. Apabila dirimu mendpat kedudukan yang tinggi, martabat dan kehormatan, maka gurumu akan merasa berbahagia dan bangga pula. Keberhasilan yang telah kamu capai, berarti keberhasilan guru pula di dalam memberikan pendidikan, keberhasilan dalam mendewasakanmu selama ini, sehingga dia pun merasa berbahagia atas keberhasilan yang kamu capai.




e. Hubungan Kemitraan
Dalam hal ini Abuddin mengatakan dalam pola ini hubungan antara guru dan murid terhadap eksistensinya sama-sama diakui. Guru tidak dapat memaksaan kehendaknya sendiri atau tidak terlalu mendominasi terhadap murid, sebaliknya muridpun tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada guru. Untuk itu mesti dibangun keterbukaan, sifat demokrasi, dan hubungan kemanusiaan antara guru dan murid. Dalam proses belajar mengajar menurut Abuddin murid diperlakukan secara manusiawi, diberikan hak untuk mengemukakan pendapat, bertanya, mengritik, dan diperlakukan sesuai dengan bakat, potensi dan kecendrungannya. Abuddin juga berpendapat bahwa guru mestilah bekerjasama dengan murid dalam memecahkan berbagai persoalan.

2 komentar:

  1. mohon izin diposting di blog saya...dengan mencantumkan rujukan dari http://hshasibuanbotung.blogspot.com/2009/06/abuddin-nata-dan-pemikirannnya-tentang.html

    BalasHapus
  2. terimkash.....
    kalau ada tulisan yang lebih mohon dikirimkan ke alamat email sy ya Pak....
    tulisan Bapak sangat berharga bagi sy

    BalasHapus